scribo ergo sum

Kamis, 16 Oktober 2008

Laskar Pelangi

10:42 Posted by wiwien wintarto 20 comments

Setelah menunggu selama hampir tiga minggu, akhirnya bisa juga nonton Laskar Pelangi. Rabu 15 Oktober 2008 kemaren, pas Okta berultah ke-18, kami nonton LP di E-Plaza yang main pukul 14.45 WIB. Selain untuk merayakan ultah doi, kebetulan juga pas dihadiahi kartu bebas 1 tiket dari Dewi Uji, jadi cuman perlu bayar satu kursi tok. Dan kebetulan kartu bebasnya pun pas terakhir berlaku tanggal itu.
Kupikir setelah hampir sebulan, jumlah penonton udah jauh menyusut dan jadi kayak film-film lain. Ternyata nggak. Pas masuk loket, tinggal kebagian deretan kursi K, alias paling depan. Sebenernya males nonton sambil ndangak, tapi berhubung ini momen spesial, terpaksa ya harus mau.

Soal LP sendiri rasanya nggak perlu diceritain lebih lanjut, karena semua orang yang tinggal, menetap, dan tidur di luar RSJ pasti tahu! Intinya adalah soal kehidupan murid-murid SD Muhammadiyah di Pulau Belitung, Sumatera Selatan (sekarang masuk Provinsi Bangka Belitung). Mereka bersepuluh adalah satu-satunya kelas (dan angkatan) yang dikenal di sekolah itu.
Mereka belajar di sekolah reyot yang bangunannya sudah hampir ambruk itu di bawah bimbingan Bu Muslimah, yang diperankan oleh Cut Mini. Meski kerap dipandang rendah karena miskin, mereka nggak bosan terus belajar hingga berhasil meraih dua piala bergengsi saat karnaval Agustusan tahun 1979 dan saat ada Lomba Cerdas Cermat Seratusan (karena satu poin jawaban benar bernilai seratus, khas Orde Baru!).
Karena mereka pernah diajak Bu Mus belajar di luar kelas dan melihat pelangi, mereka lantas dinamai Laskar Pelangi. Meski salah satu personelnya, Lintang si Jenius, keluar karena harus bekerja menghidupi keluarga, semua dapat terus belajar hingga lulus SD dan dua dekade kemudian, sang tokoh utama yaitu Ikal alias Andrea Hirata (Lukman Sardi) sukses mendapat beasiswa kuliah di Sorbonne, Prancis, dan lantas wisuda dan kerja di Telkom dengan gaji gede dan udah gitu waktu nulis novel ternyata laris manis spektakuler plus bisa difilmkan oleh Miles lagi (wong kok begjane kaya ngeneeee… marai meri sing isane gek dodolan Say No to Love…!!).
Secara umum, film LP yang disutradarai Riri Riza amat bagus. Far much better ketimbang film-film apapun yang biasa beredar (karena rata-rata emang jelek puol!). Bahkan jauh lebih oke daripada Ayat-ayat Cinta besutan Hanung, karena nggak ada satupun elemennya yang bikin aku nggak puas.
Ceritanya, dialognya, aktingnya, realitas permasalahannya, semangat positif yang diusungnya, teknik sinematografinya, semua nggak ada yang mendapat nilai merah. Dan Riri udah jauh lebih teliti dengan detail kecil-kecil ketimbang pas menggarap Gie dulu, terutama saat menggambarkan barang-barang kuno dari era 1970-an kayak poster Rhoma Irama, radio Phillips hitam, batu baterai yang karatan karena keseringan dijemur, atau label kardus Rheumason di toko.
Dan sungguh amat mengasyikkan menonton peragaan akting (akting sungguhan!) dari para jagoan kelas mahaguru kayak Slamet Rahardjo, Alex Komang, Ikranagara, atau Mathias Muchus. Nggak heran akting Rieke Dyah Pitaloka pun jadi kelihatan supernJeglek karena jadi terlalu over dan mirip peragaan akting mahasiswa yang baru belajar main teater kontemporer. Untung jatah dialog-nya sedikit banget!
Selain itu, kayak Denias: Senandung di Atas Awan, LP masuk jenis film yang “perlu” diproduksi sampai ngabisin dana miliaran rupiah karena emang membawa pesan yang baik, dalam hal ini soal pendidikan. Soalnya film-film Indonesia yang lainnya nggak ngasih message penting apapun sehingga rasanya kayak hanya membuang-buang percuma duit yang sebegitu besar tanpa guna.
Tapi seperti film-film garapan Riri Riza lain, LP mirip seorang musisi jenius kelas Mozart yang muncul cukup hanya dengan menyanyikan I Love U Bibeh. LP jelas udah oke, tapi entah kenapa aku merasa film ini seharusnya bisa menjadi jauh lebih bagus dari ini. Nggak tahu juga. Mungkin aku overexpectation atau apa, tapi banyak momen yang lewat biasa-biasa aja.
Contohnya adegan Bu Mus masuk mengajar lagi setelah lima hari mogok belajar sepeninggal Pak Harfan (Ikranagara). Juga adegan saat Ikal dan kawan-kawannya pertama kali melihat pelangi. Dan yang terpenting adalah fragmen akhir saat Ikal dewasa mengunjungi kembali kampung halamannya pada tahun 1999.
Kenapa dia hanya bereuni dengan Lintang? Bagaimana dengan kawan-kawannya yang lain? Kenapa mereka nggak mengunjungi kembali bekas lokasi sekolah mereka dulu? Dan yang paling kuharapkan pun nggak terjadi, yaitu Ikal bertemu kembali dengan Bu Mus sebelum berangkat ke Prancis. Pasti amat mengharukan!
Yang jelas aku belum baca novel LP-nya Andrea Hirata, jadi nggak tahu juga ending aslinya di buku bagaimana, apakah Bu Mus masih hidup atau nggak, dan apakah si Andr, eh… Ikal ketemu lagi dengan (atau menziarahi makam kalau udah meninggal) Bu Mus sebelum cabut ke Eropa dan akhirnya kerja di Telkom (halah… iya, iya!).
Tapi seandainyapun adegan ketemu kembali itu di buku nggak ada, Riri harusnya berani membubuhkannya sendiri sehingga filmnya nggak semata terlihat hanya sebagai “LP versi film” melainkan bener-bener sebuah interpretasi novel LP yang sangat Riri banget.
Sebab di banyak film bagus yang merupakan adaptasi dari karya lain, perbedaan-perbedaan itu biasanya selalu ada. Ending yang diubah, detail yang diganti, dan kadang bahkan sampai menambahi tokoh-tokoh baru dengan karakter yang di karya aslinya nggak ada. Semua untuk membuat filmnya menjadi sebuah karya seni tersendiri yang nggak cuman jadi versi film dari sesuatu.
Dulu itu yang kurasakan pas nonton Gie. Kebetulan aku udah baca bukunya, yang nggak lain adalah catatan harian Soe Hok Gie. Filmnya memfotokopi plek apa-apa yang ada di buku tanpa ada usaha untuk membuatnya berhasil menciptakan semesta Soe Hok Gie tersendiri yang kaya dan imajinatif.
Tapi overall, LP adalah film pertama semenjak Denias yang bisa membuatku keluar dari bioskop tanpa misuh. Dan untuk prestasi besar seperti ini, Miles dan Mizan jelas harus mendapat acungan jempol tersendiri. Nha, nek gawe pilem ki paling ora kaya ngene iki, Dul…!!

