
“What a job…!”
Itu yang terlontar dari mulut penyanyi jazz legendaris asal Amerika, Al Jarreau, saat tampil di Plenary Hall, JCC, Jakarta, Minggu 14 September 2008 kemaren. Bukan sebuah kebanggaan, atau kesombongan, atau keangkuhan, atau kekaguman… tapi rasa syukur. Syukur bahwa ia menggeluti sebuah pekerjaan yang membuatnya bahagia—namun yang lebih utama adalah membuat orang lain bahagia—, yaitu dengan menjadi seorang penyanyi jazz.
Dan yang dikatakannya emang betul. Malam itu aku menjadi salah satu yang dibuatnya betul-betul bahagia menikmati penampilannya. Dan ia sendiri pasti juga bahagia, di atas sana, di panggung, menyanyikan In This Love Together atau Mornin’ entah untuk yang keberapa ribu kali seumur hidupnya.
“Pekerjaan yang luar biasa kan? Saya bernyanyi, kalian bernyanyi, kita sama-sama bernyanyi dan sama-sama merasa bahagia. Apa lagi yang lebih indah daripada itu?” cetusnya sambil sekali lagi menambahkan, “What a job…!”
Al Jarreau tampil bareng maestro lain, gitaris George Benson, dalam rangka promo album terbaru mereka, Givin’ It Up. Dan aku bisa masuk gratis berkat jatah ID card pers yang dikasih si Gotri, lalu duduk di salah satu deretan terdepan, jauh di depan penonton asli yang harus beli tiket seharga setengah juta perak ke atas (yang VIP bahkan seharga Rp 2,5 juta!).
Ini kali kedua aku nonton konser jazz setelah Java Jazz 2006 lalu, di tempat yang sama. Dan bagiku sebagai fans berat jazz, setiap penampilan musisi jazz adalah kejadian once in a lifetime, sekalipun yang tampil adalah orang yang sama dan memainkan (atau menyanyikan) lagu yang itu-itu juga.
Kehebatan skill merekalah penyebabnya. Aku udah ratusan kali mendengarkan Nothing’s Gonna Change My Love for You, In Your Eyes, atau The Greatest Love of All. Tapi menyaksikan George Benson membawakan lagu-lagu itu secara langsung terasa bagai sebuah pengalaman pertama yang tak ternilai.
Yang spesial dari artis-artis jazz adalah mereka nggak bermain demi bayaran, liputan media, atau tepuk tangan. Mereka melakukannya karena menikmati apa yang mereka lakukan. Seperti yang dikatakan Al Jarreau tadi, karena mereka telah menemukan pekerjaan yang membuat mereka bahagia. Seandainya mereka bermain di tempat tertutup tanpa penonton, tanpa kamera, dan tanpa bayaran, mereka masih akan tetap melakukannya dengan penikmatan dan penghayatan yang sama.
Gotri bilang, BB King akan ikut hadir di Java Jazz 2009. Aku kaget. BB King? Serenta itu? Selegendaris itu? Apa lagi yang mau dia cari? Dia sudah punya segalanya. Dia nggak perlu kelayapan jauh-jauh ke sebuah negeri antah berantah seperti Indonesia jika hanya untuk membuktikan bahwa dia hebat.
Tapi yang membuat orang seperti dia, seperti Jarreau, seperti Benson, seperti Bob James, seperti Lee Ritenour, seperti David Benoit, Dave Koz, dan ratusan seniman jazz lainnya, bekerja dan bermain, adalah kecintaan. Pengabdian pada dunia yang mereka cintai. Karena di situ mereka menemukan sesuatu yang membuat mereka bahagia.
So, sudahkan kita menemukan dunia yang membuat kita bahagia? Sudahkah kita melakukan pekerjaan yang membuat kita bahagia dan oleh karenanya membahagiakan orang lain juga?
Sudahkah kita berangkat kerja dengan penuh kebahagiaan dan bukan hanya sekadar “menggugurkan kewajiban” biar nggak terlalu merasa bersalah saat hari gajian tiba!?
Tentu saja, bahagia enggaknya tidaklah bergantung pada jenis pekerjaan yang dilakukan. Jelas saja Jarreau “bahagia” terus karena terkenal dan kaya raya! Bukan itu. Aku kerap melihat seleb lokal di infotainment yang juga terkenal dan kaya raya tapi hidupnya nggak bahagia dan susah terus.
