The casts
Tepuk tangan menggemuruh begitu FTV Hujan di Hati Stephie selesai diputar di Teater 1 Bioskop E-Plaza, Simpanglima, Semarang, hari Sabtu 7 Juni 2008 lalu. Dari tempatku duduk nonton bareng novelis Betty W Kusuma, aku tak bisa menahan senyum lebarku. Senyum campuran antara haru, senang, bahagia, dan juga geli sendiri.
Aku nggak tahu persis apa yang ada di benak audiens untuk tepuk tangan mereka itu. Menurut pengamatanku jelas bukan karena Hujan di Hati Stephie secara kualitas sespektakuler The Lord of the Rings: The Return of the King, Million Dollar Baby, atau semua film/sinetron bikinan Garin Nugroho. Yang jauh lebih masuk akal, mereka bertepuk tangan karena merasa ikut memiliki—bangga bahwa “kawan-kawan sendiri” sesama orang Semarang ternyata bisa juga bikin film.
Dan rasanya, justru itulah yang membuat tepuk tangan mereka jadi jauh lebih berarti. Suatu keyakinan bahwa kita bisa. “Change we can believe in!”, mirip slogan kampanye Barack Obama. Keyakinan yang sama dengan yang terbentuk tahun 1908 bahwa mereka bisa—hingga akhirnya terbentuklah negara yang bernama Republik Indonesia ini.
Masalahnya, nggak ada seorangpun yang bisa menjamin Stephie akan bener-bener rampung, terwujud, dan sungguhan disiarkan di TV. Ini bukan produksi sinetron yang di-backup dana miliaran rupiah oleh cukong-cukong kayak Shanker, Punjabi, atau Sutanto, yang sudah pasti akan selesai dan tayang sesuai jadwal.
Jadi setelah akhirnya Hujan di Hati Stephie bener-bener kelar, perasaan yang tercipta mengalahkan apapun. Saat jumpa artis dan kru, Ketua Dekase (Dewan Kesenian Semarang) Mas Marco Manardi melontarkan kritik yang bagus tapi meleset dan harusnya jadi jatahku untuk jawab, tapi aku sudah kadung nggak peduli karena aku masih begitu excited kayak perasaan Cristiano Ronaldo beberapa waktu lalu sesaat setelah MU memenangi Liga Champions 2007/08.
Aku nggak tahu persis apa yang ada di benak audiens untuk tepuk tangan mereka itu. Menurut pengamatanku jelas bukan karena Hujan di Hati Stephie secara kualitas sespektakuler The Lord of the Rings: The Return of the King, Million Dollar Baby, atau semua film/sinetron bikinan Garin Nugroho. Yang jauh lebih masuk akal, mereka bertepuk tangan karena merasa ikut memiliki—bangga bahwa “kawan-kawan sendiri” sesama orang Semarang ternyata bisa juga bikin film.
Dan rasanya, justru itulah yang membuat tepuk tangan mereka jadi jauh lebih berarti. Suatu keyakinan bahwa kita bisa. “Change we can believe in!”, mirip slogan kampanye Barack Obama. Keyakinan yang sama dengan yang terbentuk tahun 1908 bahwa mereka bisa—hingga akhirnya terbentuklah negara yang bernama Republik Indonesia ini.
Masalahnya, nggak ada seorangpun yang bisa menjamin Stephie akan bener-bener rampung, terwujud, dan sungguhan disiarkan di TV. Ini bukan produksi sinetron yang di-backup dana miliaran rupiah oleh cukong-cukong kayak Shanker, Punjabi, atau Sutanto, yang sudah pasti akan selesai dan tayang sesuai jadwal.
Jadi setelah akhirnya Hujan di Hati Stephie bener-bener kelar, perasaan yang tercipta mengalahkan apapun. Saat jumpa artis dan kru, Ketua Dekase (Dewan Kesenian Semarang) Mas Marco Manardi melontarkan kritik yang bagus tapi meleset dan harusnya jadi jatahku untuk jawab, tapi aku sudah kadung nggak peduli karena aku masih begitu excited kayak perasaan Cristiano Ronaldo beberapa waktu lalu sesaat setelah MU memenangi Liga Champions 2007/08.
The crews
Acara launching dan nonton bareng yang digelar Gemintang Promotion itu pun sudah jauh melampaui khayalanku, dan kami semua. Pasalnya sejak awal para kru hanya merancang acara launching sederhana di tempat biasa sambil diskusi dan muter trailer-nya. Ternyata, nonton bareng digeber di bioskop E-Plaza dan menggunakan dua dari tiga teater yang ada di sana. Pemutaran berlangsung serentak mulai pukul 11.30 WIB.
Aku nggak tahu faktanya—mungkin wartawan lain atau pengamat showbiz bisa nyari datanya—, tapi sejauh yang aku bisa ingat, ini untuk pertama kalinya di Indonesia (dan mungkin juga di seluruh dunia!) launching sinetron FTV dimeriahkan dengan pemutaran preview untuk audiens terbatas di teater layar lebar.
Soalnya aku belum pernah dengar launching dan preview serial dan film TV kayak Friends, CSI, Heroes, Band of Brothers, Rome, Empire Falls, atau Entourage diadakan di gedung bioskop. Yang launching dan premiere-nya digeber di bioskop ya hanya film-film layar lebar tok, bukan sinema TV.
