scribo ergo sum

Selasa, 06 Oktober 2009

Senopati Nina Bobo

10:22 Posted by wiwien wintarto 4 comments

Saat melihat kaver novel Panembahan Senopati: Geger Ramalan Sunan Giri karya Gamal Komandoko, ingatanku langsung melayang ke Senopati Pamungkas, masterpiece cersilnya Arswendo Atmowiloto. Aku mengira, Panembahan Senopati akan sama seperti Senopati Pamungkas, sebuah cerita silat berlatar belakang sejarah yang seru, mendebarkan, dan memberi banyak pengetahuan baru.
Sayang dugaanku meleset luar biasa jauh. Tak hanya sama sekali tak mendekati Senopati Pamungkas, Panembahan Senopati juga mirip sebuah antiklimaks. Gagah di judul dan kover (terlebih ada reklame “Sebuah Novel Epos Penuh Gelora” diapit daun palem mirip film pemenang Oscar atau Cannes!), tapi mengecewakan di isi.
Sebagaimana judulnya, novel terbitan Diva Press Yogyakarta setebal 395 halaman ini berkisah soal romantika hidup Panembahan Senopati ing Alaga, pendiri dinasti Mataram yang berkuasa di Jawa hingga kini (menjadi Keraton Yogyakarta dan Keraton Kasunanan Surakarta). Senopati yang bernama kecil Danang Sutawijaya adalah putera Ki Pemanahan, saudara seperguruan dan sekaligus tangan kanan Sultan Pajang Hadiwijaya.
Sesudah bersama Ki Juru Mertani dan Ki Penjawi, Ki Pemanahan membantu Hadiwijaya membunuh Adipati Jipang Arya Penangsang, ia dianugerahi tanah di Alas Mentaok. Dibantu Ki Juru dan Sutawijaya, Ki Pemanahan mendirikan kota Mataram, yang di bawah administrasi Pajang berbentuk sebuah kademangan. Ketika Ki Pemanahan wafat pada tahun 1584, Sutawijaya menggantikan kedudukan ayahnya sebagai pemimpin Mataram bergelar Senopati ing Alaga.
Sesudah itu, hidup Senopati sebagai penguasa Mataram dipenuhi perang dan berbagai ekspedisi invasi untuk memperluas daerah kekuasaannya. Sesudah nyaris berperang melawan Pajang, ia dibantu Adipati Jipang Pangeran Benawa merebut Pajang yang dipimpin Sultan Pangiri, dan terakhir melakukan serangkaian penaklukan kawasan timur pulau Jawa.
Dalam skala yang berbeda, masalah yang dipunyai novel ini sama dengan yang dipikul Oliver Stone lewat Alexander: terlalu ambisius. Dengan media yang terbatas (durasi sekian menit untuk film dan ketebalan sekian ratus halaman untuk buku), biografi penuh seorang tokoh besar sekaliber Alexander Agung dan Panembahan Senopati tak akan mungkin tertampung dengan sempurna.
Novel ini pun mengkover nyaris kisah hidup Senopati seumur hidupnya, dimulai dari saat ia masih remaja dan hendak hijrah meninggalkan Pajang menuju Mataram (sekitar tahun 1580-an) dan berakhir dengan saat ia meninggal tahun 1601. Hanya dua dekade, tapi banyak cerita menarik terjadi dalam kurun waktu itu. Maka, peristiwa demi peristiwa penting pun hanya sanggup diceritakan selintas mirip sinopsis.
Dan penggemar cerita silat (sepertiku) pasti akan langsung kecewa, karena sama sekali tidak ada sekuen pertarungan silat di buku ini, sebagai akibat dari penceritaan event demi event yang hanya selintas-selintas tadi. Keampuhan dan ketokohan tiap karakter pun cukup diungkap dengan istilah-istilah dari khasanah dongeng nina bobo, seperti “sakti mandraguna”, “digdaya”, atau “memerintah dengan arif dan bijaksana”. Untung ending-nya nggak berakhir dengan “…happily ever after”!
