Sebenernya aku nggak begitu tertarik untuk nonton Music and Lyrics-nya sutradara Marc Lawrence saat diputar di HBO. Kupikir ini cuman film komedi romantis biasa, yang berakhir dengan dua tokoh utamanya ciuman di tengah jalan raya. Aku memaksakan diri untuk nonton karena tertarik dengan cuplikan lagunya yang diputar pas promo sejak jauh-jauh hari sebelumnya.
M & L bercerita tentang Alex (Hugh Grant), bintang pop era 1980-an yang berkibar lewat band-nya yang bernama Pop. Lima belas tahun kemudian, Alex udah jauh tergusur ke pinggiran. Ia tampil cuman di taman hiburan, karnaval lokal, dan reuni SMA.
Ia mendapat kesempatan untuk balik lagi saat diminta Cora (Haley Bennett), bintang baru masa kini, untuk menulis satu lagu buat album terbaru Cora di mana keduanya nanti akan tampil duet. Sempat bingung nyari penulis lirik, Alex akhirnya tertolong oleh Sophie (Drew Barrymore), cewek yang merawat tanam-tanaman di rumah Alex, yang ternyata pintar nulis puisi dan syair lagu.
Mereka berdua membuat lagu untuk Cora, yang seperti permintaan Cora diberi judul Way Back into Love. Lagu itu ternyata cocok buat Cora, dan akhirnya dimasukkan ke dalam album terbaru Cora.
Saat nonton film ini, aku jadi teringat waktu aku nonton Ayat-ayat Cinta persis seminggu sebelumnya. Dan aku jadi membanding-bandingkan posisi emosiku ketika nonton keduanya. Hasilnya adalah beda bagai langit dan bumi.
M & L membikinku terpaku di kursi dari awal sampai akhir. Nggak ada satu detik pun saat aku kehilangan minat atau konsentrasi ke jalan cerita. Karena ini film komedi, maka aku tertawa. Dan karena ini juga sekaligus film romantis, maka aku ikut melankolis dan terharu.
Sementara saat nonton A2C, aku sama sekali nggak terpengaruh oleh apapun yang tersaji di layar, mirip pemain debus yang dicambuki. Aku nggak ikut bersimpati saat Fahri difitnah, nggak sedih saat Maria meninggal, dan nggak tergugah oleh dialog penuh “filsafat” di tepi “Sungai Nil” soal jodoh datangnya bukan dari langit, tapi dari hati. Satu-satunya adegan yang berharga untuk disaksikan hanyalah 6 detik yang sangat singkat ketika Fahri membuka cadar Aisha dan menampakkan wajah—bukan Aisha, tapi VJ Rianti yang kerja di MTV!—yang memang amat cantik.
Lantas apa bedanya di antara kedua film itu? Atau untuk lebih menarik garis bawah, antara film Hollywood dengan film Indonesia.
Yang pertama, M & L datang dengan pesan global yang jelas. Sejak awal, sejak Alex diminta ikut reality show tinju untuk para mantan pesohor tahun 1980-an, aku udah tahu dengan gamblang bahwa temanya adalah soal kebangkitan kembali. Kebangkitan apa aja. Karier lama, semangat hidup, pencarian cinta, keberanian untuk menyuarakan pendapat, dan terutama self-rediscovery.
Yang kedua, detail. Skenario garapan Marc Lawrence betul-betul rinci memaparkan dunia di balik gemerlap industri musik dan proses kreatif penulisan lagu. Saat Alex dan Sophie “menggarap” Way Back into Love, kita ikut terlibat secara step by step dengan pencarian irama, penyusunan kata-kata termasuk efek sanjaknya, dan akhirnya perekaman demo tape. Kita jadi tambah pengetahuan dan wawasan.
