scribo ergo sum

Senin, 30 Agustus 2010

Our Education

12:05 Posted by wiwien wintarto No comments

Sejak dulu aku merasa ada yang sangat salah pada sistem pendidikan nasional kita. Itu mulai betul-betul terasa saat aku masuk SMP.
Yang paling awal saja, ketika itu aku merasa menerima terlalu banyak beban pelajaran. Di rapor ada 13 mapel, bayangin! Seingatku itu belum termasuk keterampilan bebas, keterampilan terikat, dan kesenian.
Saat SMP, aku sudah didoktrin (alm) Bapak untuk berusaha mencari skill. Jadilah kita sebagai makhluk yang ber-skill khusus—apalagi skill yang orang kebanyakan tak punya—maka kita tak perlu khawatir soal kerjaan. Orang lain grudugan berburu lowongan pekerjaan, namun orang ber-skill justru akan diburu dan dicari-cari oleh pekerjaan.
Contoh bukti hidupnya ya Bapak itu sendiri, dengan skill-nya gambar. Awalnya aku ikut belajar sedikit-sedikit gambar komik, hingga kemudian pada akhirnya aku memutuskan untuk banting setir jadi pengarang.
Aku hanya berpikir, pendidikan sekolah (formal) tidak mendukung pencapaian skill. Nggak meng-encourage orang untuk nemu skill, seperti yang sudah diberikan Bapak; dan malah memberikan materi-materi “ngawur” yang hampir dipastikan tak akan dipakai dalam kehidupan kelak. Sudah gitu, caranya nggak menarik pula.
Sekolah amat menegangkan kayak film thriller horor karena, salah sedikit saja, hukuman datang membanjir dan sebagian di antaranya berupa hukuman fisik seperti betis disabet pakai penggaris 1 meter, dijitak keras, dicubit pas perut, batok kepala dipukul pakai buku luar biasa guede, dilempar penghapus kayu, atau godeg (ujung rambut di depan kuping) dijambak. Waktu itu aku mikir, ini sekolahan apa tempat praktek Dr Josef Mengele?
Selain itu, guru hanya sibuk menggencet murid untuk bernilai bagus, tapi tak pernah mengecek apakah para murid sudah beneran mudeng dengan semua materi yang diajarkan apa belum.
Di biologi, aku menerima pelajaran taksonomi berikut hapalan nama-nama Latin mahkluk hidup. Buat apa? Kalau sosok Carl Linnaeus sebagai Bapak Taksonomi aku senang mengenalnya, tapi sisanya adalah hapalan-hapalan yang nggak perlu. “Sebutkan contoh-contoh tumbuhan paku!”, “Apakah nama Latin pisang kepok?”, etc.
Di mapel sejarah, aku bergairah dikenalkan pada Gajah Mada, Ken Arok, Sutawijaya, dll. Tapi aku gerah saat di ulangan ditanya “Pada tahun berapakah terjadi...?” atau “Sebutkan isi Perjanjian Linggarjati...” yang harus sama plek per kata!
Tempo hari aku mengintip buku pelajaran kelas IV-V SD, dan kondisinya masih tetap sama seperti dulu. Di mapel geografi & sejarah, ada pelajaran tentang negara-negara Asia, dan siswa harus menyebut luar kepala ( jadi harus hapal) luas wilayah dan posisi geografis (Lintang Utara, Bujur Barat, sekian derajat, dst.) semua negara.
Aku protes lagi. Ini buat apaaa!? Ketika mengenali negara lain, yang terbukti paling bermanfaat dalam hidup adalah tahu lokasi di peta, bendera negara, nama ibukota, pemimpin saat itu (Presiden/Raja), dan kelebihannya yang patut ditiru bangsa kita. Soal luas wilayah, LU-LS BB-BT, atau jumlah penduduk, itu bisa dilihat di buku, koran, Wikipedia, hanya saat dibutuhkan, ndak perlu harus dihapal luar kepala sampai ngelotok.
Sejak dulu dan sampai sekarang aku percaya bahwa pendidikan yang baik adalah yang “nurut” minat, bakat, dan kemampuan tiap siswa. Manusia kan bukan komputer, yang tetep bisa jalan dijejali software apapun sepanjang requirements-nya masih cukup. Kita punya keterbatasan, jadi harus difokuskan pada bidang apa yang harus dikejar, bukan masa bodo ditimpukin apapun “biar sibuk dan nggak make narkoba”!
Menurut pendapatku, saat mau masuk SMP, calon siswa harus dites psikologi untuk mencari tahu minat dan kelebihannya. Lalu pelajaran sekolah yang diberikan hanya betul-betul diciutkan sesuai dengan itu tok.
Yang berpotensi menang Olimpiade Matematika ya ndak perlu dipaksa belajar soal spesies-genus-familia-ordo-klas-divisio/phylum atau disuruh baca puisi Chairil Anwar trus diketawain karena emang jelas nggak becus. Dan yang mau jadi pengarang sepertiku ya tidak perlu diajari diferensial-integral atau molaritas dan STP (Standard Temperature Pressure).
Beri pelajaran dalam lingkup bidang seciut dan sefokus mungkin, lalu beri motivasi agar anak bermental knowledge-chaser yang selalu haus untuk mengetahui apa saja biar wawasan nambah. Jadi meski bidang yang ditekuni hanya itu-itu saja, namun pengetahuan melebar ke mana-mana dan bisa nyambung diajak ngobrol lingkungan apapun.
(To be Continued)

0 komentar:

Posting Komentar