Orang seperti Jarreau bahagia karena ia bekerja dengan dua hal: menikmati dan mensyukuri. Soal imbalan yang bakal diterima, itu soal nanti. BB King pernah bilang, “I’ll do it for free!”, karena bisa bermain itu saja sudah merupakan suatu kebahagiaan yang tak bisa dinilai dengan apapun. Bahwa kemudian panitia ngasih segepok dolar dan penonton bertepuk tangan, itu adalah kepantasan sistem, bukan satu-satunya hal yang dikejar.
Tempo hari, di blok Siluet ada kutipan kotbah KH Qosim Nurzeha soal “Bekerja sajalah yang baik. Soal rezeki, biar Allah yang mengatur”. Al Jarreau, BB King, George Benson, dan kawan-kawannya memang belum pernah ketemu Kiai Qosim, tapi mereka tampaknya sudah berhasil mengamalkan petuah itu dengan baik.
Dan seperti kata Tolstoy, “If you want to be happy, be!”—sekarang juga, jangan menunggu kiriman anugerah keajaiban jatuh gratisan dari langit.
Itu yang terlontar dari mulut penyanyi jazz legendaris asal Amerika, Al Jarreau, saat tampil di Plenary Hall, JCC, Jakarta, Minggu 14 September 2008 kemaren. Bukan sebuah kebanggaan, atau kesombongan, atau keangkuhan, atau kekaguman… tapi rasa syukur. Syukur bahwa ia menggeluti sebuah pekerjaan yang membuatnya bahagia—namun yang lebih utama adalah membuat orang lain bahagia—, yaitu dengan menjadi seorang penyanyi jazz.
Dan yang dikatakannya emang betul. Malam itu aku menjadi salah satu yang dibuatnya betul-betul bahagia menikmati penampilannya. Dan ia sendiri pasti juga bahagia, di atas sana, di panggung, menyanyikan In This Love Together atau Mornin’ entah untuk yang keberapa ribu kali seumur hidupnya.
“Pekerjaan yang luar biasa kan? Saya bernyanyi, kalian bernyanyi, kita sama-sama bernyanyi dan sama-sama merasa bahagia. Apa lagi yang lebih indah daripada itu?” cetusnya sambil sekali lagi menambahkan, “What a job…!”
Al Jarreau tampil bareng maestro lain, gitaris George Benson, dalam rangka promo album terbaru mereka, Givin’ It Up. Dan aku bisa masuk gratis berkat jatah ID card pers yang dikasih si Gotri, lalu duduk di salah satu deretan terdepan, jauh di depan penonton asli yang harus beli tiket seharga setengah juta perak ke atas (yang VIP bahkan seharga Rp 2,5 juta!).
Ini kali kedua aku nonton konser jazz setelah Java Jazz 2006 lalu, di tempat yang sama. Dan bagiku sebagai fans berat jazz, setiap penampilan musisi jazz adalah kejadian once in a lifetime, sekalipun yang tampil adalah orang yang sama dan memainkan (atau menyanyikan) lagu yang itu-itu juga.
Kehebatan skill merekalah penyebabnya. Aku udah ratusan kali mendengarkan Nothing’s Gonna Change My Love for You, In Your Eyes, atau The Greatest Love of All. Tapi menyaksikan George Benson membawakan lagu-lagu itu secara langsung terasa bagai sebuah pengalaman pertama yang tak ternilai.
Yang spesial dari artis-artis jazz adalah mereka nggak bermain demi bayaran, liputan media, atau tepuk tangan. Mereka melakukannya karena menikmati apa yang mereka lakukan. Seperti yang dikatakan Al Jarreau tadi, karena mereka telah menemukan pekerjaan yang membuat mereka bahagia. Seandainya mereka bermain di tempat tertutup tanpa penonton, tanpa kamera, dan tanpa bayaran, mereka masih akan tetap melakukannya dengan penikmatan dan penghayatan yang sama.
