Tahun 1999, pas kali pertama punya komputer, aku kenalan ama game Starcraft: Brood War. Ini salah satu game RTS (real time strategy) terbaik sepanjang masa selain Age of Empires. Pada saat itu juga aku udah denger soal Warcraft, “saudara seperguruan” Starcraft sesama bikinan Blizzard Entertainment.
Karena sebelum nonton trilogi The Lord of the Rings aku nggak pernah tertarik pada cerita-cerita fantasi, aku juga emoh mainin Warcraft. Baru sekarang ini aku main Warcraft, pada seri Warcraft III: Reign of Chaos dan set ekspansinya, Warcraft III: The Frozen Throne, yang dibikin tahun 2002 dan 2003 lalu.
Dan ternyata, sebagaimana Starcraft, Warcraft juga oke punya. Sama-sama bisa membiusku untuk main berjam-jam melupakan semua urusan lain, termasuk kerja dan pacaran. Nggak heran banyak media internet dan majalah-majalah game menobatkan game ini sebagai game of the year tahun-tahun itu.
Setting cerita Warcraft berlangsung di Planet Azeroth, tempat beberapa suku bangsa yang saling bermusuhan berkumpul. Ada ras Manusia, makhluk Orc kayak di LOTR, iblis-iblis Undead, serta peri-peri penyihir bangsa Elf. Kita bisa bermain sebagai semua ras itu berurutan.
Kalo di Starcraft kita memainkan bangsa Terran (manusia), makhluk biomekanik Zerg, dan suku canggih Protoss, dalam Warcraft (lagi mainin Reign of Chaos, sementara The Frozen Throne belum) kita akan bermain dalam seri-seri kampanye Orc (prolog), Manusia, Undead, Orc lagi, dan terakhir Elves.
Gameplay-nya udah pasti jenis point and click dengan bentuk tokoh-tokohnya kecil mungil karena banyak banget. Biarpun kecil, detailnya amat bagus. Khas banget Blizzard. Meski begitu aku agak nggak sreg dengan bentuk animasi gambar tokoh-tokoh dan lingkungannya yang terlalu dongengninabobois (bahasa opo iki!?). Jauh lebih bagus Starcraft yang lugas dan realistis.
Pokoknya kalau pernah main Starcraft pasti akan langsung gampang megang Warcraft (atau sebaliknya), soalnya banyak elemen yang sama persis. Ceritanya, karakter-karakternya, jenis-jenis bangunannya, dan terutama cara mainnya.
Temenku yang terbiasa main FPS dan action langsung terpaksa pake cheat sejak episode-episode awal. Aku bisa menyelesaikan seluruh kampanye Orc Prolog dan Manusia tanpa cheat. Baru pakai cheat ketika sampai episode pertengahan kampanye Undead. Itupun gara-gara otak sedang buntu dan nggak telaten main berlama-lama.
Tapi unsur favoritku sebagai pengarang jelas adalah plot ceritanya yang bener-bener oke punya. Seru, tak terduga, dan amat memikat layaknya cerita buku atau film. Aku terpenjara lebih karena pengin mengikuti jalan ceritanya, bukan semata-mata karena pengin main video game.
Game ini cocok dimainkan para pengarang or sastrawan yang non-gamers alias nggak hobi, nggak suka, dan bahkan nggak kenal sama sekali urusan game. Coba deh main untuk menyelami dan mencermati jalinan ceritanya. Teramat sangat inspiratif dan mengasah imajinasi untuk menemukan banyak dunia-dunia tema cerita baru daripada seumur hidup sibuk “nJotosi” politik-koruptor atau bikin tema cinta-cintaan mulu!
Satu hal yang agak beda dari Starcraft atau seri-seri terdahulu (prekuel) Warcraft adalah pemotongan antarepisodenya. Bila dulu tiap episode didahului dengan mission briefing, episode-episode Warcraft III dimulai dengan cutscene yang berisi “film” animasi yang menjelaskan kondisi-kondisi awal episode bersangkutan.
Misi didapat dari cerita di cutscene itu. Dan seiring perjalanan si tokoh utama yang kita mainkan untuk menyelesaikan misi dalam episode tersebut, misi-misi tambahan lain akan bermunculan untuk menjadikan plot cerita yang tersaji menjadi semakin kompleks dan menarik.
Daya tarik lainnya jelas ada pada segmen-segmen cinematic-nya yang luar biasa dahsyat menggemparkan, dengan hasil kreasi animasi komputer yang sudah layak disebut masterpiece. Bila satu dekade lalu Blizzard udah bisa membikin animasi cinematic Starcraft: Brood War yang jauh melampaui zamannya, bisa dibayangkan seperti apa kecanggihan cinematic Warcraft III yang dibuat hampir lima tahun sesudahnya.