Dan yang ketiga, nggak ada upaya untuk meng-overplay apapun guna memancing emosi penonton. Nggak ada dialog serius yang sok filsafati antara Alex dan Sophie. Nggak ada adegan Alex tercebur selokan untuk memancing tawa. Dan nggak ada yang mati terus dikrukupi kain mori untuk membuat penonton sedih terlarai-larai (bahasa opo to iki…!?).
Semua mengalir datar dan simpel. Kita menemukan hubungan emosi dengan adegan-adegan itu karena semuanya begitu simpel dan biasa-biasa aja sehingga kita seolah merasa pernah mengalaminya sendiri (sama kayak level cerita di Si Doel Anak Sekolahan dan Bajaj Bajuri).
Ada dua dialog lucu yang bikin aku ngakak dan nggak bakalan pernah terlupa sampai kapanpun. Yang pertama adalah saat Alex dan Sophie bikin demo di studio Alex. Saat Sophie grogi dan membuka nyanyian dengan suara rendah, Alex nyeletuk, “Tolong agak keras sedikit, sebab lagu ini ditujukan untuk manusia!” yang mengacu pada suara berfrekuensi amat rendah di bawah range pendengaran manusia yang hanya dapat didengarkan beberapa binatang tertentu.
Yang kedua adalah saat Sophie curhat pada Alex soal kisah cintanya terdahulu dan heran mendengar kata-kata Alex yang begitu tinggi dan bermakna (karena dulu terbiasa nulis lagu soal cinta). Mendengar itu Alex menukas, “Aku memang berwawasan tajam. Sebenernya aku bisa memakai itu untuk diriku sendiri. Sayang aku jarang kena masalah.”
Dialog-dialog itu jadi makin kuat efek kelucuannya karena kesempurnaan skill akting yang dimiliki Hugh Grant (yang ini dipuji para kritikus saat mengomentari M & L). Dengan timing dan bahasa tubuh yang perfect, Grant membuat kata-kata itu melompat secara naluriah dan seperti datang entah dari mana tanpa direncana. Seakan-akan ia seperti menemukannya pada saat itu juga dan bukan hasil hapalan skenario buatan Marc Lawrence.
Dan adegan yang paling mengesankan adalah saat Cora menggelar konser dan menghadirkan Alex sebagai bintang tamu. Cora bilang, Alex akan membawakan lagu karya dia sendiri. Mendengar itu Sophie jadi down dan memutuskan untuk pergi karena mengira Alex mengambil seluruh kredit penulisan lagu Way Back into Love untuk dirinya sendiri dan melupakannya.
Ternyata emang betul itu lagu tulisan Alex sendiri, karena yang dibawakan bukan Way Back into Love, melainkan Don’t Write Me Off. Liriknya bercerita tentang bagaimana Sophie mengubah hidup Alex, dari “1980s Has Been” yang tumpul menjadi seniman yang kembali menemukan keberanian dan skill-nya untuk nulis lagu. Sophie udah pasti berurai air mata saat mencermati sepotong demi sepotong lirik yang disampaikan Alex.
Lalu ada satu elemen lagi yang amat cantik, yaitu judulnya. Awalnya aku agak emoh dengan judul Music and Lyrics yang sepintas terdengar hambar dan datar itu. Tapi setelah masuk ke (lagi-lagi) dialog, baru aku tahu apa maksudnya.
Kata Alex, musik (irama) adalah yang terpenting, karena lirik bisa bercerita apa aja dan tinggal mengikuti irama. Tapi kata Sophie, lirik lah yang paling penting, karena di situ tersimpan makna pesan sesungguhnya yang hendak disampaikan sang seniman. Musik mirip wajah cantik dan body sexy seorang cewek, sedang lirik adalah inner beauty-nya yang berupa kecerdasan, kebaikan hati, sifat keibuan, etc.
