scribo ergo sum

Kamis, 10 April 2008

Bukan Sineas Jakarte

21:41 Posted by wiwien wintarto 5 comments
Sejak dulu film selalu jadi impian terbesarku setelah dunia pernovelan. Karena sebal terhadap film Indonesia yang sukar maju, aku penasaran untuk bisa bikin film sendiri. Untuk membuktikan bahwa sebenernya bikin film yang berkualitas dan berbeda itu mudah, kalau kita mau terus belajar, rendah hati, dan nggak pernah merasa selalu lebih pinter dari orang lain.
Aku pun nggak pernah mandeg berupaya menembus “tembok Jakarta” untuk masuk ke dunia perfilman, tentu saja lewat bidang yang paling kukuasai, yaitu penulisan skenario.

Tahun 1997 lalu aku menggarap skenario yang didasarkan atas komik Pak Bei karangan bapakku, Pak Masdi, yang dipesen TPI. Tahun 1999 menang lomba penulisan naskah film dan video cerita gelaran Departemen Penerangan RI dan setahun kemudian dapet juara harapan III lomba penulisan naskah skenario sinetron DKJT.
Yang agak mendekati, aku pernah kerja untuk Paquita Widjaja dan Humam Afif untuk sinetron Roro Jonggrang. Dan tahun 2006 pernah juga kerja untuk Boy Kentang mengerjakan sinetron Lima Titipan Ilahi yang tayang di TPI.
Sayang semuanya kandas karena berbagai sebab. Sinetron Pak Bei kandas karena TPI kena krismon ’97. Dua kali menang lomba nggak membuatku masuk ke dunia manapun, cuman dapat piagam dan duit tok. Dengan Humam di-PHK karena nggak klop soal konsep. Dan dengan Boy Kentang juga out karena ide-ideku untuk membenahi gagasan cerita yang dogol nggak diterima (itupun sampai sekarang sinopsis globalnya tetep belum dikasih honor—mungkin dikiranya penulis skenario daerah itu sudah cukup puas kerja sosial dan bisa kenal dikit-dikit dengan seleb Jakarte!).
Sekarang, kesempatan untuk jadi filmaker terbuka lagi. Bedanya, yang ini film lokal yang digarap oleh seniman-seniman yang sama-sama penasaran dan gondok dengan kualitas dan iklim kerja sinema Ibukota (baik sinetron maupun film layar lebar). Gradasi alias g-Mag, majalah remaja tempatku bekerja sekarang, bikin film televisi yang berjudul Hujan di Hati Stephie.
Bekerja sama dengan Kantin Banget Suara Merdeka dan Cakra Semarang TV, FTV satu ini diangkat dari cerpen berjudul sama karangan cerpenis dan novelis ngetop, Nora Umres. Bertindak sebagai sutradara adalah bosku General Manager g-Mag, Mas Handry TM. Production house-nya sendiri adalah Rumah Kertas Production milik sang sutradara.
Mas Budi Maryono, yang lebih dikenal sebagai Om Daktur Kantin Banget, pegang posisi line producer. Sedangkan jabatan produser lainnya dipegang oleh Pak A Bowo Wasono, Direktur Unit Produksi Gradasi SMK Negeri 11 Semarang, penerbit g-Mag. Aku, as usual, menjadi penulis skenario merangkap sutradalang klip Behind the Scene-nya.
Proses produksi udah dimulai sejak berkali-kali rapat kecil-kecilan antara Mas Handry, OD, dan aku di Java Mall, entah di Meja 13 Food Court lantai III atau di Kafe Luwak lantai II. Begitu konsep mateng dan jadwal produksi disusun, Kamis sore 10 April 2008 lalu para kru dan calon pemain dikumpulin di Ruang Joglo SMK 11 untuk meeting awal.
Rencananya akan ada reading skenario, rehearsal, dan juga tumpengan slametan syuting, sebelum syutingnya digeber maraton pada pekan ketiga April. Setelah pascaproduksi dan launching, kemungkinan akan ada tur promo ke sekolah-sekolah di seputaran Semarang selama kira-kira sebulan.
Dan setelah filmnya tayang di Cakra TV pada pekan pertama bulan Juni, nanti akan ada juga tur pemutaran ke berbagai sekolah dan kampus. Aku akan terus ngasih update perkembangan produksinya dari waktu ke waktu di blog ini. Info lain bisa juga nongol lewat blog-nya Majalah Gradasi (http://gradasimagz.blogspot.com).
Buatku, FTV Hujan di Hati Stephie adalah bentuk perlawanan sineas daerah terhadap kebobrokan dunia sinema (especially sinetron) Indonesia yang dikuasai Punjabi, Shanker, Sutanto, cs. Di sini nggak akan ada ketololan-ketololan yang dipertunjukkan para sineas Jakarte, kayak anak sekolah bermobil mewah, pelajar cowok SMA berambut gondrong/disemir/disasak ala salon, adegan monolog atau membatin yang terlalu dhedhel (“dhedhel” Bahasa Indonesia-nya apa, ya?), orang memasang mimik sinis atau sadis, karakter jahat tanpa sebab, hamil di luar nikah, orang-orang merubung dokter sambil bertanya “Bagaimana, Dokter?” lalu dijawab “Kami sudah berusaha, tapi…”, dan juga nggak ada tokoh yang mati lalu jenazahnya dikrukupi kain mori lalu diusung ke kuburan diiringi “Laillahahilallah…!” 100x dan ditangisi oleh serombongan seleb berbaju serba hitam dan semua memakai kacamata riben mahal!
So, kalau mau nonton sesuatu yang beda, tunggu aja premiere Hujan di Hati Stephie ntar bulan Juni. Kalau mau nonton syutingnya dan ngincer jatah pemain figuran atau cameo, tinggal kontak aku. Syutingnya di dalam Kota Semarang aja kok, nggak sulit-sulit.
Check back here for updates and further information!

5 komentar:

  1. Sangat menjanjikan. Hahaha! Ati-ati, Bro!

    BalasHapus
  2. sing penting propaganda sik untuk memengaruhi publik. masalah nanti ada yg meleset, kan bisa diperbaiki dalam produksi rumah kertas selanjutnya. amin!

    BalasHapus
  3. Setungju wis. Mari kita besarkan Rumah Kertas biar jadi PH jos gandhos!

    BalasHapus
  4. Anonim16.02

    yaah betul tuh mbak... jangan bikin sinetron kaya yang sekarang2 ini, yang membuat hati ingin melempar tipi dengan asbak, tapi sayang harga tipi mahal :p

    BalasHapus