
Akhirnya, selesai juga baca The Golden Compass-nya Philip Pullman. Biasanya bisa cepet menyelesaikan satu buku, kali ini nyaris sampai dua bulan. Nggak heran karena novel ini memang kayak timnas sepakbola Jerman, lambat panas. Awal-awalnya pelan, dan baru separuh terakhir penuh dengan aksi-aksi petualangan yang seru.
Beredar dengan judul terjemahan Kompas Emas, buku ini berkisah tentang petualangan seru seorang anak perempuan berumur 12 tahun yang punya nama Lyra Belacqua. Lyra yang yatim piatu tinggal bareng daemonnya, Pantalaimon, di Akademi Oxford di Brytain.
Hidupnya berubah ketika Roger, sahabatnya, hilang diculik Pelahap dan kabarnya dibawa ke Kutub Utara. Habis itu ia malah diangkat anak oleh seorang perempuan terpandang di London bernama Mrs Coulter. Sebelum pergi, ia secara diam-diam menerima sebuah kompas emas ajaib yang disebut alethiometer dari Master Akademi Jordan, kepala sekolahnya.
Segera setelah itu hidup Lyra penuh petualangan seru yang amat mencengangkan. Ia ikut rombongan tentara gipsi menuju Kutub Utara untuk membebaskan anak-anak yang disandera para Pelahap. Dalam perjalanan ia bertemu dan bersahabat dengan seekor panserborne (beruang kutub berbaju besi) yang bernama Iorek Byrnison.
Lyra juga harus bertarung melawan orang-orang Samoyed dan Tartar yang kejam. Dan setelah bertemu dengan klan penyihir yang dipimpin oleh Serafina Pekkala yang masih cantik meski sudah berusia 300 tahun, petualangan membawanya ke Svalbard, kota di ujung Utara yang dikuasai raja beruang Iofur Raknison.
Golden Compass adalah buku pertama dari trilogi His Dark Materials yang memenangi The Carnegie Medal dan Guardian Award. Dua judul yang berikutnya menyusul adalah The Subtle Knife dan The Amber Spyglass.
Buku ini dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu Oxford, Bolvangar, dan Svalbard. Pada bagian awal, ceritanya masih terasa lamban dan datar. Baru sesudah perjalanan Lyra sampai ke Bolvangar, mulai terjadi banyak kejadian seru yang menarik. Namun justru bagian pertama di Oxford itulah yang menjadi set up dan fondasi dari keseluruhan cerita di Golden Compass.
Apanya yang paling menarik dari buku ini? Sebagai sebuah novel fantasi, tentu saja adalah orisinalitasnya. Beberapa waktu lalu aku pernah baca Ledgard, novel fantasi karya WD Yoga. Aku berhenti baca di halaman 80-an karena Ledgard nggak menarik buatku. Bukan karena Ledgard bikinan orang Indonesia dan Golden Compass buatan orang bule Inggris, melainkan hanya karena urusan orisinalitasnya itu tadi.
Ledgard yang ditulis wong kene (orang sini) malah justru mutlak meminjam seluruh unsur mitologi Eropa, dan bukan menciptakan sebuah dunia sendiri yang disesuaikan dengan budaya Indonesia. Nama kota mirip Leningrad atau Stalingrad, ada centaur (makhluk campuran manusia dan kuda), ada kaum peri (elves), dan gambaran kapal terbangnya (bukan pesawat, tapi kapal laut yang melayang di angkasa) mirip yang ada di film Stardust.
Sebagai sesama pengarang, buatku itu nggak menantang karena seperti hanya sekadar copy+paste dari semesta The Lord of the Rings dan tinggal mengubah sana-sini seperlunya. Akan lebih bagus jika novel fantasi Indonesia mengadaptasi semesta mitologi-epik Mahabarata atau Ramayana. Meski juga bukan asli buatan lokal, at least udah kadung mendarah daging dengan budaya kita selama ribuan tahun.
