scribo ergo sum

Senin, 14 Juli 2008

The Heritage

16:43 Posted by wiwien wintarto 3 comments

Selalu, saat kita ditinggalkan oleh orang yang kita cintai untuk selama-lamanya, kita akan bicara tentang apa yang ia tinggalkan buat kita. Warisan apa yang ia beri untuk kita sebagai bekal hidup. Apakah berupa tanah, rumah, mobil, surat-surat berharga, perhiasan, atau bentuk-bentuk harta benda lainnya.
Itu juga yang kupikirkan saat bapakku tercinta, Pak Masdi Sunardi, berpulang ke Rahmatullah pada dini hari Rabu tanggal 25 Juni 2008 lalu dalam usia 63 tahun. Selain kenangan-kenangan indah selama 37 tahun aku bersamanya, ia meninggalkan warisan yang jauh lebih berharga dari harta benda semahal apapun.

Berharga karena berlaku tak hanya buat keluarga kami saja, namun buat semua orang. Dan berharga karena itu nggak akan pernah habis biar sampai zaman kapanpun juga.
Yang paling awal, yang paling kentara, adalah caranya menyatukan keempat anak-anaknya, yaitu aku dan ketiga adikku. Lebih dari siapapun juga, kami berempat selalu mirip anggota-anggota suatu peleton tentara, atau tim sepakbola di Piala Dunia, atau tim Indonesia di perjuangan merebut Piala Thomas. Watak kami saling berbeda dan bahkan bertolak belakang, tapi Itok, Gotri, Esty, dan aku selalu militan jadi satu sejak bayi dulu sampai sekarang.
Apa kuncinya? Entah disengaja entah enggak, Bapak selalu bisa “mencarikan” buat keluarga kami one common enemy—satu musuh yang sama—dari waktu ke waktu. Bisa Pak Ini yang nyengit di kantor, Bos Itu yang smelekethe, Pakde Ini yang sok tahu, Bude Itu yang selalu memandang rendah keluarga kami, atau Pak Itu di Gang Sebelah yang bertingkah semaunya.
Karena terus-menerus terbiasa menghadapi “musuh bersama”, kami pun jadi hampir-hampir nggak punya celah atau alasan untuk terpecah-pecah sesama kami sendiri. Ya bertengkar sedikit-sedikit sih pasti pernah, namanya juga orang. Tapi bukan jenis pertentangan yang berkepanjangan dan bikin kami saling benci satu sama lain.
Dan sekarang, setelah Bapak nggak ada, rasa persatuan dan kesatuan itu makin kental karena—nggak seperti anak-anak lain yang lantas cakar-cakaran berebut harta warisan peninggalan ortu—kami dituntut untuk menggalang kekuatan guna mewujudkan pekerjaan Bapak yang terakhir, yang prosesnya sudah dimulai tanggal 9 Juli kemaren.
Warisan kedua adalah kata-kata Bapak dulu, saat aku masih SD, tentang “Orang itu harus punya keterampilan khusus yang nggak dipunyai orang lain, sehingga dia nggak akan mencari-cari pekerjaan, tapi justru pekerjaanlah yang akan menguber-uber dia!”. Bapak udah membuktikannya dengan keahliannya menggambar, yang membuat dia nggak pernah kekurangan pekerjaan.
Itulah yang betul-betul membentuk bangunan karakterku. That’s why ketika ABG pada saat anak-anak lain masih sibuk mengurusi mimpi basah, aku justru stres mikir kira-kira keterampilan apa yang harus kumiliki biar aku bisa beda dari orang lain. Dan akhirnya, garis nasib membawa mobil Datsun Perpustakaan Keliling masuk kompleks Genuk Indah pada tahun 1985 untuk mengenalkanku pada Agatha Christie, Enid Blyton, Alistair MacLean, serta Arswendo Atmowiloto.
Lalu, aku tahu jalan mana yang harus kupilih saat umurku baru 14 tahun. Dan kini, dengan skill tulis-menulis yang emang nggak terlalu hebat tapi efektif, aku nggak hanya bisa mendapat (banyak) pekerjaan plus mencukupi kebutuhan sendiri dan bikin ortu bangga, namun juga menyulap banyak banget mimpi jadi nyata.
Tema hidupku berkat kata-kata Bapak itu adalah seperti ungkapan yang bilang “If you love your job, then you don’t have to work a day in your life”. Kerja? Kerja apaan? Aku sedang bersenang-senang dengan hidupku, karena menulis adalah kegembiraanku.
