The Girl in the Café (TGC) adalah jenis cerita drama percintaan yang paling kusukai. Natural, lembut, sunyi, dan menghanyutkan. Ada konflik, itu pasti. Tapi nggak diletuskan jadi konflik-konflik permukaan yang penuh orang emosi, marah, bertengkar, baik vs jahat, “tunggu! Kamu harus dengar dulu penjelasanku!”, dan lari lantas ditabrak truk!
Pembukaannya adalah sebuah pertemuan di kafe yang udah penuh orang. Karena nggak nemu meja lagi, Lawrence (Bill Nighy) lantas berbagi meja dengan Gina (Kelly Macdonald). Karena belum kenal, mereka duduk berhadap-hadapan tapi di sisi beda (macam kalo Okta dan aku makan mie ayam Karangrejo dan harus berbagi meja dengan pasangan lain).
Di Islandia semua bermula. Mereka harus tidur sekamar karena hotel sudah penuh. Lawrence harus menghadapi lirikan nakal teman-teman sekerjanya karena membawa Gina yang masih kinyis-kinyis. Dan semua jadi kacau saat Gina yang kritis nekat mengkritik Menkeu Inggris, Menkeu Jerman, dan bahkan PM Inggris soal keenggakpedulian para politikus itu terhadap bahaya kelaparan dan kemiskinan masif di seluruh dunia terutama Afrika.
Skenario TGC ditulis oleh Richard Curtis, penulis Mr Bean, Four Weddings in a Funeral, dan Bridget Jones’ Diary serta sutradara Love Actually. Kursi penyutradaraan sendiri dipegang oleh David Yates, yang menyutradarai tiga seri terakhir film Harry Potter.
Apa yang paling istimewa dari TGC? Pertama yang kurasakan adalah kehalusannya. Ibarat kain, TGC adalah sutera. Semua dijelaskan dengan cara yang lembut. Adegan, akting, dan dialog yang terasa biasa-biasa aja, tapi mengatakan lebih dari apa yang terlihat.
Kegugupan Lawrence, sinar mata sexy Gina, semua muncul begitu saja. Dan kita sudah langsung tahu apa yang ada di benak mereka cukup dengan melihat. Adegan mBatin dan monolog? Wah, jauh, Bung!
Aku ketawa waktu Lawrence pas makan di resto dengan groginya bilang “Yang suka kelapa mungkin akan datang ke sini. Yang nggak suka kelapa tentu saja nggak perlu datang” hanya agar punya bahan obrolan dengan Gina. Juga waktu Lawrence membuka kancing paling atas kemejanya sesudah mendengar Gina cerita cowoknya yang terdahulu nggak pernah mengancingkan kancing paling atas piyamanya.
Dan penelusuran ke dalam momen politik tingkat tinggi semacam KTT G8 adalah sebuah bonus pengetahuan tersendiri—yang nggak pernah bisa disuguhkan sineas (instan) Indonesia masa kini. Itu membuat TGC membawa beban pesan yang berat, sekalipun inti pesan ceritanya sama sekali bukan itu karena ini bukan film politik, tapi komedi percintaan biasa.
Adegan lucu juga muncul saat teman-teman Lawrence ngrasani delegasi Prancis, yang bisa bahasa Inggris tapi pasti bicara dalam bahasa ibu mereka sendiri di depan mikrofon karena “nggak bisa menerima bahasa Prancis bukan bahasa internasional utama”. Lebih lucu lagi saat para anggota delegasi buru-buru memakai headset penerjemah saat ada delegasi lain yang bicara dalam bahasa non-Inggris.
TGC adalah jenis film (cerita) tempat konflik bukan menjadi daya tarik utama, kalau nggak boleh dibilang sama sekali tanpa konflik. Bukti bahwa kita bisa bikin cerita menarik tanpa dibumbui satupun konflik “jedar-jedor” yang berdarah-darah.
Dan sebagai hadiahnya, film produksi BBC ini memenangi Primetime Emmy Awards 2006 untuk kategori Film Televisi Terbaik.
0 komentar:
Posting Komentar