Gotri bilang, BB King akan ikut hadir di Java Jazz 2009. Aku kaget. BB King? Serenta itu? Selegendaris itu? Apa lagi yang mau dia cari? Dia sudah punya segalanya. Dia nggak perlu kelayapan jauh-jauh ke sebuah negeri antah berantah seperti Indonesia jika hanya untuk membuktikan bahwa dia hebat.
Tapi yang membuat orang seperti dia, seperti Jarreau, seperti Benson, seperti Bob James, seperti Lee Ritenour, seperti David Benoit, Dave Koz, dan ratusan seniman jazz lainnya, bekerja dan bermain, adalah kecintaan. Pengabdian pada dunia yang mereka cintai. Karena di situ mereka menemukan sesuatu yang membuat mereka bahagia.
So, sudahkan kita menemukan dunia yang membuat kita bahagia? Sudahkah kita melakukan pekerjaan yang membuat kita bahagia dan oleh karenanya membahagiakan orang lain juga?
Sudahkah kita berangkat kerja dengan penuh kebahagiaan dan bukan hanya sekadar “menggugurkan kewajiban” biar nggak terlalu merasa bersalah saat hari gajian tiba!?
Tentu saja, bahagia enggaknya tidaklah bergantung pada jenis pekerjaan yang dilakukan. Jelas saja Jarreau “bahagia” terus karena terkenal dan kaya raya! Bukan itu. Aku kerap melihat seleb lokal di infotainment yang juga terkenal dan kaya raya tapi hidupnya nggak bahagia dan susah terus.
Orang seperti Jarreau bahagia karena ia bekerja dengan dua hal: menikmati dan mensyukuri. Soal imbalan yang bakal diterima, itu soal nanti. BB King pernah bilang, “I’ll do it for free!”, karena bisa bermain itu saja sudah merupakan suatu kebahagiaan yang tak bisa dinilai dengan apapun. Bahwa kemudian panitia ngasih segepok dolar dan penonton bertepuk tangan, itu adalah kepantasan sistem, bukan satu-satunya hal yang dikejar.
Tempo hari, di blok Siluet ada kutipan kotbah KH Qosim Nurzeha soal “Bekerja sajalah yang baik. Soal rezeki, biar Allah yang mengatur”. Al Jarreau, BB King, George Benson, dan kawan-kawannya memang belum pernah ketemu Kiai Qosim, tapi mereka tampaknya sudah berhasil mengamalkan petuah itu dengan baik.
Dan seperti kata Tolstoy, “If you want to be happy, be!”—sekarang juga, jangan menunggu kiriman anugerah keajaiban jatuh gratisan dari langit.
Dari dulu kala, aku paling "iri" pada penyanyi dan (apalagi yang merangkap sebagai) musikus: di atas panggung, mereka tampak selalu berkarya, bukan sekadar bekerja, lalu gembira dan menggembirakan orang lain tentu saja. Saat ketemu Erwin Gutawa bertahun lalu, aku sampaikan rasa "iri" itu dan dia menjawab dengan tawa renyah tak terkira. Aku makin "iri" saja.
BalasHapuskalo iri ya ayo lekas ke warung wedangan ngajak laras!
BalasHapuskowe kok rak ngejak aku nonton al jarreau..???!????
BalasHapuskarepmu opo massssssss??????
afteeeeeeeeer all..
lha tikete gratis soko kompas mung ono 2. lagian doi nggak nyanyi after all kok. tenang!
BalasHapuswekekekek
BalasHapusmas wiek dan mbak wien emang pasangan serasi
opo niff? pasangan terasi?
BalasHapushal yang terbaik dr bekerja adalah ketika kita bahagia melakukan pekerjaan itu dan bisa membuat org lain bahagia karenanya.
BalasHapusiki opo pertanda meh alih profesi dadi jazzer, dhimas? :D
BalasHapusyuk sekali2 ngamen bareng yuk. nek mung ecrek2an aku iso.
robin lak yo iso ngrewangi njegog.
aku udah jazzer sejak dulu kok mbak. maksute, mengharap punya honda jazz, hehe...
BalasHapusdpt nonton gratis?!?!? aje gile!!
BalasHapusitu belum seberapa. th 2006 aku dapet tiket gratis terusan 3 hari nonton java jazz (pamer!). itulah untungnya punya sodara yg kerja di kompas, hehe..
BalasHapus