Siang itu aku duduk sendirian di dalam kantorku yang panas di SMK 11. Nggak ada Dewi, nggak ada Okta, nggak ada siapapun. Aku sedang nginternet ke website Euro 2008 sambil nyari-nyari lagu jadul untuk ku-download. Komputer sebelahku kosong, dan kubiarkan memainkan file lagu-lagu MP3 masa kini lewat WMP.
Awalnya aku nggak begitu perhatian pada lagu-lagu di sebelah. Permainan d’Masiv, Pilot, Merpati, Angkasa, Seventeen, dan The Changcuters saling susul-menyusul bak siaran request Top 40 radio FM. Tapi lama-kelamaan sesuatu mulai menggangguku dan bikin aku sewot beneran, yaitu lirik lagu band-band masa kini itu.
Luar biasa dangkal, pikirku. Semua hanya mengurusi soal pacar-pacaran dan cinta-cintaan ABG. Jangan pernah selingkuh, tak selamanya selingkuh itu indah, mengapa hanya aku yang mengalah, kauhancurkan aku dengan cintamu, etc, etc. Nggak cuman dangkal tapi juga nggak ada kemauan (atau kemampuan) untuk mengeksplorasi tema-tema lain.
Apakah cinta-cintaan ABG salah? Ya jelas enggak. Itu fenomena abadi yang sangat alamiah dan selalu aktual diperbincangkan sejak zaman Mesir kuno sampai sekarang. Masalahnya, dunia digelar seluas ini, kenapa memilih untuk membatasi diri? Bagaimana kita bisa menyebut diri kita seniman jika seperti katak di dalam tempurung?
Aku lantas merasa kasihan pada ABG zaman sekarang. Mereka terpaksa harus mau menerima suguhan yang medioker—bahkan awful. Aku jadi membandingkannya dengan saat aku jadi ABG, dua dekade lalu. Pada tahun 1980-an, para penulis lagu menelurkan lirik-lirik yang apik, dalam, dan bervariasi.
Pasti Anda pernah dengar “…Bila kaum muda sudah tak mau lagi peduli/mudah putus asa, dan kehilangan arah…” (Astaga; Ruth Sahanaya). Atau “…Petiklah, sebuah bintang/dan bawalah pulang/berikan kepada, guru tersayang…” (Kumpul Bocah; Vina Panduwinata). Atau yang seperti “..Curahan terima kasih/atas persahabatan yang indah, s’lama ini/yang begitu berarti dalam hidupku…” (Sepanjang Jaman; Netta).
Ke mana perginya semua keindahan itu? Di mana lagi ada lagu yang bertutur soal hubungan dengan orang tua, rasa syukur pada Tuhan, hangatnya memiliki sahabat yang baik, rasa bahagia melihat keindahan pagi, optimisme menghadapi tantangan hidup, atau bahkan kebanggaan memiliki negara seindah Indonesia?
Yang dari luar (Amerika) lebih dahsyat lagi. Beberapa di antaranya bahkan jadi inspirasi dan membentuk karakterku. Simak seperti “…That’s the time you must keep on trying/smile, there’s no use of crying/you’ll find that life is still worthwile/if you just smile…” (Smile). Atau “…But that doesn’t mean my eyes will soon be turning red/crying’s not for me/’cause I’m never gonna stop the rain by complaining/because I’m free/nothing’s worrying me…” (Raindrops Keep Falling on My Head; BJ Thomas).
Dan tiap kali aku down karena tertimpa kegagalan, aku selalu denger dua lagu ini. Yang pertama mengandung lirik berbunyi “…Like a shooting star, I would go the distance/I will search the world/I will face its harms/I don’t care how far, I can go the distance…” (Go the Distance; Michael Bolton). Dan yang satunya seperti ini: “…And give your dreams the wings to fly/you have everything you need/if you just believe, just believe…” (Believe; Josh Groban). Dan sesudahnya, aku akan penuh semangat lagi untuk menghadapi tantangan baru atau mencoba kembali berjuang dari nol pada hal yang sama.
