scribo ergo sum

Jumat, 29 Oktober 2010

Menemukan "Pulau Biru"

11:26 Posted by wiwien wintarto No comments


Beberapa tahun belakangan ini, aku kerap bingung dan heran tiada habisnya. Sebagai jurnalis pengamat film, aku melihat film-film dokumenter seperti Fahrenheit 9/11 atau March of the Penguins merajai Box Office. Which means, film-film itu laris ditonton orang-orang. Pertanyaanku, bagaimana bisa sebuah film dokumenter yang umumnya identik dengan penerangan dan pendidikan dibuat menarik sehingga menghibur banyak orang?
Selain dibutuhkan para sineas berintelensia tinggi, yang berbondong-bondong nonton pun berkecerdasan tinggi pula. Artinya nonton nggak hanya sekadar nunggu dihibur, tapi juga dengan maksud menambah wawasan. Dan di tengah kultur penonton film kita yang disuguhi pocong pun sudah cukup puas seperti sekarang ini, kapan level budaya setinggi di barat itu bisa tercapai?
Mungkin masih agak lama. Untungnya, sudah ada yang memulai. Rumah Pohon Indonesia menelurkan film dokumenter berjudul Metamorfoblus, yang di-launching di Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta, Kamis 21 Oktober 2010 lalu. Ini membuka pintu pemahaman audiens, bahwa yang namanya film itu tak hanya terbatas film feature, alias film cerita. Film dokumenter pun bisa menghibur bila di-“eksekusi” dengan tepat.
Secara umum, Metamorfoblus yang dibesut oleh sutradara Dosy Omar bertutur tentang hubungan “magis” grup rock Slank dengan fans berat mereka yang menamakan diri Slankers. Harus disebut magis karena fenomena yang tersaji ternyata jauh lebih mendalam daripada hanya sekadar idolatrika biasa berdasarkan musik.
Film terbagi dalam tiga segmen, yang masing-masing berkisah tentang kehidupan para Slankers di tiga tempat berbeda. Di Batam, ada seorang petugas polisi berpangkat Brigadir, yaitu Supri “Joker” Adi, yang gahar saat menjalankan tugas namun bisa luruh air mata di depan panggung konser Slank.
Di Jogja, seorang Slankers bernama Andi sembuh dari penyalahgunaan narkoba dan menerima surat-surat pribadi dari Bimbim dan Bunda Iffet berisi ucapan selamat. Sementara itu, nun jauh di NTT, sekelompok Slankers kerepotan mengurus paspor saat ingin berangkat ke Dilli, Timor Leste, untuk menyaksikan konser Slank di bekas wilayah provinsi ke-27 RI itu.
Metamorfoblus pun pada akhirnya tak cuma bicara soal seleb dan kelompok fans murah-meriah pemburu autofgraf plus momen foto bareng, tapi jauh lebih dalam dari itu. Sekali lagi, terasa ada keajaiban yang muncul dalam hubungan Slank dengan Slankers, terutama ketika konser Kaka cs di Dilli disambut lambaian bersama bendera Timor Leste dan bendera Merah-Putih bersama-sama.
Musik menembus segala sekat, termasuk batas yang memungkinkan siapapun bermetamorfosa menjadi lebih baik, seperti Andi dan para personel Slank yang sembuh dari kecanduan narkoba. Musik juga memberi impian tentang keselarasan, kedamaian, dan ketenangan, sebagaimana terangkum dalam lagu Pulau Biru.
Tanpa tedeng aling-aling, banyak film Indonesia yang membikinku bosan karena datar-datar saja dan sangat gagal membetot perhatianku. Namun Metamorfoblus membuatku terpancang di kursi sejak menit awal hingga tabir penutup. Dan seingatku, ini untuk kali kedua aku bertepuk tangan saat menonton film. Yang pertama adalah saat Gito Rollies sukses menembak jatuh pesawat tempur Belanda di film Kereta Api Terakhir 25 tahun lalu!
Lewat keserbaapaadaannya, Metamorfoblus menyadarkan kita bahwa seni musik pop tak semata persoalan penjualan dan tangga lagu, tapi juga tentang pesan. Dan bagi sekelompok seniman sekaliber Slank, yang selalu mampu memberi makna dalam tiap lagu mereka, pesan yang terlontar pun menjadi magma yang bisa diledakkan para penggemar menjadi banyak cerita luar biasa tentang ditemukannya “Pulau Biru” dalam kehidupan masing-masing.
Pilihan tema jelas menjadi kunci yang membedakan Metamorfoblus dari film-film dokumenter lain. Bukan topik yang terlalu serius dan sarat dengan beban pesan edukatif, melainkan justru tentang Slank. Buatku, “Pulau Biru”-nya sudah ketemu. Film-film dokumenter yang seperti inilah yang akan laku saat diputar di bioskop. Para pengelola jaringan gedung bioskop nasional harusnya tahu itu.

0 komentar:

Posting Komentar