Beberapa waktu yang lalu, adikku si Gotri menceritakan suatu kisah komedi yang ajaib tapi nyata. Suatu saat, rombongan wartawan dari berbagai media di Jakarta berniat mengikuti ujian (teori) SIM secara sungguhan. Aku lupa sebabnya apa. Mungkin untuk merasakan sendiri sebenarnya kayak apa ujian teori itu, karena, well—tahu sendirilah, 99% masyarakat kita kan nembak SIM. Jarang ada yang ikut ujian sungguhan sebagaimana prosedural yang seharusnya.
Nah, tahukah Anda bagaimana hasilnya? Mereka sukses nggak lulus 100%! Nggak ada satupun yang lolos dari ujian teori. Bukan karena para wartawan itu bodo-bodo, tapi karena, “Gimana kita mau lulus? Orang sejak TK nggak pernah diajarin soal lalu lintas dan rambu-rambu! Emangnya bisa belajar fisika atau biologi sendirian tanpa ada yang mengajari!?” celetuk salah seorang di antara mereka.
Dan barulah aku menyadari sesuatu yang sepele namun sangat mencengangkan. Ya, pernahkah kita, warga negara Indonesia ini, menerima pelajaran soal berlalu lintas? Adakah pelajaran itu di sekolah dan kuliahan? Adakah kursus informal yang diselenggarakan Polri dan Depdiknas soal lalu lintas? Adakah kita pernah sedikit saja diajari soal itu oleh ortu kita?
Dan jawabannya bisa dengan mudah kita temukan di seluruh sudut negara ini. Orang menyeberang jalanan padat persis di bawah jembatan penyeberangan! Orang menyeberang jalan tiga meter dari zebra cross! Belok nggak nyalain lampu sein karena takut bikin accu tekor (ini kisah nyata!)! Bermotor malam hari nggak nyalain lampu! Bermotor keluar gang kecil masuk jalan raya asal nyelonong nggak lihat kanan-kiri! Nyalain lampu hazard untuk melewati perempatan jalan! Nekat menerjang palang sepur hanya karena sepurnya belum lewat! Bermotor sambil ngetik SMS atau bertelepon dengan HP!
Dan kemarin aku dengan motor sudah jelas-jelas nyalain sein untuk belok kanan masuk ke rumah sepupuku di Durian Raya, Pedalangan. Eh, dari belakang nyelonong motor yang menyalip dari kananku untuk melaju terus ngebut ke arah lurus. Nyaris saja aku terpelanting karena ngerem mendadak. Waktu aku jengkel mengklakson panjang, eh… dianya malah melotot karena mungkin menganggap akulah yang “melanggar aturan lalu lintas”!
Pertanyaannya tetap sama, kapankah kita pernah menerima pendidikan berlalu lintas? Ini penting karena cakupan pendidikan ini sangat luas. Berlalu lintas nggak cuman ngapalin rambu-rambu verboden, P-palang, S-palang, atau gambar sendok-garpu, tapi juga soal keselamatan, kondisi kendaraan, kedisiplinan, pengenalan organ kendaraan dan fungsi-fungsinya, dan satu hal lagi yang sangat krusial: etika!
Etika untuk mendahulukan kendaraan yang berjalan lurus saat hendak membelok memotong jalan. Etika untuk menaik-turunkan penumpang di halte atau seenggaknya pinggir (baca: tepi!) jalan. Etika untuk melaju pelan di sekitar zebra cross tapi boleh ngebut di bawah jembatan penyeberangan. Etika untuk seketika berhenti jika ada orang nyebrang di zebra cross.
Dengan scope yang sebegini lebar dan luas, urusan lalu lintas pun jadi pelajaran yang sama rumit dengan kimia, geografi, atau trigonometri. Jadi kenapa ini nggak pernah diajarkan secara sistematis kepada rakyat kita? Bagaimana kita berharap si Fulan (halah… jenenge kuno men…!) akan lulus ujian matematika kalau nggak pernah diajari secara khusus soal aljabar, persamaan kuadrat, sinus-cosinus, diferensial integral, etc!?
