scribo ergo sum

Jumat, 25 Januari 2008

From Game with Life

15:08 Posted by wiwien wintarto 2 comments

Aku masih ingat banget, perkenalanku untuk pertama kali dengan video games adalah sekitar awal tahun 1983. Waktu itu aku masih kelas VI SD. Pada suatu hari, aku diajak Bapak ke Mickey Morse Department Store di Simpanglima (kini jadi Courts). Di sana, aku dibawa ke arena ding dong yang terletak di lantai dasar.
Mesin ding dong saat itu masih didominasi game-game kayak Kamikaze, Galaga, Defenders, dan Pac-Man. Sekali main, koinnya adalah recehan uang Rp 25. Kalau nggak salah ketika itu aku dikasih Rp 100, sehingga bisa main empat kali. Game yang paling kusukai adalah Kamikaze. Seru, heboh. Dan dari situlah aku mulai hobi main game.

Sepanjang dekade 1980-an, ada tiga tempat arcade utama yang selalu kudatangi. Yang pertama adalah gedung Kanjengan di kompleks Pasar Johar. Kemudian arena ding dong di Golden Superstore Jl Pemuda (belakangan jadi kampus Unaki tapi kini udah roboh). Dan terakhir adalah arena ding dong lantai 4 Pasaraya Sri Ratu Jl Pemuda. Aku masih selalu ingat di Sri Ratu aku selalu main SubRoc 3D, J-League, dan Golden Axe berombongan dengan 4 teman.
Memasuki era 1990-an, dari ding dong aku pindah ke komputer. Di sini aku mengenal game-game dengan genre lebih luas, nggak hanya game fighting dan action scrolling aja. Aku juga kenal adventure (Metal Gear dari zaman gambarnya masih primitif), strategi (Starcraft dan Age of Empires), dan juga simulasi (The Sims, SimCity, serial-serial Tycoon, etc.).
Satu tipe game lagi yang juga kukenal adalah console, bangsanya PlayStation, Sega Megadrive, Nintendo, gitu. Tapi entah kenapa aku nggak begitu on pada game jenis ini. Perasaan, tiap kali main PS, habis itu pasti aku kelaparan, kehausan, dan kehilangan orientasi otak pada arah hidup yang sesungguhnya. Makanya aku juga nggak pernah berselera beli PS3 atau Wii atau yang portable bangsanya GBA atau PSP.
Intinya, sejak 1983 diawali momen bersejarah di Mickey Morse itu, games menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupanku. Sama dengan film komedi, siaran Liga Inggris, rawon, duren, Heroes, Desperate Housewives, dan Wisata Kuliner. Pertanyaannya sekarang, adakah manfaat yang bener-bener bisa dipetik dari urusan ngegames?
Para pakar psikologi pro-games mengungkapkan, video game bisa mempertajam reaksi otak, gerak reflek, dan pengenalan akan ruang tiga dimensi. Buatku, persoalannya tak perlu seilmiah itu, karena hal-hal positif yang diajarkan games padaku jauh lebih membumi dan lebih mudah dipahami.
Yang paling kentara aja, games membuat otak nggak pernah berhenti berputar. Aku pernah baca di majalah, manula mengalami kepikunan karena saat dia dalam usia produktif, ada terlalu banyak waktu di mana dia membiarkan otaknya terlalu rileks. Itulah pola hidup yang dijalani sebagian besar dari kita selama ini.
Mereka kerja kantoran mulai pukul 8-16. Begitu pulang ke rumah, kerjaan mereka selesai. Plus badan yang capek karena dipakai kerja seharian, mereka bersantai beristirahat dengan nonton TV atau nonton film atau dengerin musik atau ngobrol dengan keluarga dan tetangga kanan-kiri. Dalam periode mengaso itu otak mereka juga ikut mengaso.
Ditambah dengan waktu istirahat full day pada libur rutin Sabtu-Minggu plus libur2 lain (hari besar dan cuti tahunan), akhirnya akumulasi jumlah periode otak beristirahat selama setahun akan jauh lebih besar daripada jumlah waktu periode otak aktif. Nggak heran pas tua nanti mereka terancam pikun karena otak mereka terlalu banyak dibiarkan menganggur.
Karenanya, biar nggak pikun, kita dianjurkan untuk terus memaksa otak bekerja meskipun badan sedang beristirahat dari pekerjaan. Misalnya dengan membaca, ngisi TTS, atau mengerjakan hobi. Bagiku, kegiatan “istirahat” yang paling menyenangkan ya main games. Dan saat main game, otakku berputar keras guna mencari cara agar bisa menang. Maka, baik saat kerja maupun saat istirahat, si otak akan terus-menerus berpikir dan berputar.
