Beberapa waktu lalu, ada seorang pengarang menyerahkan naskah cerbung ke Gradasi. Sebut saja namanya Joker, dan dia memasukkan naskah dalam bentuk buku kecil dengan tulisan diketik pakai mesin tik Jowo. Yang lucu, buku itu berbentuk “buku”. Lengkap dengan “desain kover” dan termasuk nama “penerbit” dicantumkan di bagian dalam.
Aku bukan hendak menertawakan dia yang terobsesi pengin nerbitin buku. Sebaliknya, justru merasa satu “spesies”, soalnya 25 tahun lalu aku juga melakukan hal yang sama saat terobsesi hal serupa. Waktu itu, Januari 1983, aku “menerbitkan” sebuah novel yang berjudul Yang Dinanti Datanglah Jua (judule ndeso!).
“Penerbit”-nya adalah CV Eka Jaya Sakti. Ini “perusahaan” karangan aku dan sobat dekatku waktu itu, Edy Wahyudi warga Kapas Raya Blok E 597 Genuk Indah (anake Pak Sofwan) yang sekarang lenyap entah ke mana. “Buku”-nya di-“cetak” dengan buku tulis Cap Banteng yang sampulnya berwarna biru (buku paling terkenal kala itu!) dan sampai sekarang masih kusimpan untuk jaga-jaga memorabilia kalau ntar aku menang Hadiah Nobel Kesusasteraan dan jadi sengetop Hemingway atau F Scott Fitzgerald! (kalau dilelang sesudah aku nggak ada, mungkin bisa laku Rp 2 miliar di Christie’s atau Sotheby’s!)
Nah, balik ke urusan buku kiriman Joker itu tadi, entah gimana asal muasalnya, tahu-tahu aja tu buku ngilang. Sepertinya ketlingsut pas kantor Redaksi Gradasi pindahan. Maklum, namanya kantor media massa , apalagi berlokasi di kompleks sekolahan, pasti isinya tumpukan kertas dan buku tok. Buku Joker pastinya nyelip di salah satu lautan dokumen itu tanpa sengaja ketika usung-usung, dan hingga sekarang belum juga ketemu.
Berhubung itu adalah hartanya yang paling berharga, berkali-kali Joker meminta dan menuntutku untuk menemukan dan mengembalikan lagi bukunya. Awalnya masih hanya memohon, mengimbau, lantas agak keras sampai menuntut pertanggung jawaban segala, dan terakhir jadi absurd karena dia minta aku menghubungi orang pintar alias dukun untuk men-“scan” alam semesta guna menemukan di antah berantah mana buku itu berada!
Aku sih bukan hendak mengelak dari tanggung jawab. Sampai sekarang aku masih rajin membolak-balik tumpukan kertas di sekitar kantor (dan juga kamarku) kalau-kalau buku itu mendadak nongol. Aku juga minta tolong Eka, Hita, dan bahkan Pak Anton untuk bantu mencari.
Yang bikin aku gusar adalah (dan ini pernah kukatakan langsung padanya!), kenapa dia terus aja terobsesi satu buku itu dan bukannya move on untuk membikin karya-karya lainnya karena life goes on. Masalahnya, ada banyak pengarang lain yang mengalami nasib yang sama tragis dengannya, yaitu kehilangan naskah berupa satu buku, tapi nggak lantas menghabiskan seumur sisa hidup untuk menangisi dan meratapinya.
Tempo hari Vie’s cerita pernah kehilangan satu naskah novel setebal 200-an halaman yang udah siap print dan siap kirim ke penerbit gara-gara HD-nya remuk kena virus sementara dia nggak nyimpen kopinya. Yang ini lebih tragis dari nasib Joker karena sudah pasti nggak akan pernah bisa di-recover lagi dengan cara apapun.
Apakah Vie’s terpukul? Jelas iya! Apakah dia menangis pilu bagaikan hati disayat sembilu? Mungkin juga iya (wong aku nggak dengar langsung suara tangisnya!). Tapi dia bisa pelan-pelan melupakan kehilangan itu untuk bangkit lagi dan meneruskan kegiatan nulisnya seperti biasa sampai sekarang.
