scribo ergo sum

Kamis, 10 Januari 2008

Writers Zaman Edan

13:23 Posted by wiwien wintarto 5 comments

Siapa yang nggak pernah nonton Desperate Housewives? Anda termasuk golongan (orang-orang) yang merugi dan (terhindar dari) rahmat. Yang nggak berlangganan TV kabel juga merugi, karena nggak berkesempatan menyaksikan season tiga yang kini tengah diputer di Star World. Indosiar memutar season satu dan dua, tapi cuek bebek pada season ketiga karena lebih memilih menayangkan sinetron-sinetron ala Bollywood plus ular animasi, kuda terbang animasi, laba-laba raksasa animasi, dengan plot cerita dan dialog yang ngawur punya.
Kelebihan DH ada pada kualitas kepenulisannya. Skenario yang tersaji benar-benar luar biasa. Tiap episode punya benang merah tersendiri, seperti tentang “sosok ayah”, “menyimpan rahasia”, atau tentang “isteri dan wanita yang baik”. Salah satu yang terbaik adalah yang ditayangkan (di sini) hari Selasa 8 Januari 2008 lalu. Berjudul God, That's Good (episode ke-19), episode ini mengambil tema pokok “kekuasaan”.

Ada Tom yang kehilangan kekuasaan atas restoran pizza dan isterinya, Lynette yang ganti punya kuasa terhadap bisnis suaminya, Gaby yang memegang kekuasaan cinta atas Victor yang tengah menggapai kekuasaan dengan ikut pilkada walikota Fairview, Ny McCluskey yang kehilangan kekuasaan atas rahasia besar di basement rumahnya, Carlos yang kehilangan kekuasaan atas Gaby, Mike dan Ian yang sama-sama kehilangan kekuasaan terhadap Susan, dan Eddie yang kehilangan kekuasaan atas Carlos.
Yang hebat, semua kerumitan itu sama-sama terjadi ketika instalasi PLN di Fairview rusak sehingga selama beberapa hari, listrik di sana mati. Hilangnya kekuasaan (power) dilambangkan dengan matinya listrik (power juga), sehingga narasi Brenda Strong di ending episode berbunyi, “Kehilangan kekuasaan (power) akan terasa seperti berada seorang diri di tengah kegelapan saat listrik (power) mati”, tepat ketika Ny McCluskey dijebloskan tahanan polsek dan kemudian listrik tahu-tahu mati.
Mengagumkan! Mengesankan! Itu hanya bisa dilakukan oleh seorang penulis sejati. Seorang penulis yang berilmu tinggi tiada tanding, yang banyak belajar dan berlatih dalam hidupnya, yang menekuni profesi kepenulisan bukan hanya sekadar karung untuk nadahi dolar, dan yang melalui terpaan kritik serta revisa-revisi dengan dada tengadah (koyo crito silat wae!).
Ironisnya, hampir pada hari yang bersamaan, aku iseng nonton (untuk menghina dan menertawai!) sinetron berjudul Bayu dan Kuda Terbang di Indosiar. Pada salah satu adegan dilukiskan si kecil Melati (yang disia-siakan ibu dan kakaknya) disuruh mencuci baju di sungai (yang lebih tepat disebut telaga). Pas mau pulang, ia dicegat empat pemuda cengengesan yang entah niatnya apa (merampok enggak, nodong enggak, bullying juga enggak) tapi pokoknya sibuk mengejek-ejek tak jelas.
Tahu-tahu dari luasnya angkasa muncul Bayu yang tengah terbang naik kuda terbang (kuda animasi yang mBegegeg) ditemani seekor burung rajawali raksasa (burung animasi yang mBegegeg juga). Bayu menyuruh kedua temannya untuk turun. Lalu ia dibantu si burung yang bernama Sakti memberesi keempat preman itu sampai mereka lari terbirit-birit.
Lalu simak potongan skenario “berkualitas” di bawah ini,
(*Final Draft Mode ON*)
EXT. TEPIAN TELAGA, EH… SUNGAI DING! - DAY
MELATI
(Pada BAYU)
BAYU, kenapa rajawali itu mau menolongku?