20 komentar:

  1. Anonim11.38

    wow, very special, i like it.

    BalasHapus
  2. Anonim11.39

    help me.

    BalasHapus
  3. Anonim11.49

    ok. I found an information here that i want to look for.

    BalasHapus
  4. Anonim12.05

    sure, why not!

    BalasHapus
  5. hweh... capek deh...!

    BalasHapus
  6. Anonim12.14

    mengundang byk spam pastinya di komen ini :P

    BalasHapus
  7. iya. daewoo excavator ki njur apa gerangan...? heran...

    BalasHapus
  8. Sebelum nyadar kalo itu spam, aku sempet mikir, opo ono wong Korea nonton LP*?
    hehehe... :D
    *common sense jadi agak tumpul karena kebanyakan teori komunikasi politik*

    BalasHapus
  9. Anonim14.42

    sayangnya saya penggemar film dewasa, kekekek

    BalasHapus
  10. aku nonton ini sekali dan bikin ortuku nonton jg, dan kami sekluarga suka bgt. ini salah satu dr sedikit film indonesia yg bikin aku g nyesel nontonnya dan bikin aku berharap untuk bisa nonton

    BalasHapus
  11. Jika baca novelnya kau akan tahu, betapa berat Riri memfilmkan Laskar Pelangi. Dia berani nambah karakter dan alur. Aku angkat topi untuk itu. Tapi hasilnya? Menurut pendapatku, amat jauh dari Denias (terpaksa terbandingkan dengan film karya De Rantau itu karena "sejenis"). Andai Riri "tak terlalu peduli" pada Andrea dan pembaca....

    BalasHapus
  12. asri: maka kembalilah common sense!

    niff: lha carilah LP yg versi dewasa. pasti banyak yg ikal-ikal...

    sesy: udah nonton brapa kali?

    luka: oo.. yg di pilem wis ditambah2i dhewe to? iya belum seberkesan denias, meski tema dan bobotnya sama persis

    BalasHapus
  13. ada yang bilang, sayangnya di denias, marcella pakeannya seksi. tapi cerita tetep berat denias.

    BalasHapus
  14. datang
    bertandang..
    semoga ada rintik hujan di bawah bumbungan
    sebab aku ingin basah

    BalasHapus
  15. ismun: wah.. malah gak memperhatikan bajunya marcella saat itu!

    timur: aku sudah basah sedari kemarin...

    BalasHapus
  16. sungguh kau sangat berkesan dengan fim itu sampe kebawa mimpi dikejar kejar buayanya.... hahahaha...

    BalasHapus
  17. sungguh kau sangat berkesan dengan fim itu sampe kebawa mimpi dikejar kejar buayanya.... hahahaha...

    BalasHapus
  18. okas: lucune boyone njingklik2 koyo robin...

    BalasHapus
  19. wiiiih, aku kangen robin

    BalasHapus
  20. beth: lha mbok iya ke pdkpyng lagi, sekalian jupuk honor2mu...

    BalasHapus