Yang kedua, games mendidik kita untuk punya mental pantang menyerah. Punya determinasi (ketetapan hati) tinggi. Orang yang kalah saat main game akan penasaran untuk mencoba dan terus mencoba sampai dia bisa menang. Dan saat dia berkali-kali mencoba, dia akan terus-menerus mencari aneka macam cara berbeda untuk mengalahkan game. Kita ditempa untuk menjadi gigih, ulet, dan sekaligus kreatif. Watak yang terbentuk gara-gara game akan menular ke dalam cara kita “mengalahkan” hidup di dunia nyata.
Dan yang ketiga, game mendidik kita untuk berpikir runtut dan logis. Suatu saat dulu, aku pernah nanya kenapa mahasiswa harus bikin skripsi. Emang siapa yang akan baca? Ternyata tujuannya bukan untuk dibaca orang lain, melainkan untuk membuat si mahasiswa belajar berpikir runtut dan logis. Saat bikin skripsi kan kita menduga sesuatu, menentukan hipotesis, mencari teori, menyusun sistem penelitian, mengerjakan proses penelitian, hingga akhirnya ketemu hasil nyata yang mendukung hipotesis. Dugaan kita terbukti bukan berdasarkan prasangka atau paksaan, tapi berdasar hasil yang nyata dan ilmiah.
Game juga begitu. Kebetulan game favoritku adalah strategi dan simulasi, yang mengharuskanku untuk selalu berpikir logis dan nggak cuman mengandalkan kecepatan jempol dan jari memencet-mencet keyboard atau tombol joystick. Lihat misalnya game Starcraft, Command & Conquer, atau Age of Empires. Dalam game-game itu kita akan dikasih misi kayak “hancurkan markas musuh!” atau “bunuh jenderal lawan!”. Dan kita nggak bisa langsung mak regudug ngajak teman-teman nongkrong untuk menyerbu ke sana bawa pentungan atau parang, tapi harus mikir cermat mengenai sarana yang diharapkan dan sumber daya yang tersedia.
Kita butuh tentara. Tentara butuh makan. Untuk menyediakan makan kita butuh petani. Dan untuk menghidupi petani kita bangunkan dulu mereka rumah-rumah. Untuk membangun rumah petani kita perlu kayu. Itu sebabnya kita harus menyuruh orang untuk menebang kayu dulu. Begitu seterusnya dan seterusnya. Mental kita terbentuk untuk nggak berorientasi hasil, tapi pada proses.
Rasanya itulah problema utama bangsa kita saat ini. Semua orang terobsesi hasil, terutama untuk jadi kaya raya. Maka semua menempuh jalan pintas. Pesugihan, jimat rezeki, korupsi, manipulasi, tipu-tipu, menggelar operasi di jalan-jalan sepi untuk mencegat pengendara motor yang nggak pake helm, dlsb. Orang lupa pada proses. Bahwa untuk kaya harus mempertinggi kualitas pendidikan, kualitas SDM, sehingga bisa bekerja profesional, bisa naik jabatan dengan konstan, dan seterusnya.
Dengan cara itulah video game “mendidik”-ku. Kadang bahkan kupikir, aku belajar jauh lebih banyak dari game ketimbang dari pelajaran sekolah. Dulu pas pelajaran sejarah aku selalu ngantuk karena gurunya membosankan. Tapi dari game Europa Universalis 2 aku tahu banyak soal monarki Inggris, sejarah suku-suku Indian Amerika, dan raja-raja Kekaisaran Romawi Suci alias Holy Roman Empire.
Pasti bagus kalo yang bikin Age of Empires: The Rise of Wilwatikta atau Medal of Honor: March 1, 1949…

2 komentar:

  1. Aku ndak pernah nge-game. Sibuk manak, masak, macak, mencak2... :D

    BalasHapus
  2. Nambah ah: tapi aku juga emak2 pencinta proses lho... ndak melulu berorientasi pada hasil.
    Masalahnya, kata temenku yg orang kantoran, yg kayak gitu ndak cocok diterapkan di dunia-kerja-beneran (baca: bukan dunia kerja-boongan spt yg kutekuni skrg).

    Mbulet2 di proses tanpa hasil kan ndak bener juga ya?

    Yowis gitu ajah.

    *emak2 kembali masuk cangkang.. bergelut dg proses mahapanjang*

    BalasHapus