Mengapa kita ngrasani?
Biasanya kumpulan ibu-ibu rumah tangga di tingkat RT dan RW adalah “praktisi” paling terkemuka dari kegiatan ngrasani alias bergunjing alias menggosip. Kelompok para pria pun kadang tak luput pula dari aktivitas ini.
Tiap kali kumpul, bukannya mengobrolkan hal yang netral (bola, politik, rampok-hipnotis, etc.) atau ide cemerlang (lucid dream, absurditas kenyataan, sangkan paraning dumadi, etc.), malah hanya sibuk memperbincangkan orang lain. Biasanya yang jadi korban adalah siapapun yang sedang nggak nongol.
Kalau ada A, B, dan C, lalu D tak hadir, maka D yang akan dijadikan objek. Giliran A nggak hadir, dialah yang diincar, dan seterusnya. Yang dibahas pun bukan sisi-sisi baik yang patut diteladani (yang pastinya ada pada semua orang), melainkan justru sisi jeleknya, kekurangannya, atau bahkan ketidakmampuannya.
Maka sekali lagi pertanyaannya adalah, mengapa kita ngrasani?
Di dalam kodratnya sebagai makhluk yang serba penuh kekurangan, manusia amat perlu merasa nyaman dan bangga pada diri masing-masing biar nggak bunuh diri. Bahasa Inggris-nya, to feel good about themselves.
Untuk memenuhi keperluan itu, kita mengejar berbagai macam prestasi. Bintang kelas, siswa teladan, keterima PNS, punya skill, nerbitin novel, tampil di Pecha Kucha Night, bisa ngemsi, pokoknya apapun yang membuat diri kita jadi terasa berarti buat masyarakat.
Dan di antara semuanya, aku yakin yang paling kerasa membuat kita feel good about ourselves adalah kalau kita punya expertise atau level keahlian tertentu. Kita punya skill yang orang lain nggak punya. Bisa skill jadi hacker, jadi penulis, jadi gamer, atau filmmaker, and so on.
Level keahlian akan membuat kita dibutuhkan oleh publik. Kerjaan dan aktivitas pun tak hanya sebatas “kantor tempat kerja”, namun apapun yang memerlukan keahlian kita. Jago mesin motor tak melulu sibuk di bengkelnya, tapi mungkin juga dimintai tolong mbetulin motor tetangga, diminta jadi narasumber training mekanik, atau nyambi jadi montir tim balap underbone.
Adalah prestasi, pencapaian, atau tingkat keahlian yang membuat kita merasa nyaman dan bangga pada diri sendiri. Ketika orang nggak mempunyai itu semua, hidup standar, terjebak rutinitas yang bikin gerah tapi nggak bisa apa-apa, satu-satunya cara untuk feel good about themselves ya hanya dengan ngrasani, karena memang tak ada yang dapat dibanggakan dari diri sendiri.
Saat menggunjing, kita menempatkan sang objek dalam posisi jauuuuh di bawah kita. Mungkin dari sifatnya, tindak tanduknya yang tak ramah, atau kelakuannya yang minus, lantas sambil bersyukur bahwa “amit-amit gua nggak kayak dia!”. Nah, saat kita bisa menempatkan orang lain dalam posisi yang lebih buruk itulah baru kita bisa merasa bangga pada diri kita sendiri.
Sebaliknya, ketika level keahlian membuat kita selalu sibuk dan penuh kegiatan, apalagi yang berkaitan dengan ide-ide brilian, maka kita nggak butuh lagi mengedropkan posisi orang lain di mata kita hanya untuk merasa diri ini berarti. Seandainyapun hendak membicarakan (kekurangan) orang lain, pasti karena terlebih dulu sedang mendiskusikan satu topik tertentu, dan orang tersebut diambil hanya sebagai ilustrasi, bukan karena khusus menggunjingkan dia secara panjang kali lebar.
Kadang suka heran sendiri. Semua orang punya TV. Pas bulan puasa gini yang namanya ustad berkeliling di semua channel. Lalu orang-orang pada berduyun-duyun ikut pengajian atau istighosah. Dan isi ceramah para ulama itu sama dan serupa soal bergunjing, yaitu dosa dan dilarang. Tapi makin sering ikut pengajian, Yasinan, tahlilan, manggut-manggut pas diceramahi ustad, kok ya skill dan frekuensinya dalam ngrasani malah mengalami peningkatan. Ketahuan kalau isi ceramah nggak dicatet, tapi datang cuman untuk nadahi pahala (dan snek, kalo ada!).
So, instead of wasting time dengan ngrasani, isi waktu dengan nyari-nyari kelebihan diri atau kesibukan yang membuat kita nggak punya waktu lagi untuk nongkrong hanya buat ngrasani.
Aku pernah baca ini di kartu ultah Hallmark: “Don’t just add days to your life. Add life to your days...”