Aku sendiri juga pernah mengalami insiden serupa bulan Agustus tahun 2000 lalu. Yang ini lebih hebat karena aku kehilangan satu set naskah cerita silat setebal 600-an halaman lebih yang sudah tamat dan tinggal masukin ke Pak Amir Machmud di SM untuk nerusin serial cerbung silat Menuju Matahari yang pernah dimuat di SM tahun 1997-1998.
Btw, cersilnya sendiri berjudul Mentari Bumi Tirang. Ceritanya soal petualangan Ki Ageng Pandanaran dalam mendirikan Kota Semarang pada awal tahun 1500-an lalu. Di situ Ki Ageng Pandanaran masih pake nama mudanya, yaitu Raden Kambyah. Ia dibantu oleh Kiai Lanang alias Syeh Wali Lanang, pamannya yang juga tokoh sejarah.
Kisah Raden Kambyah dan Kiai Lanang aku ambil dari riset sejarah Amen Budiman dalam buku Semarang Riwayatmu Dulu bersampul ijo muda punya almarhum Bapak dari awal dekade 1980-an dulu. Syeh Wali Lanang atau Syeh Jumadil Kubro sendiri adalah tokoh yang dimakamkan di Masjid Terboyo dekat jalan layang tol Jl Kaligawe.
Gara-gara HD Quantum Bigfoot 1,7 GB punyaku jebol, naskah itu hilang. Turut hilang pula bersamanya adalah naskah skripsiku yang sudah selesai tapi belum di-ACC dosen pembimbing sehingga terpaksa harus aku ketik lagi sejak dari kover judul sampai daftar pustaka.
Sudah jelas aku sedih pol. Bahkan sampai sekarang bayangan Mentari Bumi Tirang dan tokoh-tokohnya masih terus menghantuiku. Aku juga nggak pernah tahu apakah dalam masa hidup yang ini aku akan bisa membangkitkan lagi cerita itu atau tidak. Materinya terlalu bagus dan indah untuk dibiarkan mengendap di benak dan tak terbaca oleh orang-orang, tapi memunculkan kembali cersil masif setebal 600 halaman jelas bukan jenis pekerjaan yang bisa dilakukan semua pendekar, eh… pengarang!
Namun tentu saja aku nggak menghabiskan seluruh waktu dan energiku untuk menangisi MBT. Selagi aku mencari cara untuk bisa menuliskannya sekali lagi, aku menciptakan karya-karya yang lain karena dunia nggak berhenti. Akhirnya sedikit banyak kehilangan itu tergantikan oleh naskah-naskah lain terutama buku-bukuku yang telah terbit dan lumayan laris.
Makanya kalo aku jadi si Joker, aku akan lupakan aja soal buku yang hilang. Aku akan berhenti menteror redaktur sialan yang telah menghilangkan bukuku itu. Aku akan fokus mencetak karya-karya lain yang lebih spektakuler. Soal buku hilang, biarlah kupasrahkan saja pada Tuhan apakah hendak ketemu atau nggak. Toh seandainyapun buku itu bisa ditemukan lagi suatu saat nanti, aku mungkin akan menertawakan sendiri isinya karena kalah bagus dari buku-buku dan naskah-naskah yang kutulis sesudahnya.
mngkin dy merasa ada ikatan or kisah yang spesial dg karya itu. mungkin tentang seseorang or kejadian nyata untk dy, yach who knows kan mas? tp km bener, seharusnya kita g hanya stuck di situ aja. life must go on.
BalasHapusiya. mungkin juga. sampe dibela2in mau ngundang dukun segala. tapi kalau harus ngundang dukun, mending dukunnya disuruh ngasih sabuk pengasihan atau batu pembangkit sukma aja buatku. hahahehe..!
BalasHapushahaha...
BalasHapuspadune sampeyan wedi didukunke ro so joko... eh... si joker :-D
betul, dhouz. aku wedi dukun. daripada dukun mending duren!
BalasHapus