Nah, balik ke Golden Compass, Philip Pullman berhasil menciptakan sebuah dunia yang sama sekali baru. Kita dibawa ke dunia paralel yang mirip dengan dunia kita di sini. Ada Inggris tapi agak beda. Demikian juga ada orang-orang Tartar (Mongol) tapi juga agak beda. Dan yang paling spektakuler adalah konsep ciptaan Pullman sendiri tentang daemon.
Daemon (dibaca demon tapi beda dengan demon yang berarti iblis) adalah representasi jiwa manusia dalam bentuk binatang. Semua manusia punya daemon, yang selalu mendampingi ke mana saja dan bisa diajak bicara. Daemon Lyra bernama Pantalaimon, yang bisa berubah-ubah ujud dari kucing, cerpelai, lalat, ngengat, kunang-kunang, hingga macan tutul dan serigala.
Saat seseorang masih kanak-kanak, daemonnya bisa berganti-ganti bentuk. Daemon baru mengambil bentuk tetap sesudah manusianya memasuki masa akil balik. Bentuknya menyesuaikan dengan jiwa si manusia. Seorang pesuruh biasanya akan memiliki daemon berbentuk anjing. Pemikir atau cendekiawan berdaemon burung gagak. Sedang pemimpin memiliki daemon serigala atau macan.
Kehebatan Pullman adalah, kita sebagai pembaca betul-betul terseret dalam pemahaman imajinatif tentang daemon ini. Kita turut merasakan sedih saat anak-anak diputus dari daemonnya dan lantas sibuk kian-kemari mencari daemon itu. Kita juga turut merasa nelangsa melihat kaum beruang yang begitu inginnya punya daemon seperti manusia sehingga mereka bepergian sambil menenteng-nenteng boneka!
Dan buatku yang pernah belajar ngelmu tuwa dari Perguruan Cakrabuana (koyok crito silat wae…!), daemon mengingatkanku pada Ingsun, yang juga manifestasi jiwa tiap individu manusia. Tiap dari kita memiliki Ingsun sendiri-sendiri. Bedanya, Ingsun dalam khasanah budaya Jawa adalah representasi higher consciousness/higher being alias Tuhan YME.
Dalam level pelajaran syariat-hakekat-tarekat-makrifat, kita akan sampai pada peleburan diri dan Ingsun sebagai pencapaian yang tertinggi (wah, mulai ke mistik!). Kita akan sampai pada tahap manunggaling kawula-Gusti, mengerti sangkan paraning dumadi, dan akhirnya memahami ilmu Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu seperti yang ada di novel Hubbu karya Mashuri.
Memang urusan daemon nggak sampai setinggi ilmu klenik-mistik kejawen itu, tapi tetap saja elemen ini menjadi nilai lebih trilogi His Dark Materials yang nggak dipunyai buku-buku fantasi lain. LOTR, Harry Potter, atau The Chronicles of Narnia emang seru karena berhasil menciptakan semesta dan kejadian-kejadian yang nggak ada di alam nyata, namun pencapaian JRR Tolkien, JK Rowling, dan CS Lewis belum sampai ke penciptaan konsep berpikir seperti yang dilakukan Philip Pullman.
Dan untuk itu, jelas aku akan langsung teruskan ke The Subtle Knife serta The Amber Spyglass.
kayaknya seru, jd pengen baca ik. nabung ah buat beli..............
BalasHapusthanx reviewnya mas.
thanks juga. iya belilah! kalau kita2 nggak beli, kasihan dapurnya pilip pullman nggak ngebul...
BalasHapusMas Wiwieeeennnn... Kangeeeeeennnnnn........!!!!!
BalasHapushiks hiks hiks...
waaa... cah albany! aku juga kangen! pasti di situ nggak ada yu sri dan angkot jurusan Njohar ya!!
BalasHapusndang balio, Sri! ndang balio, hahaha...!