scribo ergo sum

Jumat, 29 Agustus 2008

Politik Impian

11:21 Posted by wiwien wintarto 4 comments

Hampir secara nggak sengaja, Kamis pagi (28/8) kemaren aku nonton siaran langsung DNC (Democratic National Convention) alias Konvensi Nasional Partai Demokrat 2008 di CNN (untungnya punya TV satelit!). DNC berlangsung di Denver, Colorado, untuk menetapkan capres-cawapres Partai Demokrat untuk bertarung di pilpres AS tanggal 4 November mendatang.
Yang aku tonton pagi itu adalah hari ketiga konvensi yang berisi penerimaan pencalonan wapres oleh Senator Joe Biden. Acara berlangsung di stadion Pepsi Center, kandang tim NBA Denver Nuggets. Sebelum Biden pidato, ada banyak tokoh yang berpidato untuk mendukung pencalonannya. Salah satunya adalah dari putra sulung Biden, Beau, yang kini menjabat Jaksa Agung Delaware.

Dalam pidatonya, Beau menceritakan pengalaman tragis keluarganya saat mengalami kecelakaan lalu lintas tahun 1972 lalu, saat ia masih berumur 3 tahun. Ibu dan adik perempuannya tewas dalam kecelakaan itu, sedang ia dan adik laki-lakinya luka serius.
Pada saat itu Joe Biden sebenarnya harus mengucapkan sumpah untuk menjadi Senator Delaware, tapi ia lebih memilih untuk tinggal di RS menemani anak-anaknya. Ketika ditanya mengapa Biden lebih suka ada di RS daripada mengambil sumpah jabatan, Beau cerita bapaknya menjawab, “Delaware can get another senator, but my boys can’t get another dad…!”
Kontan ucapan itu disambut tetes air mata haru semua yang hadir, tak terkecuali isteri Obama, Michelle, dan ibu tiri Beau, Jill. Beau sendiri juga sedikit terisak terharu sebelum melanjutkan pidatonya kembali. Dan aku sendiri di rumah juga sesak napas seperti saat nonton ending film Homeward Bound: The Incredible Journey.
Siaran langsung DNC pun tahu-tahu jadi acara favoritku tiap pagi (konvensi berlangsung hingga 4 September) karena aku ingin mendengar pidato-pidato penuh inspirasi dari para politikus Amrik. Paling oke waktu Jumat pagi ini tadi (29/8), Barack Obama pidato di INVESCO Field dan mengatakan, “Pemilihan ini bukan tentang saya, tapi tentang Anda semua, warga Amerika yang menginginkan perubahan!”
Yang paling menarik buatku adalah, acara formal politik ternyata bisa sedemikian menarik dan menggugah. Bukan hanya kemasan pertunjukannya yang memesona, tapi lebih karena kemampuan para tokoh politik di sana untuk melontarkan pidato yang panjang lebar tapi tak membosankan karena menarik, lucu, mengharukan, inspiratif, dan mampu menghadirkan kesan bahwa mereka itu “benar-benar berdiri di belakang rakyat kecil”.
Berita di Kompas pagi ini tadi juga melukiskan kekaguman tentang event itu. Hilary (Clinton), Bill, Michelle, Ted Kennedy, Beau, Joe Biden, Al Gore, dan Obama berpidato secara formal tapi penuh empati. Mereka nggak membaca prin-prinan tapi teleprompter. Dan mereka nggak menyampaikannya secara kaku dan resmi seperti politikus di Indonesia, melainkan mirip orang yang bener-bener bicara dengan orang lain. Seolah-olah every single audience di stadion diajak bicara langsung berdua secara personal.
Menurut berita Kompas, hampir semua orang Amerika (nggak cuman politikus atau artis) punya diksi dan kemampuan bicara yang aduhai. Itu karena di sana mereka sudah diajari untuk mengemukakan pendapat dan berdebat sejak TK. Sedang di sini, anak-anak tabu mendebat ortu (atau siapapun yang dituakan). Dan saat guru bertanya “Ada pertanyaan?”, semua anak menunduk takut mirip anjing yang melipat ekor di selangkangan!
Nonton DNC di CNN bikin aku ngiler karena iri. Kapan Indonesia punya politikus dengan pidato-pidato yang mengharukan dan inspiratif seperti itu? Kapan Indonesia punya pemimpin seorang retail politician seperti Obama? Yang kenyang pengalaman politik nggak di urusan-urusan luhur dan besar namun dari membetulkan selokan, membela kepentingan buruh pabrik, menaikkan tunjangan kesehatan, menurunkan pajak, membantu sektor usaha kecil, dan semuanya sudah terlaksana dengan baik.
Di sini, kalau ada teman ikut kampanye parpol atau rally politik cagub atau capres, pasti dia dilecehkan yang lain sebagai kurang kerjaan. Buat apa milih? Wong hanya sekadar bikin makmur sang calon tapi nggak ada imbas baliknya secara nyata buat diri kita sehari-hari.
Tapi di DNC itu, setiap yang hadir menunjukkan wajah penuh harap, kekaguman yang nyata, tetes air mata, dan sorakan antusias tiap kali ucapan sang orator menggugah hati mereka. Sebagian karena terbuai oleh keindahan pidato para tokoh, sebagian lagi karena mereka berhasil diyakinkan bahwa janji apapun yang terucap pasti akan terlaksana—atau seenggaknya diupayakan keras untuk terwujud.
Melihat Obama aku jadi iri. Dengan kemampuan menginspirasi rakyat seperti itu, semua masalah kebobrokan mental yang bikin Indonesia jadi kere seperti ini pasti akan terselesaikan kalau dia jadi presiden di sini.
Dan andai jabatan presiden hanya seperti jabatan manajer klub atau timnas sepakbola yang bisa dijabat orang asing, kita harus merekrutnya jadi Presiden RI kalau dua kali masa jabatannya di Amerika nanti sudah habis…

4 komentar:

  1. Anonim12.40

    sy juga iri mas

    BalasHapus
  2. Sudah lama aku merasa tak punya presiden, apalagi pemerintah. Aku nunggu Iwan Fals maju tak gentar "nyanyi" yang benar.

    BalasHapus
  3. yap tul! i love obama!!! merdeka!

    BalasHapus
  4. jo duwe ide nek dirimu meh nyapres!!

    BalasHapus