Dan bagaimana kita berharap kita akan lulus ujian teori SIM kalau kita nggak pernah menerima secuwil pelajaran apapun soal teknik berlalu lintas dan berkendara? Apalagi karena yang diujikan sebenernya pun hanya secuwil kecil dari keseluruhan ilmu yang harus dikuasai, karena yang tertera di kertas ujian melulu soal hapalan rambu lalin tok (aku tahu karena pernah ikut ujian teori beneran dulu pas pertama ambil SIM C).
Serta yang lebih besar lagi, bagaimana kita berharap kehidupan di jalan raya akan menjadi beradab kalau diisi oleh pengendara-pengendara, pengemudi-pengemudi, dan pejalan kaki yang hampir 100% nggak tahu apa-apa soal lalu lintas? Bagaimana kita berharap negara ini akan makmur jika dipimpin oleh orang-orang yang hampir 100% nggak tahu apa-apa soal teknik manajerial dan kepemimpinan negara karena semua politikus hanya berambisi untuk ngejar proyek biar bisa melancong ke Tuscany atau Vienna!?
Aku sendiri cukup tahu banyak dan beradab, terutama dalam urusan etika di jalan raya, karena dulu kerap diajari bapakku soal apa aja yang berkaitan dengan disiplin lalu lintas. Tapi apa semua bapak sepeduli dan secerdas itu? I don’t think so. Makanya ya tetep aja… malam nggak nyalain lampu, belok nggak pake sein, ngebut tapi helm dicantol di setang, lampu belakang berwarna kuning dan justru depan yang berwarna merah sementara sein dikasih ijo, nyalain sein kiri tapi justru nyelonong belok kanan…
What kind of country would Indonesia be…? (Menghela napas)
Nah, tahukah Anda bagaimana hasilnya? Mereka sukses nggak lulus 100%! Nggak ada satupun yang lolos dari ujian teori. Bukan karena para wartawan itu bodo-bodo, tapi karena, “Gimana kita mau lulus? Orang sejak TK nggak pernah diajarin soal lalu lintas dan rambu-rambu! Emangnya bisa belajar fisika atau biologi sendirian tanpa ada yang mengajari!?” celetuk salah seorang di antara mereka.
Dan barulah aku menyadari sesuatu yang sepele namun sangat mencengangkan. Ya, pernahkah kita, warga negara Indonesia ini, menerima pelajaran soal berlalu lintas? Adakah pelajaran itu di sekolah dan kuliahan? Adakah kursus informal yang diselenggarakan Polri dan Depdiknas soal lalu lintas? Adakah kita pernah sedikit saja diajari soal itu oleh ortu kita?
Dan jawabannya bisa dengan mudah kita temukan di seluruh sudut negara ini. Orang menyeberang jalanan padat persis di bawah jembatan penyeberangan! Orang menyeberang jalan tiga meter dari zebra cross! Belok nggak nyalain lampu sein karena takut bikin accu tekor (ini kisah nyata!)! Bermotor malam hari nggak nyalain lampu! Bermotor keluar gang kecil masuk jalan raya asal nyelonong nggak lihat kanan-kiri! Nyalain lampu hazard untuk melewati perempatan jalan! Nekat menerjang palang sepur hanya karena sepurnya belum lewat! Bermotor sambil ngetik SMS atau bertelepon dengan HP!
Dan kemarin aku dengan motor sudah jelas-jelas nyalain sein untuk belok kanan masuk ke rumah sepupuku di Durian Raya, Pedalangan. Eh, dari belakang nyelonong motor yang menyalip dari kananku untuk melaju terus ngebut ke arah lurus. Nyaris saja aku terpelanting karena ngerem mendadak. Waktu aku jengkel mengklakson panjang, eh… dianya malah melotot karena mungkin menganggap akulah yang “melanggar aturan lalu lintas”!
Pertanyaannya tetap sama, kapankah kita pernah menerima pendidikan berlalu lintas? Ini penting karena cakupan pendidikan ini sangat luas. Berlalu lintas nggak cuman ngapalin rambu-rambu verboden, P-palang, S-palang, atau gambar sendok-garpu, tapi juga soal keselamatan, kondisi kendaraan, kedisiplinan, pengenalan organ kendaraan dan fungsi-fungsinya, dan satu hal lagi yang sangat krusial: etika!