Game ini juga mengejutkan oleh inovasinya, yaitu pada karakterisasi tokoh-tokoh utamanya (hero) yang meminjam elemen game ber-genre RPG (role playing game). Tokoh-tokoh lakon kayak Arthas Menethis, Jaina Proudmoore, atau Thrall nggak cuman punya hit point dan attack point tinggi, tapi juga mengalami perkembangan experience berkat pertarungan-pertarungan yang mereka jalani.
Contoh, dalam kampanye Manusia, kita memainkan Arthas dari tingkatan Paladin Level 1. Berbagai pertarungan yang dialaminya membawanya naik tingkat hingga Paladin Level 10 pada akhir kampanye. Peningkatan level ditandai dengan peningkatan angka hit point, attack point, dan mana point.
Jadi dalam Warcraft III nggak ada tokoh hero yang nggak bermanfaat. Dalam Starcraft atau Age of Empires, aku akan menyembunyikan tokoh heroku kayak Arcturusk Mengsk, Sarah Kerrigan, Zeratul, Joan of Arc, atau Frederick Barbarossa jauh di pojok peta yang aman dan nggak terjangkau musuh bila ada perintah “Mr X must survive” di status misinya sebab nggak ada gunanya mengikutkan mereka di adegan perang bila itu berisiko membunuh mereka.
Di Warcraft III, hal sebaliknya harus dilakukan. Tokoh hero harus selalu maju memimpin perang karena level mereka akan terus-menerus bertambah. Selain itu tokoh hero bisa ngasih pengaruh gede buat kekuatan anggota pasukannya, seperti ngasih obat penyembuh luka secara massal atau memberi mantra pelindung.
Intinya, Warcraft III: Reign of Chaos adalah seperti The Godfather, No Country for Old Men, atau The Sound of Music untuk film. Memainkannya adalah sebuah pengalaman tak terlupakan. Dan 20 atau 30 tahun lagi, kita masih akan menemukan sensasi yang sama jika kembali lagi memainkannya…
Karena sebelum nonton trilogi The Lord of the Rings aku nggak pernah tertarik pada cerita-cerita fantasi, aku juga emoh mainin Warcraft. Baru sekarang ini aku main Warcraft, pada seri Warcraft III: Reign of Chaos dan set ekspansinya, Warcraft III: The Frozen Throne, yang dibikin tahun 2002 dan 2003 lalu.
Dan ternyata, sebagaimana Starcraft, Warcraft juga oke punya. Sama-sama bisa membiusku untuk main berjam-jam melupakan semua urusan lain, termasuk kerja dan pacaran. Nggak heran banyak media internet dan majalah-majalah game menobatkan game ini sebagai game of the year tahun-tahun itu.
Setting cerita Warcraft berlangsung di Planet Azeroth, tempat beberapa suku bangsa yang saling bermusuhan berkumpul. Ada ras Manusia, makhluk Orc kayak di LOTR, iblis-iblis Undead, serta peri-peri penyihir bangsa Elf. Kita bisa bermain sebagai semua ras itu berurutan.
Kalo di Starcraft kita memainkan bangsa Terran (manusia), makhluk biomekanik Zerg, dan suku canggih Protoss, dalam Warcraft (lagi mainin Reign of Chaos, sementara The Frozen Throne belum) kita akan bermain dalam seri-seri kampanye Orc (prolog), Manusia, Undead, Orc lagi, dan terakhir Elves.
Gameplay-nya udah pasti jenis point and click dengan bentuk tokoh-tokohnya kecil mungil karena banyak banget. Biarpun kecil, detailnya amat bagus. Khas banget Blizzard. Meski begitu aku agak nggak sreg dengan bentuk animasi gambar tokoh-tokoh dan lingkungannya yang terlalu dongengninabobois (bahasa opo iki!?). Jauh lebih bagus Starcraft yang lugas dan realistis.
Pokoknya kalau pernah main Starcraft pasti akan langsung gampang megang Warcraft (atau sebaliknya), soalnya banyak elemen yang sama persis. Ceritanya, karakter-karakternya, jenis-jenis bangunannya, dan terutama cara mainnya.
Temenku yang terbiasa main FPS dan action langsung terpaksa pake cheat sejak episode-episode awal. Aku bisa menyelesaikan seluruh kampanye Orc Prolog dan Manusia tanpa cheat. Baru pakai cheat ketika sampai episode pertengahan kampanye Undead. Itupun gara-gara otak sedang buntu dan nggak telaten main berlama-lama.