Dan akhirnya mereka sepakat, ketika musik bertemu lirik yang tepat, barulah sebuah lagu yang indah bisa diciptakan. Moral of the story-nya: ketika sesuatu bertemu jodohnya yang paling pas (apapun itu, bukan cuman dalam urusan cinta-cintaan dan kawin-kawinan), barulah hidup yang indah bisa terwujud.
Wow…!
M & L bercerita tentang Alex (Hugh Grant), bintang pop era 1980-an yang berkibar lewat band-nya yang bernama Pop. Lima belas tahun kemudian, Alex udah jauh tergusur ke pinggiran. Ia tampil cuman di taman hiburan, karnaval lokal, dan reuni SMA.
Ia mendapat kesempatan untuk balik lagi saat diminta Cora (Haley Bennett), bintang baru masa kini, untuk menulis satu lagu buat album terbaru Cora di mana keduanya nanti akan tampil duet. Sempat bingung nyari penulis lirik, Alex akhirnya tertolong oleh Sophie (Drew Barrymore), cewek yang merawat tanam-tanaman di rumah Alex, yang ternyata pintar nulis puisi dan syair lagu.
Mereka berdua membuat lagu untuk Cora, yang seperti permintaan Cora diberi judul Way Back into Love. Lagu itu ternyata cocok buat Cora, dan akhirnya dimasukkan ke dalam album terbaru Cora.
Saat nonton film ini, aku jadi teringat waktu aku nonton Ayat-ayat Cinta persis seminggu sebelumnya. Dan aku jadi membanding-bandingkan posisi emosiku ketika nonton keduanya. Hasilnya adalah beda bagai langit dan bumi.
M & L membikinku terpaku di kursi dari awal sampai akhir. Nggak ada satu detik pun saat aku kehilangan minat atau konsentrasi ke jalan cerita. Karena ini film komedi, maka aku tertawa. Dan karena ini juga sekaligus film romantis, maka aku ikut melankolis dan terharu.
Sementara saat nonton A2C, aku sama sekali nggak terpengaruh oleh apapun yang tersaji di layar, mirip pemain debus yang dicambuki. Aku nggak ikut bersimpati saat Fahri difitnah, nggak sedih saat Maria meninggal, dan nggak tergugah oleh dialog penuh “filsafat” di tepi “Sungai Nil” soal jodoh datangnya bukan dari langit, tapi dari hati. Satu-satunya adegan yang berharga untuk disaksikan hanyalah 6 detik yang sangat singkat ketika Fahri membuka cadar Aisha dan menampakkan wajah—bukan Aisha, tapi VJ Rianti yang kerja di MTV!—yang memang amat cantik.
Lantas apa bedanya di antara kedua film itu? Atau untuk lebih menarik garis bawah, antara film Hollywood dengan film Indonesia.
Yang pertama, M & L datang dengan pesan global yang jelas. Sejak awal, sejak Alex diminta ikut reality show tinju untuk para mantan pesohor tahun 1980-an, aku udah tahu dengan gamblang bahwa temanya adalah soal kebangkitan kembali. Kebangkitan apa aja. Karier lama, semangat hidup, pencarian cinta, keberanian untuk menyuarakan pendapat, dan terutama self-rediscovery.
Yang kedua, detail. Skenario garapan Marc Lawrence betul-betul rinci memaparkan dunia di balik gemerlap industri musik dan proses kreatif penulisan lagu. Saat Alex dan Sophie “menggarap” Way Back into Love, kita ikut terlibat secara step by step dengan pencarian irama, penyusunan kata-kata termasuk efek sanjaknya, dan akhirnya perekaman demo tape. Kita jadi tambah pengetahuan dan wawasan.
Dan yang ketiga, nggak ada upaya untuk meng-overplay apapun guna memancing emosi penonton. Nggak ada dialog serius yang sok filsafati antara Alex dan Sophie. Nggak ada adegan Alex tercebur selokan untuk memancing tawa. Dan nggak ada yang mati terus dikrukupi kain mori untuk membuat penonton sedih terlarai-larai (bahasa opo to iki…!?).