Namun Panembahan Senopati mungkin memang tidak dimaksudkan bermain di ladang yang sama dengan SH Mintardja atau Asmaraman S Kho Ping Hoo. Influence-nya pasti adalah kesuksesan luar biasa pentalogi Gajah Mada karya Langit Kresna Hariadi. Gamal Komandoko pun sebelumnya pernah menulis novel yang sama-sama biovel (biography novel, saingan biopic!), yaitu Jaka Tingkir: Jalan Berliku Menjemput Wahyu. Ia juga menovelkan dua tokoh sejarah lain, yaitu Sanggrama Wijaya dan Trunojoyo.
Untuk ukuran zaman sekarang, penceritaan model dongeng nina bobo yang dipakai Gamal rasanya sudah amat ketinggalan. Pembaca yang makin kritis dalam menganalisis sejarah butuh novel yang lebih mendekati realitas, bukan lagi berbasis klenik-metafisik semisal wirayatuya (ramalan) Sunan Giri, tubuh Senopati yang kebal mirip pemain debus, atau air kelapa muda nan sakti yang mengandung wahyu raja-raja.
Bahwa semua unsur itu masih tetap eksis di khasanah budaya Jawa bahkan hingga abad ke-21 sekarang ini, sah-sah saja untuk tetap ditampilkan. Tapi berdasar referensi sejarah yang lain, patut pula pembaca diberi penjelasan tentang watak Senopati yang ambisius memperluas wilayah bukan hanya semata karena wirayatuya, namun karena ingin mengangkat derajat keluarga besarnya yang berasal dari kasta masyarakat terbawah menuju kalangan elit para penguasa.
Seri buku sejarah Mataram karya De Graaf menjelaskan, Senopati penasaran karena oleh para penguasa lain di Jawa pada abad ke-16, ia direndahkan dan tak dianggap sederajat. Ayahnya, Ki Pemanahan, hanya orang desa biasa yang sama sekali tak dialiri darah biru warisan Majapahit sebagaimana penguasa Demak, Jipang, Pajang, dan negeri-negeri Bang Wetan macam Madiun dan Surabaya.
Dan pelecehan itu makin kentara ketika ia hanya boleh memakai gelar Panembahan sesudah Mataram menjadi negara merdeka dan membawahi Pajang, Jipang, serta Demak. Panembahan adalah gelar penguasa yang berada setingkat di bawah Sultan atau Sunan, dan setingkat di atas Ki Gede (penguasa tanah perdikan, tanah merdeka yang bebas dari pajak atau upeti).
Sekadar info, dari buku De Graaf juga, penguasa Jawa waktu itu harus meminta izin berkuasa dulu ke Sunan Giri. Setelah diberi izin berkuasa, ia juga menerima gelaran resmi. Hadiwijaya menerima gelar sultan dari Sunan Giri. Demikian pula disebutkan, sesudah memerdekakan Mataram, Senopati minta izin ke Sunan Giri, tapi hanya pulang membawa gelar Panembahan.
Mas Jolang, pewaris tahta Mataram sesudah Senopati, juga hanya bergelar Panembahan Anyakrawati. Mataram baru dipimpin oleh seorang sultan sesudah Keraton Giri diserbu dan pewaris kedudukan Sunan Giri ditaklukkan pada awal abad ke-17 oleh tokoh yang kelak memakai nama gelar Sultan Agung Hanyakrakusuma.
So, sumber penulisan novel sejarah pun akan lebih baik berupa buku-buku sejarah karya De Graaf atau Slametmuljana dan tak melulu bersandar pada roman dongeng nina bobo seperti Babad Tanah Jawi atau Babad Demak yang penuh cerita-cerita fantastik penuh simbolisme.

4 komentar:

  1. dan saya masih menunggu tembang tanah air untuk diterbitkan lagi setelah senopati pamungkas .... ada kontak ke mas arswendo mas?!? suruh terbitin tuh hihihi~

    BalasHapus
  2. gak duwe. mung tau nelpon pisan. itupun pas interviu soal inul th 2004 lalu :)
    katanya tembang tanahair macet stlh 5 episod. trus skrg blm diterusin lagi. aku yo nunggu2 kuwi...

    BalasHapus
  3. andrew00.53

    mas bikin petisi untuk menyuarakan aspirasi pembaca Kisah Senopati Pamungkas & tembang tanah air biar mas wendo terketuk meneruskan apa tuh...Suksma Sejati ya?

    BalasHapus
  4. Andi09.47

    kebelet nunggu Tembang Tanah Air nih...

    BalasHapus