Tapi unsur favoritku sebagai pengarang jelas adalah plot ceritanya yang bener-bener oke punya. Seru, tak terduga, dan amat memikat layaknya cerita buku atau film. Aku terpenjara lebih karena pengin mengikuti jalan ceritanya, bukan semata-mata karena pengin main video game.
Game ini cocok dimainkan para pengarang or sastrawan yang non-gamers alias nggak hobi, nggak suka, dan bahkan nggak kenal sama sekali urusan game. Coba deh main untuk menyelami dan mencermati jalinan ceritanya. Teramat sangat inspiratif dan mengasah imajinasi untuk menemukan banyak dunia-dunia tema cerita baru daripada seumur hidup sibuk “nJotosi” politik-koruptor atau bikin tema cinta-cintaan mulu!
Satu hal yang agak beda dari Starcraft atau seri-seri terdahulu (prekuel) Warcraft adalah pemotongan antarepisodenya. Bila dulu tiap episode didahului dengan mission briefing, episode-episode Warcraft III dimulai dengan cutscene yang berisi “film” animasi yang menjelaskan kondisi-kondisi awal episode bersangkutan.
Misi didapat dari cerita di cutscene itu. Dan seiring perjalanan si tokoh utama yang kita mainkan untuk menyelesaikan misi dalam episode tersebut, misi-misi tambahan lain akan bermunculan untuk menjadikan plot cerita yang tersaji menjadi semakin kompleks dan menarik.
Daya tarik lainnya jelas ada pada segmen-segmen cinematic-nya yang luar biasa dahsyat menggemparkan, dengan hasil kreasi animasi komputer yang sudah layak disebut masterpiece. Bila satu dekade lalu Blizzard udah bisa membikin animasi cinematic Starcraft: Brood War yang jauh melampaui zamannya, bisa dibayangkan seperti apa kecanggihan cinematic Warcraft III yang dibuat hampir lima tahun sesudahnya.
Game ini juga mengejutkan oleh inovasinya, yaitu pada karakterisasi tokoh-tokoh utamanya (hero) yang meminjam elemen game ber-genre RPG (role playing game). Tokoh-tokoh lakon kayak Arthas Menethis, Jaina Proudmoore, atau Thrall nggak cuman punya hit point dan attack point tinggi, tapi juga mengalami perkembangan experience berkat pertarungan-pertarungan yang mereka jalani.
Contoh, dalam kampanye Manusia, kita memainkan Arthas dari tingkatan Paladin Level 1. Berbagai pertarungan yang dialaminya membawanya naik tingkat hingga Paladin Level 10 pada akhir kampanye. Peningkatan level ditandai dengan peningkatan angka hit point, attack point, dan mana point.
Jadi dalam Warcraft III nggak ada tokoh hero yang nggak bermanfaat. Dalam Starcraft atau Age of Empires, aku akan menyembunyikan tokoh heroku kayak Arcturusk Mengsk, Sarah Kerrigan, Zeratul, Joan of Arc, atau Frederick Barbarossa jauh di pojok peta yang aman dan nggak terjangkau musuh bila ada perintah “Mr X must survive” di status misinya sebab nggak ada gunanya mengikutkan mereka di adegan perang bila itu berisiko membunuh mereka.
Di Warcraft III, hal sebaliknya harus dilakukan. Tokoh hero harus selalu maju memimpin perang karena level mereka akan terus-menerus bertambah. Selain itu tokoh hero bisa ngasih pengaruh gede buat kekuatan anggota pasukannya, seperti ngasih obat penyembuh luka secara massal atau memberi mantra pelindung.
Intinya, Warcraft III: Reign of Chaos adalah seperti The Godfather, No Country for Old Men, atau The Sound of Music untuk film. Memainkannya adalah sebuah pengalaman tak terlupakan. Dan 20 atau 30 tahun lagi, kita masih akan menemukan sensasi yang sama jika kembali lagi memainkannya…
Saya malah kurang terlalu suka ama game ini, walau emang dari segi cerita & kreativitas game ini hampir ga ada duanya. Soalnya ga seperti game RTS lain di mana kita bisa bikin unit banyak2 buat berperang, di Warcraft 3 jumlah unit maksimal yg bisa dibikin sangat dibatasi. Terus klo di medan perang keahlian mengendalikan unit satu per satu juga sangat diuji karena jumlah unit yg bisa dibikin hanya dikit, maka kita harus benar2 memastika unit yg kita bikin bisa berfungsi maksimal & ga mati sia2 dalam perang
BalasHapus