Balik ke launching Stephie, sesudah pemutaran di kedua teater selesai, hadirin digiring ke kafe di lantai dasar E-Plaza untuk mengikuti acara jumpa artis dan kru. Kelima artis utama, Ira Fisela, Margaretha Zella, Putra Rat Ajari, Bayu Combot, dan Deli Ockiardi maju. Sedang kru yang tampil adalah sutradara Handry TM, line producer Budi Maryono, astrada Diek Susanto, dan editor Dersi. Aku nggak ikut maju karena udah terlalu banyak kena publikasi pratayang dengan ikut kesemua tiga sesi radio talk di Suara Sakti FM dan dua sesi talk show live di Cakra Semarang TV.
Besok Minggu-nya (8/6), ada berita liputannya di Suara Merdeka. Wartawan peliputnya, Rukardi, mengutip pendapatku bahwa Stephie adalah bentuk perlawanan terhadap sinetron Indonesia. Ia menambahkan “…Dalam sebuah tulisannya, Wiwien mencontohkan ketololan itu laiknya anak-anak sekolah bermobil mewah, adegan monolog yang berkesan janggal, karakter jahat tanpa sebab, serta ritus pemakaman bergaya barat” (SM, Minggu 8 Juni 2008, hal 4). Hm… Rukardi pasti mengutipnya dari blog ini, di tulisan berjudul Bukan Sineas Jakarte. Ternyata PandoraBox ada yang baca juga, dan menganggapnya serius, hehe…!
Sebagai penulis skenario, semangat perlawanan itu udah bisa kujalankan dengan baik. Odi dan Arman cuman naik motor, nggak ada monolog untuk menerangkan perasaan atau situasi (kecuali satu kali pas Fani memergoki Odi melihat adegan mesra Stephie di resto mal—itupun bukan monolog, tapi mBatin), nggak ada tokoh jahat, dan nggak ada secuilpun adegan di kuburan.
Lalu Rukardi mempertanyakan konsistensi Stephie dengan perlawanannya itu berdasar kritik Om Marco tadi, bahwa masih ada “ketololan” yang terjadi, yaitu gaya bicara pemain yang ber-elu gue tapi dengan logat medok Boso Jowo. Pas dengar lontaran kritik itu di acara jumpa artis hari Sabtu-nya, aku nggak perlu ngasih komen karena yang bereaksi duluan justru si Okta, pemeran cameraperson Detektif Cinta. Dia membisiku heran, “Eh, emang ada elu gue-nya, ya?”
Yap, emang seingatku nggak ada. Di skenario semua memanggil “aku-kamu”, bukan “elu-gue”. Dan dua kali nonton filmnya (siang di bioskop, malem di TV), nggak ada satupun dari kelima karakter utama yang ber-elu gue. Yang ber-elu gue bukan tokoh di film, tapi justru para pemainnya sendiri, karena aku beberapa kali sempat mendengar panggilan sapaan itu dipakai oleh beberapa dari mereka di dunia nyata.
Tapi apapun kondisinya, Hujan di Hati Stephie tetep fenomenal. Banyak berkah yang terjadi. Buatku, jelas nambah ilmu dan nambah teman plus kerabat. It’s nice to know such a lovely persons kayak Sela cs, Pak & Bu Anjar, Om Diek, Bu Dewi, Bu Wiwiek, kru Teater 76, dan Pak Sioe plus Adrian, Toni, Teguh.
Dan seperti di berita yang ditulis Rukardi, Om Marco bilang, Hujan di Hati Stephie akan jadi penanda bangkitnya perfilman di Semarang. Lalu gara-gara beberapa lagunya dipakai sebagai original soundtrack, DOB Band batal bubar dan mutusin untuk main lagi. Emang sayang kalau sampai bubar, apalagi aku langsung jatuh cinta sama lagu Biru Putih Cintaku, yang di kupingku terdengar jauh lebih keren daripada lagu-lagunya d’Masiv, Merpati, The Changcuters, Kangen Band, atau Angkasa.
Pada akhirnya Hujan di Hati Stephie jadi istimewa karena ini bukan hanya sekadar proyek atau pekerjaan, tapi sesuatu yang dilakukan dengan hati. It’s not about the glory, it’s not about the fame, it’s not about the money… It’s about being able to do something you really want.
I truly appreciate it.
BalasHapuscongrats ya mas. meskipun g bisa dtg di pemutaran perdananya. somehow i know it must be a great succes.
BalasHapusgutlak MAS!!
BalasHapusequity loan & lottery gambling: thanks
BalasHapussesy: thanks. emang sukses banget, at least dari sudut pandangku
didut: tengkyu
anonymous: oke. akan segera dieksekusi. tapi mosok beneran teratas? kayaknya tetep masih kalah jauh dari Days of a Girl-nya Asri.
btw, it is a "mas", not "mbak". thanks anyway...
Selamat ya Mas. semoga bisa membawa trend baru di dunia 'persinetronan' indonesia yang tercinta ini... (masih berharap suatu hari nanti, anak-anakku punya banyak pilihan yang sehat kalau ingin menyalakan kotak kaca penuh warna itu....)
BalasHapusMaaf, mau tanya. Gimana cara dapatin lagu DOB Biru Putih Cintaku dari soundtrack Hujan di hati Sptehie ini? Dari lama aku nyari.
BalasHapus