scribo ergo sum

Selasa, 01 September 2009

17 Tahun

10:04 Posted by wiwien wintarto No comments




Nggak menyangka, Rabu 5 Agustus 2009 lalu ternyata menjadi hari yang sangat spesial buatku. Bareng Okta, hari itu aku ke kantor Suara Merdeka di Jl Kaligawe untuk ngambil honor tulisan kuis dan artikel hiburan soal Megan Fox. Ternyata, itu menjadi honor SM-ku yang terakhir. Sesudah ini, aku mungkin nggak akan pernah lagi ke sana untuk urusan apapun.
Semua berkaitan dengan mundurnya Om Daktur Budi Maryono Umres dari pekerjaannya di SM. Secara otomatis itu mengakhiri pula karierku sebagai penulis freelance di SM yang sudah berlangsung sejak 1992. Besok-besok mungkin nggak akan ada editor SM yang tertarik untuk pesen tulisan dariku.
Dan kesibukan baik di Gradasi maupun di pekerjaan utama sebagai novelis barangkali nggak akan memungkinkanku untuk berinisiatif ngirim naskah tulisan ke sana. Terlebih setelah Kantin Banget dilikuidasi dari SM dan diganti Swaramuda yang diasuh kru Olga! dengan “pandangan politik” yang beda jauh dengan aliranku.
Aku masih ingat betul. Dulu, pada bulan Mei 1992, aku pertama kali memasukkan naskah hiburan ke Cempaka Minggu Ini. Waktu itu CMI masih ngantor di Kaligawe, dan editor yang kutemui adalah Mas Bambang Iss. Artikel pertamaku itu bicara soal bandrol album.
Sesudah tulisan itu dimuat, aku rajin ngirim tulisan ke CMI. Kalau nggak artikel hiburan, biasanya juga olah raga dan dongeng anak-anak. Pernah juga satu kali cerpenku dimuat (judulnya Kembali Sesaat, tahun 1993). Waktu itu naskah masih diketik. Khusus untuk artikel hiburan, aku lampiri foto warna yang kupotong dari majalah remaja (kan belum ada internet!), lantas kubawa jalan ke rumah Mas Biss yang ketika itu masih sama-sama tinggal di Blok F Genuk Indah (dia RT 6, aku RT 3).
Tiap kali tulisan dimuat, honor waktu itu masih sekitar Rp 30 ribu, tapi bisa dipakai buat beli macam-macam. Biasanya aku beliin kaset yang harganya Rp 13 ribuan (kaset Indonesia Rp 10 ribu). Sisanya dipakai buat uang saku. Penghasilanku nambah ketika mulai 1993, aku menjalani pekerjaan baru sebagai pembuat TTS.
Ketika (almarhum) Bapak menjadi redaktur TTS, pekerjaan pembuatannya diserahkan ke aku dan Itok. Waktu itu kan TTS mainnya dua kali. KAO (Kotak Asah Otak) pada hari Rabu dan SOM (Silang Otak Minggu) di Edisi Minggu. Itok yang Minggu, aku yang Rabu. Honor bulanannya, Rp 150 ribu, dibagi dua, dan bisa dipakai bayar uang kuliah.
Karena belum ada komputer, pekerjaan bikin TTS masih kulakukan secara manual. Dimulai dari bikin garis kotak-kotak pakai pensil dan spidol, lalu menghitamkan blok-blok dengan tinta dan spidol. Lebih rumit karena TTS kala itu harus dibuat simetris kanan-kiri, atas-bawah. Baru sesudah sampai di Redaksi, “pola” TTS akan dijiplak oleh pe-layout dengan komputer.
Mulai Mei 1997, aku nulis di EM, yang rubrik entertainment-nya digawangi oleh Mas Handry TM. Itulah pertama kalinya aku bersirobok dengan Mas TM, yang sudah kuidolaken sejak 1982, saat aku mbaca cerbungnya yang berjudul Matahari Merah di Majalah MOP (kalau gak salah tokoh utamanya bernama Lira). Tulisan pertamaku di EM mengupas soal grup Kula Shaker yang saat itu ngetop di MTV lewat lagu India-nya, Govinda (jaya jaya, gopala jaya jaya, dst).
Lalu, periode paling menyenangkan adalah saat cerita silat bersambungku, Menuju Matahari, dimuat di SM Agustus 1997 hingga Juli 1998. Wah, itu bener-bener mimpi jadi nyata. Sejak membaca cersil karya (almarhum) Widi Widayat, yaitu Ki Ageng Ringin Putih (1982) dan Iblis Dari Gunung Wilis (1983, tokoh utamanya bernama Fajar Legawa), aku bermimpi bisa menerbitkan cersilku bersambung di koran, terutama SM.
Pas MM dimuat, aku kerja di Tabloid Dharma, yang kantornya berlokasi di Jl Surtikanti deket pasar. Ketika itu teman-teman kantor nanya, apa arti judul Menuju Matahari. Filosofinya apa. Kujawab saja bahwa arti atau makna judul itu adalah, sesudah cersilnya dimuat, aku akan menuju Matahari di Simpanglima guna membelanjakan honornya buat beli baju!
Hubungan terdekatku dengan SM adalah saat aku kerja di Tabloid Tren periode 2001-2005. Nggak lagi hanya penulis freelance, aku juga karyawan SM Group. Dan masa-masa akhir sesudah Tren diganti Olga! plus aku keluar dari sana bulan November 2007, aku ikut sibuk di Kantin Banget EM hingga rubrik itu dan gengnya dibubarkan tanggal 1 Agustus 2009 lalu.
So, berakhir di sini sebuah periode yang telah berlangsung selama 17 tahun. Tentu, sebagaimana hubungan-hubungan lain jenis apapun di dunia ini, yang pernah terjadi antara SM dan aku nggak semuanya indah penuh bunga. Meski begitu, tetep aja SM adalah sekolahku yang sesungguhnya. Begitu banyak yang kupelajari, yang membuat SM akan selalu punya tempat istimewa kalau ntar aku nulis buku otobiografi, 20 atau 30 tahun lagi.
Thanks for everything. Maaf kalo ade sale-sale kate. Aku masih ingat saat pertama kali ambil honor ke TU SM, (almarhum) Pak Soejoto menaikkan honorku dari Rp 30 ribu menjadi Rp 35 ribu. Aku akan merindukan saat-saat menthungul ke kantor Mbak Utami, Mbak Etty, dan Mas Agus untuk ngambil honor tulisan.
Kemarin Arswinda nanya, kapan aku akan main ke Kaligawe. Setelah kini ODBMNU berhenti dari SM, mungkin nggak akan pernah lagi (selain itu Jalan Kaligawe masih macet pol!).
Kalau ini film, ending-nya pas credit title muncul bisa dikasih soundtrack lagu lawasnya Debbie Gibson, Goodbye,
Goodbye, how do you say goodbye
Do I just look you in the eye
Shake your hand, wish you well
After all this time
I never wanted for goodbye…

0 komentar:

Posting Komentar