So, ketika Tetangga-Seberang-Jalan yang berinisial DS alias Dewie Sekar merilis novel terbarunya yang berjudul Langit Penuh Daya, aku juga nggak terlalu berhasrat untuk baca. Ntar aja nunggu eksemplar gratisannya kalau pas Mbak DS cs pulang ke Pudakpayung.
Soalnya sejak awal doi udah SMS, bilang malu karena emak-emak masih suka bikin novel cinta-cintaan tanpa ada cerita sampingannya yang bukan love story. Pas Zona @ Tsunami dan Zona @ Last dulu kan masih ada kisah sampingannya yang seru berupa episode tsunami Aceh. Nah, menurut doi, LPD hanya berisi kisah cinta tok.
Tapi kemudian aku terpaksa beli. Tepatnya Kamis (27/3) lalu, pas aku pergi makan siang dengan Beth di Java Mall. Alasan belinya pun agak aneh dan lucu, cuman karena aku nggak selesai-selesai baca Man and Boy-nya Tony Parsons. Dan lebih lucu lagi, aku beli M & B karna aku terpengaruh posting-an di blog-nya Mbak DS soal doi yang ngefans ama Tony Parsons.
Entah kenapa, aku susah banget terlibat dengan M & B. Sama kayak aku susah baca The Dante Club-nya Matthew Pearl (dipinjami Beth sejak November 2007 dan hingga kukembaliin Kamis kemarin belum kubaca kecuali sinopsisnya!). Dari 471 halaman M & B, aku baru baca sampai halaman 50 tok. Padahal aku udah beli ini novel sejak Januari atau Februari lalu. Karna merasa nggak ada kemajuan, aku break dulu sementara dari M & B untuk baca LPD.
Dan hasilnya, langitku jadi penuh LPD. Sebenernya sih, ceritanya nggak istimewa. Nggak ada yang baru juga. Cerita soal bestfriends-turn-to-lover-tapi-raguragu kan udah sering dibahas sejak zaman dahulu kala. LPD berkisah soal Langit dan Dayana yang bersahabat sejak kecil, saling menyukai sejak dulu, tapi sama-sama menyembunyikannya.
Yang membuatnya spesial adalah craftmanship penulisnya. Kalo kata Tetangga-yang-Nggak-Pernah Nongol berinisial NU alias Nora Umres, menulis itu adalah keterampilan. Nah, aku terikat untuk baca LPD sampai habis juga karena “ilmu silat” tinggi tiada tanding milik DS dalam meramu kisahnya.
Seperti biasa, DS memakai jurus multiple point-of-view, angle orang pertama masing-masing dari Langit dan Daya. Teknik pukulan pamungkasnya adalah Portraying the Mind alias melukiskan benak (para) tokoh. Lain dari NU yang memakai teknik Displaying the Circumstances (mempertontonkan situasi) atau aku yang selalu pakai pendekatan Scene by Scene ala film.
Ditambah dengan dialog-dialog yang natural dari alam nyata, kita bener-bener bisa melihat kedalaman benak (dan batin) para tokohnya, yaitu Langit dan Daya. Itu membuat mereka tampil amat nyata di imajinasi kita. Kadang, saat membaca serentetan dialog, suara, intonasi, desahan, helaan napas, dan tak jarang ekspresi muka si tokohnya pun seperti bener-bener hadir dan membuat suasana jadi creepy karena pas baca, aku lagi sendirian di rumah, terlebih kalau tiba-tiba Robin menggonggong nggak jelas!
Dan biar isinya cuman cerita cinta belaka, aku ngebut membacanya kayak pas dulu baca The Da Vinci Code. Lucunya, karena bacanya sambil aku riwa-riwi sana-sini terutama ke kantor Gradasi, di luaran aku selalu teringat-ingat Langit dan Daya. Nggak sabar pengin cepat-cepat pulang biar bisa nerusin baca lagi. Penasaran sih enggak, wong emang nggak ada thriller-nya. Tapi seperti si Lee, aku merasa ikut terlibat dan turut merasa berkepentingan dengan nasib Langit dan Daya sepertinya mereka itu teman-teman manusia sungguhan dari dunia nyata (mulai creepy lagi ini!).
Adegan favoritku adalah saat Daya menangisi “kucing mati” di halaman 322. Brilian! Asli aku ketawa ngakak (tapi dengan suara rendah, takut dikira gila oleh tetangga sebelah!). Probably the best book comedic scene so far yang pernah aku baca seumur hidup.
So, bagi yang belum baca, LPD masuk dalam daftar most recommended-ku tahun ini. (*sambil melirik Nora Umres*)
Kubalas lirikanmu...
BalasHapusmana, katanya mau minjemin tuh novel? mannnnah? mannnah?
BalasHapusbtw, nunut promosi ah... novelku wis terbit......! judulnya aku seorang gay. do ndang tuku yo cah!!!