BAYU
Karena ia temanku. Namanya SAKTI. SAKTI, kenalkan ini temanku, MELATI!
SAKTI
(Melayang turun; dengan nada flirting ndeso)
Waah, anaknya manis juga, ya?
(*Gubrak!! Mode ON*)
(*Kepingkel-pingkel Mode ON*)
Dan di sisi sebelah yang lain, ada jenis skenario drama percintaan yang disusun Serena Luna dalam serial-serial seperti Intan, Candy, atau Soleha. Skenario serial-serial itu selalu serupa sebangun: permasalahan yang dibuat-buat, konflik yang terlalu bombastis, dialog yang cetek, dan terlalu banyak dialog mBatin.
Udah berkali-kali dibahas oleh para pakar, kelemahan film dan sinetron kita ada pada kualitas SDM penulis. Dulu pernah ada Tatiek Maliyati WS, Sjumandjaja, Asrul Sani, Arifien C Noer, Nja Abbas Acoep, atau Dedi Setiadi. Sekarang? Kosong melompong. Yang ada hanya buruh kasar 24 jam kepunyaan Punjabi atau Shanker atau Leo Sutanto dan penulis skenario golongan seleb jeng-jeng kayak Monty Tiwa yang menganut aliran “subtitle Hollywood”!
Mereka parah dalam meramu konflik, dalam membangun tensi cerita, dalam menyusun logika cerita, dan dalam meracik dialog-dialog yang memorable dan layak ditulis jadi quote di permukaan mug. Hasil output tulisan mereka masih kalah jauh dari tulisan Oktaviany dan Iin Marita (dua “murid silat”-ku dari Majalah Gradasi), dari Mitsa anak SMA 1 Kudus yang sering nulis di halaman Kantin Banget SM, dan bahkan dari anak-anak SMP 21 Semarang yang November lalu kukasih workshop jurnalistik.
Lalu kenapa mereka nekat menjadi atau dijadikan penulis? Sama kayak kalo misalnya timnas PSSI merekrut pemain bola yang nggak tahu apa itu penalti, apa itu corner kick, dan nggak bisa nendang, nggak bisa mentakel, nggak bisa mendribel, nggak bisa passing, dan kalo shooting melenceng terus. Pantesan nggak pernah menang!
Padahal negeri ini penuh berlimpah penulis yang hanya dengan belajar nggak sampai 15 menit pasti sudah langsung bisa bikin skenario hebat. Ada Primadonna Angela, Tria Barmawi, Syafrina Siregar, Andrei Aksana, Dewie Sekar, atau Icha Rahmanti. Di luar sana, somewhere, di daerah-daerah, pasti juga ada bibit-bibit baru screenwriter yang berkualitas dan belum ditemukan.
Tapi tetap saja para produser itu jauh lebih percaya pada buruh kasar 24 jam mereka karena bisa disetir sesuka hati dan yakin nggak bakalan melawan. Maka kita para penonton pun lagi dan lagi dan lagi setiap hari 7 hari seminggu untuk jangka waktu yang masih bakalan amat panjang entah sampai kapan tetep harus mau ketemu dengan adegan sekelompok orang yang pada mBatin sendiri-sendiri, lalu kalo pindah channel akan bertemu dengan kuda terbang raksasa mBegegeg.
Aku nggak kenal secara personal dengan Ranggawarsita. Tapi dia benar dalam satu hal, yaitu zaman edan…

5 komentar:

  1. lah sinetron kita ya pake skenario to mas?

    BalasHapus
  2. mbak.. aku udah baca bukunya say no to love.. bagus bangeet.. kok enggak ada shoutboxnya?;) salam kenal..:)

    BalasHapus
  3. haha ... "mbegegeg" istilahe kuwi lo! haha ... mas udah lama daku tdk berkunjung ke blogmu, makin oke aja neh! haha...

    BalasHapus
  4. dendi: kabar terakhir nyebutin, ternyata nggak!

    semuasayanganna: hai, hai, salam kenal juga! shoutbox? ntar kukasih deh. btw, aku masih cowok lho, belum jadi mbak, hehe..

    raka: makanya silakan "mbegegeg" dulu...

    BalasHapus
  5. Nyebut2 jenengku kudu mbayaaarrr! :p

    BalasHapus