Semua mengalir datar dan simpel. Kita menemukan hubungan emosi dengan adegan-adegan itu karena semuanya begitu simpel dan biasa-biasa aja sehingga kita seolah merasa pernah mengalaminya sendiri (sama kayak level cerita di Si Doel Anak Sekolahan dan Bajaj Bajuri).
Ada dua dialog lucu yang bikin aku ngakak dan nggak bakalan pernah terlupa sampai kapanpun. Yang pertama adalah saat Alex dan Sophie bikin demo di studio Alex. Saat Sophie grogi dan membuka nyanyian dengan suara rendah, Alex nyeletuk, “Tolong agak keras sedikit, sebab lagu ini ditujukan untuk manusia!” yang mengacu pada suara berfrekuensi amat rendah di bawah range pendengaran manusia yang hanya dapat didengarkan beberapa binatang tertentu.
Yang kedua adalah saat Sophie curhat pada Alex soal kisah cintanya terdahulu dan heran mendengar kata-kata Alex yang begitu tinggi dan bermakna (karena dulu terbiasa nulis lagu soal cinta). Mendengar itu Alex menukas, “Aku memang berwawasan tajam. Sebenernya aku bisa memakai itu untuk diriku sendiri. Sayang aku jarang kena masalah.”
Dialog-dialog itu jadi makin kuat efek kelucuannya karena kesempurnaan skill akting yang dimiliki Hugh Grant (yang ini dipuji para kritikus saat mengomentari M & L). Dengan timing dan bahasa tubuh yang perfect, Grant membuat kata-kata itu melompat secara naluriah dan seperti datang entah dari mana tanpa direncana. Seakan-akan ia seperti menemukannya pada saat itu juga dan bukan hasil hapalan skenario buatan Marc Lawrence.
Dan adegan yang paling mengesankan adalah saat Cora menggelar konser dan menghadirkan Alex sebagai bintang tamu. Cora bilang, Alex akan membawakan lagu karya dia sendiri. Mendengar itu Sophie jadi down dan memutuskan untuk pergi karena mengira Alex mengambil seluruh kredit penulisan lagu Way Back into Love untuk dirinya sendiri dan melupakannya.
Ternyata emang betul itu lagu tulisan Alex sendiri, karena yang dibawakan bukan Way Back into Love, melainkan Don’t Write Me Off. Liriknya bercerita tentang bagaimana Sophie mengubah hidup Alex, dari “1980s Has Been” yang tumpul menjadi seniman yang kembali menemukan keberanian dan skill-nya untuk nulis lagu. Sophie udah pasti berurai air mata saat mencermati sepotong demi sepotong lirik yang disampaikan Alex.
Lalu ada satu elemen lagi yang amat cantik, yaitu judulnya. Awalnya aku agak emoh dengan judul Music and Lyrics yang sepintas terdengar hambar dan datar itu. Tapi setelah masuk ke (lagi-lagi) dialog, baru aku tahu apa maksudnya.
Kata Alex, musik (irama) adalah yang terpenting, karena lirik bisa bercerita apa aja dan tinggal mengikuti irama. Tapi kata Sophie, lirik lah yang paling penting, karena di situ tersimpan makna pesan sesungguhnya yang hendak disampaikan sang seniman. Musik mirip wajah cantik dan body sexy seorang cewek, sedang lirik adalah inner beauty-nya yang berupa kecerdasan, kebaikan hati, sifat keibuan, etc.
Dan akhirnya mereka sepakat, ketika musik bertemu lirik yang tepat, barulah sebuah lagu yang indah bisa diciptakan. Moral of the story-nya: ketika sesuatu bertemu jodohnya yang paling pas (apapun itu, bukan cuman dalam urusan cinta-cintaan dan kawin-kawinan), barulah hidup yang indah bisa terwujud.
Wow…!
0 komentar:
Posting Komentar