Biasanya kumpulan ibu-ibu rumah tangga di tingkat RT dan RW adalah “praktisi” paling terkemuka dari kegiatan ngrasani alias bergunjing alias menggosip. Kelompok para pria pun kadang tak luput pula dari aktivitas ini.
Tiap kali kumpul, bukannya mengobrolkan hal yang netral (bola, politik, rampok-hipnotis, etc.) atau ide cemerlang (lucid dream, absurditas kenyataan, sangkan paraning dumadi, etc.), malah hanya sibuk memperbincangkan orang lain. Biasanya yang jadi korban adalah siapapun yang sedang nggak nongol.
Kalau ada A, B, dan C, lalu D tak hadir, maka D yang akan dijadikan objek. Giliran A nggak hadir, dialah yang diincar, dan seterusnya. Yang dibahas pun bukan sisi-sisi baik yang patut diteladani (yang pastinya ada pada semua orang), melainkan justru sisi jeleknya, kekurangannya, atau bahkan ketidakmampuannya.
Maka sekali lagi pertanyaannya adalah, mengapa kita ngrasani?
Di dalam kodratnya sebagai makhluk yang serba penuh kekurangan, manusia amat perlu merasa nyaman dan bangga pada diri masing-masing biar nggak bunuh diri. Bahasa Inggris-nya, to feel good about themselves.
Untuk memenuhi keperluan itu, kita mengejar berbagai macam prestasi. Bintang kelas, siswa teladan, keterima PNS, punya skill, nerbitin novel, tampil di Pecha Kucha Night, bisa ngemsi, pokoknya apapun yang membuat diri kita jadi terasa berarti buat masyarakat.
Dan di antara semuanya, aku yakin yang paling kerasa membuat kita feel good about ourselves adalah kalau kita punya expertise atau level keahlian tertentu. Kita punya skill yang orang lain nggak punya. Bisa skill jadi hacker, jadi penulis, jadi gamer, atau filmmaker, and so on.
Level keahlian akan membuat kita dibutuhkan oleh publik. Kerjaan dan aktivitas pun tak hanya sebatas “kantor tempat kerja”, namun apapun yang memerlukan keahlian kita. Jago mesin motor tak melulu sibuk di bengkelnya, tapi mungkin juga dimintai tolong mbetulin motor tetangga, diminta jadi narasumber training mekanik, atau nyambi jadi montir tim balap underbone.
Adalah prestasi, pencapaian, atau tingkat keahlian yang membuat kita merasa nyaman dan bangga pada diri sendiri. Ketika orang nggak mempunyai itu semua, hidup standar, terjebak rutinitas yang bikin gerah tapi nggak bisa apa-apa, satu-satunya cara untuk feel good about themselves ya hanya dengan ngrasani, karena memang tak ada yang dapat dibanggakan dari diri sendiri.
Saat menggunjing, kita menempatkan sang objek dalam posisi jauuuuh di bawah kita. Mungkin dari sifatnya, tindak tanduknya yang tak ramah, atau kelakuannya yang minus, lantas sambil bersyukur bahwa “amit-amit gua nggak kayak dia!”. Nah, saat kita bisa menempatkan orang lain dalam posisi yang lebih buruk itulah baru kita bisa merasa bangga pada diri kita sendiri.
Sebaliknya, ketika level keahlian membuat kita selalu sibuk dan penuh kegiatan, apalagi yang berkaitan dengan ide-ide brilian, maka kita nggak butuh lagi mengedropkan posisi orang lain di mata kita hanya untuk merasa diri ini berarti. Seandainyapun hendak membicarakan (kekurangan) orang lain, pasti karena terlebih dulu sedang mendiskusikan satu topik tertentu, dan orang tersebut diambil hanya sebagai ilustrasi, bukan karena khusus menggunjingkan dia secara panjang kali lebar.
Kadang suka heran sendiri. Semua orang punya TV. Pas bulan puasa gini yang namanya ustad berkeliling di semua channel. Lalu orang-orang pada berduyun-duyun ikut pengajian atau istighosah. Dan isi ceramah para ulama itu sama dan serupa soal bergunjing, yaitu dosa dan dilarang. Tapi makin sering ikut pengajian, Yasinan, tahlilan, manggut-manggut pas diceramahi ustad, kok ya skill dan frekuensinya dalam ngrasani malah mengalami peningkatan. Ketahuan kalau isi ceramah nggak dicatet, tapi datang cuman untuk nadahi pahala (dan snek, kalo ada!).
So, instead of wasting time dengan ngrasani, isi waktu dengan nyari-nyari kelebihan diri atau kesibukan yang membuat kita nggak punya waktu lagi untuk nongkrong hanya buat ngrasani.
Aku pernah baca ini di kartu ultah Hallmark: “Don’t just add days to your life. Add life to your days...”
0 komentar:
Posting Komentar