Seperti biasa, tiap kali Kantin Banget ngadain acara, aku selalu menyempatkan diri untuk datang meski hanya sekadar nonton. Begitu juga ketika ada talk show berjudul Merdeka Belajar! yang digelar hari Minggu 24 Agustus 2008 lalu di Ruang Sidang lantai III kantor SM Kaligawe, aku jauh-jauh turun dari Kota Atas bareng, siapa lagi kalo bukan, si Okta.
Kami tiba sekitar pukul 11 kurang seperempat. Jelas telat banget karena acaranya pasti udah dimulai sejak pukul 9. Meski begitu tetap nggak mengurangi nilainya, karena yang dipaparkan sesudah-sesudahnya masih teramat sangat banyak.
Talk show dipandu oleh Om Daktur Budi Maryono sendiri, dengan menampilkan dua bintang tamu, yaitu Kepsek SMA Qaryah Thayyibah Pak Bahrudin dan Izza Ahsin penulis buku Dunia Tanpa Sekolah. Inti temanya adalah mengajak semua orang untuk merdeka dalam belajar, tanpa kungkungan sekolah, aturan, sistem, nilai-nilai, dan akhirnya Uanas.
Aku menyimak talk show dan pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari audiens dengan cermat. Sesudah motret-motret sana-sini menyaingi Wawan Hermawan dan Unik, Okta duduk di sebelahku dan berbisik, “Aku ngiri pengin sekolah kayak gitu…!”
Aku menyeringai sambil menyahut, “Aku juga! Kenapa sekolah model begini belum ada pas tahun 80-an dulu waktu aku masih SMA!?”
Okta ketawa pelan dan berlalu pergi untuk ngambil gambar lagi. Beberapa saat kemudian ganti Acik yang nyeletuk ke aku, “Jenis orang kayak kamu pasti ngebet pengin sekolah model beginian!”
Dan sekali lagi aku cuman bisa meringis.
Kami tiba sekitar pukul 11 kurang seperempat. Jelas telat banget karena acaranya pasti udah dimulai sejak pukul 9. Meski begitu tetap nggak mengurangi nilainya, karena yang dipaparkan sesudah-sesudahnya masih teramat sangat banyak.
Talk show dipandu oleh Om Daktur Budi Maryono sendiri, dengan menampilkan dua bintang tamu, yaitu Kepsek SMA Qaryah Thayyibah Pak Bahrudin dan Izza Ahsin penulis buku Dunia Tanpa Sekolah. Inti temanya adalah mengajak semua orang untuk merdeka dalam belajar, tanpa kungkungan sekolah, aturan, sistem, nilai-nilai, dan akhirnya Uanas.
Aku menyimak talk show dan pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari audiens dengan cermat. Sesudah motret-motret sana-sini menyaingi Wawan Hermawan dan Unik, Okta duduk di sebelahku dan berbisik, “Aku ngiri pengin sekolah kayak gitu…!”
Aku menyeringai sambil menyahut, “Aku juga! Kenapa sekolah model begini belum ada pas tahun 80-an dulu waktu aku masih SMA!?”
Okta ketawa pelan dan berlalu pergi untuk ngambil gambar lagi. Beberapa saat kemudian ganti Acik yang nyeletuk ke aku, “Jenis orang kayak kamu pasti ngebet pengin sekolah model beginian!”
Dan sekali lagi aku cuman bisa meringis.
Ya, model pendidikan yang diajarkan Q-Tha sungguh aku banget. Aku yang nggak suka dikurung di dalam sekolah bernuansa mirip LP, yang nggak suka dipaksa masuk saban hari dari jam 7 sampai jam 13 mempelajari hal-hal yang aku nggak butuh, yang nggak suka guru galak dan pemaksa, serta yang nggak suka cara pendidikan dengan menjejalkan sebanyak mungkin apapun secara paksa tanpa melihat sisi substansi dan fungsionalnya.
Dari baca-baca blog Siluet Bulan Luka dan Brother Doni, aku tahu banyak kayak apa cara belajar mengajar di sana. Murid dimerdekakan untuk belajar sesuai minat, bakat, dan kemampuan mereka. Nggak disuruh-suruh, dikejar-kejar, ditekan, dibentak, diintimidasi, dituntut, dan dipaksa. Guru nggak menjalankan fungsi-fungsi itu, melainkan lebih ke pendamping dan fasilitator. Bahkan dalam praktiknya, guru pun ikut belajar bersama juga.
Okta motret sandal sendiri...
Tia, putri sulung Om Daktur, sekolah di sana. Awal tahun ajaran ini masuk kelas X. Ia nggak masuk saban hari, melainkan lebih sering berada di lapangan langsung mengerjakan apa yang dia minati. Murid nggak dibagi perkelas, tapi dalam forum sesuai bidang keahlian. Ada forum fotografi, perfilman, musik, pertanian, sastra, dan macam-macam lagi.