Etika untuk mendahulukan kendaraan yang berjalan lurus saat hendak membelok memotong jalan. Etika untuk menaik-turunkan penumpang di halte atau seenggaknya pinggir (baca: tepi!) jalan. Etika untuk melaju pelan di sekitar zebra cross tapi boleh ngebut di bawah jembatan penyeberangan. Etika untuk seketika berhenti jika ada orang nyebrang di zebra cross.
Dengan scope yang sebegini lebar dan luas, urusan lalu lintas pun jadi pelajaran yang sama rumit dengan kimia, geografi, atau trigonometri. Jadi kenapa ini nggak pernah diajarkan secara sistematis kepada rakyat kita? Bagaimana kita berharap si Fulan (halah… jenenge kuno men…!) akan lulus ujian matematika kalau nggak pernah diajari secara khusus soal aljabar, persamaan kuadrat, sinus-cosinus, diferensial integral, etc!?
Dan bagaimana kita berharap kita akan lulus ujian teori SIM kalau kita nggak pernah menerima secuwil pelajaran apapun soal teknik berlalu lintas dan berkendara? Apalagi karena yang diujikan sebenernya pun hanya secuwil kecil dari keseluruhan ilmu yang harus dikuasai, karena yang tertera di kertas ujian melulu soal hapalan rambu lalin tok (aku tahu karena pernah ikut ujian teori beneran dulu pas pertama ambil SIM C).
Serta yang lebih besar lagi, bagaimana kita berharap kehidupan di jalan raya akan menjadi beradab kalau diisi oleh pengendara-pengendara, pengemudi-pengemudi, dan pejalan kaki yang hampir 100% nggak tahu apa-apa soal lalu lintas? Bagaimana kita berharap negara ini akan makmur jika dipimpin oleh orang-orang yang hampir 100% nggak tahu apa-apa soal teknik manajerial dan kepemimpinan negara karena semua politikus hanya berambisi untuk ngejar proyek biar bisa melancong ke Tuscany atau Vienna!?
Aku sendiri cukup tahu banyak dan beradab, terutama dalam urusan etika di jalan raya, karena dulu kerap diajari bapakku soal apa aja yang berkaitan dengan disiplin lalu lintas. Tapi apa semua bapak sepeduli dan secerdas itu? I don’t think so. Makanya ya tetep aja… malam nggak nyalain lampu, belok nggak pake sein, ngebut tapi helm dicantol di setang, lampu belakang berwarna kuning dan justru depan yang berwarna merah sementara sein dikasih ijo, nyalain sein kiri tapi justru nyelonong belok kanan…
What kind of country would Indonesia be…? (Menghela napas)
Well, all I can say is. Im hungry.
BalasHapusfreelottery: gak no hubungane blas! nek rak ngerti bahasa indonesia ki ra sah komen! ngebak-ngebaki panggonan tok. dancuk...!
BalasHapushaha~ mas wiwien ngamuk
BalasHapusAku ngakak maca komenmu pada si free. Kakakakak.... About lalu-lintas, bener katamu. Karena nggak ada pelajaran khusus, mestine pakai teladan kayak Pak Kancil. Lha yang banyak malah naik motor sekeluarga, berhenti jauh di depan lampu merah. Itu pelajaran terburuk yang pernah aku lihat.
BalasHapusdidut: lha sok ikut campur ok...
BalasHapussiluet: ayo ke wedangan! sakwise jupuk honor ariana...
lha kan nggak ada to yang ngajarin itu semua kaemasyarakat tapi mas win pingin diadain! kenapa mas win nggak terinspirasi ngadain les berlalu lintas yang benar, atau mas win ngadain workshop "Belajar Bareng Berlalu Lintas Bersama Wiwin Wintarto". oke kan!
BalasHapusokas: nonton yuk!
BalasHapusHo'oh. Lalin jaman saiki tambah medeni.
BalasHapusNek ketemu lampu abang tengah wengi, dirimu tetep mandheg gak, Dhimas? :D
skrg gak pernah lagi keluar tengah wengi. tapi biasane sih mandheg. bukan apa-apa. waspada aja sama org lain yg kemungkinan nyerobot lampu merah dg kecepatan tinggi.
BalasHapustapi stlh clingak-clinguk aman, ya bablas... hehe..!