Urusan lirik bikin aku sewot pada lagu-lagu masa kini karena lirik bukan hanya hiasan lagu yang bisa dianggap angin lalu. Di film Music & Lyrics dikatakan, bila musik adalah bodi sexy seorang cewek, maka lirik adalah inner beauty-nya. Kita kaum pria nggak bisa menikahi wanita yang berbodi yahud kayak Jessica Alba tapi Barack Obama aja nggak tahu atau dengan yakinnya berujar di TV nasional bahwa “…kita harus menentang global warming!” (dari MTV VJ Hunt 2008 di Global TV). Kalau global warming ditentang, mungkin besok kita harus protes sama tsunami, menyatakan ketidaksetujuan pada banjir bandang, atau berdemo menolak letusan gunung berapi!
Dan lagi, aku bener-bener concern pada isi tulisannya Aulia Muhammad di koran Minggu Suara Merdeka beberapa waktu lalu. Di situ diceritakan, ada pembaca yang kuatir sinetron Munajah Cinta di RCTI akan membuat kita lama-lama permisif pada poligami. Aulia nulis, kekhawatiran itu nggak beralasan karena “pesan” apapun yang disampaikan sinetron nggak akan menjadi sesuatu yang lantas diteladani audiens.
Ia lantas mencontohkan lagu Racun Dunia-nya The Changcuters. Para cewek ABG tetap saja heboh dan ngefans pada The Changcuters meski lirik lagu itu menyindir habis perempuan sebagai racun dunia yang menghancurkan hidup kaum cowok. Intinya, pesan dari lirik yang ditulis mereka nggak berefek apapun pada khalayak penikmatnya.
Aku nggak hendak membantah teori Aulia. Memang benar kecenderungannya seperti itulah yang terjadi sekarang ini. Tapi justru itulah yang luar biasa gawat kelewat-lewat! Kalau kita hanya peduli pada kemasan luar dan sama sekali menafikan apa yang tersembunyi di baliknya, kapan kita akan jadi negara maju kayak Korea atau Singapura?
Karya seni bukan hanya gedembrang-gedembrong sesaat untuk menceriakan hati sambil jejingkrakan sana-sini. Karya seni adalah cermin. Tempat kita belajar hal-hal baru, mencari pencerahan hidup, menyerap kebijaksanaan para sepuh, dan menggali ilmu-ilmu tanpa tanding.
Sebab sudah kurasakan sendiri, seperti itulah seni mengubahku dan menjadikanku manusia yang selalu lebih baik setiap saat. Aku belajar dari lirik lagu, kata-kata dalam novel, dan dialog-dialog dari film. Seni memengaruhiku lebih banyak dari apapun. Dari pelajaran sekolah, dari nasihat-nasihat ortu, dan bahkan dari (sorry buat para ustad!) kotbah-kotbah dan tausiyah keagamaan.
Di dunia yang benar, publik akan makin terbuka menerima poligami setelah nonton Ayat-ayat Cinta dan Munajah Cinta. Dan cewek-cewek ABG akan tersinggung mendengar kaum mereka disindir dalam Racun Dunia—atau seenggaknya introspeksi sehingga at least mereka sendiri nggak dianggap sebagai racun oleh lawan jenis.
Sayangnya bukan itu yang terjadi. Dan kini kita semua pun diam saja seribu basa melihat dunia musik kita sekarang ini mulai jalan di tempat berhubung “yang seperti itu saja toh sudah cukup laris”.
Siang itu pun aku akhirnya harus rela pindah ke komputer sebelah untuk mengganti lagu. Dan yang tadi hanya cinta-cintaan berganti jadi “…If you feel lost/and on your own, and far from home/you never alone, you know/just thinkin’ your friends/the ones who care/they all will be waiting there/with love to share/and your heart will lead you home…” (Your Heart Will Lead You Home; Kenny Loggins).
Aku tahu cepat atau lambat anak-anak ABG itu akan masuk lagi ke sini dan mengganti playlist jadi seperti semula, tapi aku nggak peduli. Kalaupun aku nggak bisa membuat dunia sekelilingku menjadi tempat yang lebih baik, at least yang di dalam sini masih tetap indah seperti biasanya.
0 komentar:
Posting Komentar