Mereka nggak belajar teori, tapi langsung praktik membuat karya nyata di situ. Jadi proses pelajaran berlangsung secara real-time. Misal aku masuk forum sastra, aku nggak akan dicekoki aneka macam teori dan daftar klasifikasi sastrawan serta era-eranya, tapi langsung mbikin cerpen atau novel semampuku. Ntar dari karya itu aku akan langsung bisa belajar di mana kekurangan dan kelebihanku, baik dari guru, sesama teman, maupun dari para ahli.
Murid juga nggak bekerja keras cuman demi sepotong nilai yang terpampang di buku rapor. Mereka diminta untuk menyusun report alias laporan terinci mengenai apa saja yang sudah mereka buat sepanjang satu semester. Menurut paparan Pak Din, “Titik kulminasi pendidikan kami bukan soal nilai bagus, tapi bahwa murid mengerti di mana letak kekurangan mereka dan mereka mau belajar serta introspeksi diri dari situ!”
Kata-kata Pak Din jadi mengingatkanku pada kalimat Pak Gatot Bambang Hastowo, guru bahasa Inggris-ku saat duduk di kelas I-2 SMA 5 Semarang tahun 1987/88 lalu. Pak Gatot bilang, ada empat kuadran manusia di dunia ini (yang mirip cashflow quadrant-nya Robert T Kiyosaki!).
Pertama, orang yang tahu bahwa dia tahu. Ini nabi. Kedua, orang yang tahu bahwa dia tidak tahu. Ini pejuang. Ketiga, orang yang tidak tahu bahwa dia tahu. Ini orang malas. Dan keempat, orang yang tidak tahu bahwa dia tidak tahu. Ini orang tidur.
Pak Din, Izza, Tia, dan semua warga Q-Tha adalah orang dari kuadran dua. Mereka tahu bahwa mereka tidak tahu. Karenanya mereka terus mengejar dan haus akan ilmu. Dan nggak ada orang yang lebih selamat di dunia ini ketimbang mereka yang terus menambah perbendaharaan ilmu saban hari.
Bandingkan dengan kita yang lholhak-lholhok everyday masuk sekolah CBSA (catat buku sampai abis!) dan menghapal ngelotok luar kepala hanya demi mengejar nilai. Akhirnya nilai sempurna bisa digapai sehingga lulus Uanas dengan predikat hipersummacumlaude tapi sama sekali nggak nyadar bertahun-tahun sekolah tetep belum juga meningkatkan skill dalam bidang apapun secara spesifik.
Nggak heran katanya Orba sudah remuk tapi koruptor tetep nggak berkurang-kurang jumlahnya…
Dan pemikiran tentang merdeka belajar masih tetap menghantuiku sekalipun Okta dan aku sudah lama jauh meninggalkan kantor SM untuk nangkring manis berdua nonton Apartment 1303 di teater 1 Citra 21 di Mal Ciputra, Simpanglima. Hantu-hantu di film Jepang itu sama sekali nggak bikin aku keder karena otakku masih terus mencerna kata-kata Pak Din sambil berkhayal seandainya aku terlahir dua dekade lebih lambat sehingga berkesempatan masuk sekolah-sekolah model begini kayak Tia…
Oh, ya… selain untuk menghadiri talk show, kemunculanku bareng Okta juga untuk “ngecek” apa menu lunch-nya, karena acara KB biasanya menghidangkan kotakan nasi bakar buatan Warung Wedangan di Jalan Banowati. Ternyata, kali ini agak beda dengan menyuguhkan kotakan nasi masakan Oriental bikinan resto Bee’s yang berlokasi di jembatan Mal Ciputra-Plasa Simpanglima.
Lucunya, pas udah dapet menu beda, Okta malah nggerundel, “Sekarang aku jadi pengin makan nasi bakar Warung Wedangan lagi…!”
Uh, dasar…!
(Foto-foto oleh Okta)
Okta emang dasar! Hahaha... Kapan-kapan sama aku ke Waroeng Wedangan yuk!
BalasHapusterus nilainya gimana mas buat standar kelulusan?!?
BalasHapusbulan: ya ayo! siap kapan saja.
BalasHapusdidut: kayaknya mereka punya standar sendiri. wong gak ikut uanas dan juga gak ngasih ijazah. murid dididik utk harus bisa kerja tanpa ijazah. kalo emang gak bisa dapet kerja, kenapa gak bikin lapangan kerja sendiri? mulia kan?
walah! tau ada okta disitu..aku bela-belain ke acara itu deh...
BalasHapus(tuh anak, sms kagak dibales2, fs kagak ditengok2...)
btw, tapi ngirinya sama kita deh...
anda ada sekolah kaya gitu beberapa dekade ke belakang yah...
ayo..kita cari mesin waktu... ^^_^
ngiri kedua, abis dapet ilmu langsung nonton ik...^_^
foto audience ditampilin juga dong, om wien...^_^
okas nggak bales karna pulsanya kosong terus (dan jarang nengokin fs-nya, wong biasane yg buka malah aku, seolah2 aku ini manajer fs-nya dia!).
BalasHapusoke. itu foto audiens sudah terpampang jelas