Saat orang lain puyeng karena terjebak rutinitas kerja kantoran 9 to 5, bos yang cerewet, rekan kerja yang jahat, Manic Monday, lembur, rush hour dua kali sehari, bangun isuk-isuk biar bisa sampai kantor sebelum jam 8 karena diabsen, etc, etc, aku nggak pernah berhenti have fun nginternet berjam-jam di kantor Gradasi, ngedit tulisan untuk Gradasi, nerusin novel, ngeblog, nerima pesanan dadakan dari Om Daktur KB, novel lagi, bikin skenario, ngeblog lagi, ngedit lagi, dan begitu seterusnya nonstop.
Itu karena kata-kata Bapak. Aku jadi punya keterampilan khusus, yang membedakanku dari orang lain. Yang membuatku hanya pernah empat kali nulis surat lamaran kerja seumur hidup (ke Tabloid Nurani dan gagal, ke Wahana Komputer dan sukses, ke Tabloid Tren dan berhasil, dan ke JPRS [baca Blueprint!] dan sukses dicueki karena mereka sejenis klub sepakbola yang nggak pernah tahu siapa itu Fernando Torres dan apa yang bisa dilakukannya di depan gawang lawan!). Dan yang membuat, dalam hidupku, kertas ijazah kesarjanaan jadi nggak punya fungsi serta kegunaan apapun!
Peninggalan ketiga yang sangat berharga adalah pesan agar kami selalu rendah hati di manapun berada dan apapun keadaannya. Orang lain belajar ilmu padi, makin merunduk saat makin berisi. Kami belajar ilmu yang lebih dahsyat lagi, yaitu falsafah gentong kosong (mirip di Senopati Pamungkas-nya Arswendo Atmowiloto).
Bapak selalu bilang, jadilah gentong kosong, agar bisa menampung air sebanyak mungkin saat diisi. Kalau kita berlagak jadi gentong yang isi, airnya akan langsung luber sia-sia meski hanya ditambahi air satu gelas tok. Jadilah orang yang selalu tak berpunya, agar kita bisa menerima sebanyak mungkin tambahan ilmu. Kalau kita sudah merasa bisa, merasa pintar, merasa paling hebat, ilmu apapun nggak akan bisa masuk karena kita ngerasa di dalam diri kita sudah kekebaken ilmu!
Mengapa? Karena kita ini bukan apa-apa. Bukan siapa-siapa. Manusia hanya sebutir debu, yang kapanpun bisa terbang ditiup angin dan lenyap tanpa bekas. Debu aja kok kemaki! Apalagi “masa berlaku”-nya paling juga nggak lewat 100 tahun…
Dengan peninggalan-peninggalan yang sebegitu berharga, sulit buatku untuk melepas kepergian bapakku dengan kesedihan dan kepiluan yang berlarut-larut. Apalagi semasa hidupnya dulu ia adalah orang yang penuh humor. Memang ada bagian yang hilang, tapi apalah arti rasa kehilangan itu dibanding kewajiban untuk meneruskan pekerjaan-pekerjaan dan semua peninggalannya yang tak ternilai?
Dan lagi, Bapak masuk dalam segelintir nama yang akan terus abadi karena semua karyanya. Seperti Jules Verne dengan Around the World in 80 Days. Seperti Edgar Rice Burroughs dengan Tarzan. Seperti F Scott Fitzgerald dengan The Great Gatsby. Seperti Thomas Edison dengan gramofon dan kamera film. Selagi Pak Bei dan Si Kancil masih ada, demikian pula nama Masdi Sunardi juga akan terus terabadikan.
Saat melepas kepergiannya ke tempat peristirahatannya yang terakhir di TPU Giriloyo, Magelang, aku jadi teringat kata-kata bijak yang entah kudapat dari mana suatu saat dulu. Mungkin dari film (jelas bukan film Indonesia!), atau mungkin dari buku…
“To a great man, knowledge knows no boundaries”.
Itulah yang membedakannya dari orang-orang lain. Yang membuat kami juga tumbuh menjadi orang-orang yang berbeda.

3 komentar:

  1. Anonim19.36

    yap bener semua yang anda katakan diatas mas wiwin :)

    BalasHapus
  2. Anonim09.18

    Yes! setuju!

    BalasHapus
  3. Anonim00.31

    Pak Masdi dan seluruh keluarga memang baik, kreatif dan selalu andhap asor... :)

    BalasHapus