scribo ergo sum

Sabtu, 29 Desember 2007

Dream Come True

11:51 Posted by wiwien wintarto 3 comments


Awal September 2007 kemaren, novelku Say No to Love dirilis oleh Gramedia Pustaka Utama alias GPU. Ini merupakan bukuku yang kedelapan dan novelku yang keenam, tapi novel pertama yang nggak berlatar dunia remaja ABG dan yang pertama pula diterbitin di bawah label GPU. Dan oleh karena itu, SNtL punya tempat tersendiri buatku karena merupakan dream come true alias mimpi jadi nyata.
Sudah sejak awal GPU menjadi sebuah legenda buatku. Banyak penerbitan eksis di negara ini, tapi GPU adalah favoritku sejak masa bocah dulu. Buatku GPU adalah MU. Kamu belum layak disebut pemain bola bila belum main untuk Red Devils. Begitu pula aku belum merasa ”sah” menjadi pengarang bila bukuku belum diterbitin oleh GPU. Dan sekarang, impian itu terwujud nyata betulan.

Aku masih ingat 22 tahun yang lalu aku begitu terobsesi dengan logo “Gm” yang legendaris itu. Aku masih ingat juga logo itulah yang mengubah tujuan hidupku dari cita-cita konvensional macam “jadi dokter”, “jadi insinyur pertanian”, atau “jadi tentara/polisi” ke tujuan yang aneh dan nggak lazim, yaitu “jadi pengarang”. Dan logo itu pula yang membuatku bertekad bulat meninggalkan skill dunia gambar komik/kartun menuju skill baru, menulis, yang saat itu masih terra incognita alias antah berantah buatku.
Seperti yang pernah kuceritakan sebelumnya, semua diawali oleh masuknya Perling (perpustakaan keliling) ke Perumahan Genuk Indah, Semarang, pada sekitar pertengahan tahun 1985. Waktu itu aku masih kelas II SMP. Dan karena dipropagandai Itok, adikku, aku ikut mendaftar jadi anggota Perling. Setiap Rabu sore pukul 15.30, aku dan teman-teman bergerombol menunggu kedatangan mobil Datsun box warna biru muda yang biasa mangkal di pertigaan dekat TK Taman Indrya, Blok A, Genuk Indah, sekitar 300 meteran dari rumahku di Blok F.
Lewat Perling aku mengenal buku-buku karangan Enid Blyton, Agatha Christie, Arswendo Atmowiloto, Alistair MacLean, Dwianto Setyawan, dan juga Bung Smas. Hampir bersamaan dengan itu, Majalah Tempo menurunkan laporan khusus soal dunia pernovelan, yang saat itu tengah dirajai novel-novel genre detektip cilik macam Lima Sekawan, Pasukan Mau Tahu, Sapta Siaga, Sersan Grung-grung, Kelompok 2 & 1, atau Noni. Sebagian besar dari mereka diterbitkan oleh GPU.
Sedemikian terkesannya aku dengan buku-buku itu sampai membuatku bermimpi dan sekaligus bertekad bahwa suatu saat ceritaku pun akan diterbitkan seperti buku-buku itu. Dan penerbitnya siapa lagi jika bukan Gramedia. Saat itu aku kerap membayangkan “kover” novel-novelku dengan warna dasar hitam mirip kover novel-novel Agatha Christie lengkap dengan logo Gm-nya di sudut kanan atas!
Tak hanya sekadar mimpi, aku juga bekerja keras mewujudkannya. Aku nggak pernah melewatkan setiap inci kesempatan untuk mengirimkan naskahku ke GPU. Pertama kali itu terjadi adalah tahun 1996. Waktu itu aku memasukkan dua judul novelku ke sana, yaitu Persinggahan Terakhir dan Regu Elang. Yang pertama adalah kisah cinta ala Teenlit dan yang kedua adalah kisah satu regu Pramuka Penggalang dalam bertualang memberantas kejahatan macam Famous Five.
Naskah kedua langsung dipulangkan karena ketika itu genre detektip cilik emang udah lewat. Yang pertama sempat masuk pertimbangan untuk diterbitkan. Rasanya seperti ngimpi waktu aku menerima surat tanda terima dan pernyataan bahwa naskahku akan dipertimbangkan. Suenengnya minta ampun! Aku disuruh menunggu 3 bulan untuk keputusan finalnya. Dan selama tiga bulan itu aku berasa kayak di awang-awang. Sama tegang dengan menunggu jawaban penembakan dari cewek inceran yang bikin jatuh cinta sampai termehek-mehek…
Sayang upayaku gagal. Persinggahan Terakhir nggak lulus ujian dan dikembalikan. Manuskripnya dalam bentuk ketikan mesin tik manual masih ada hingga sekarang. Jujur memang naskah itu nggak bagus. Persinggahan Terakhir masih menyimpan banyak cacat yang belakangan kerap kukritik pada novel-novel Teenlit, yaitu terlalu berbau Hollywood, terutama pada dialog-dialognya yang kayak teks terjemahan alias subtitle film-film komedi romantis Amerika.
Setelah asyik bikin cerita silat periode 1997-2000, bikin buku komputer, dan lantas masuk Tabloid Tren, my second attempt ke GPU baru terjadi tahun 2002. Masih bergaya ala Teenlit, aku memasukkan novel berjudul Tak Lama Kemudian Hujan Turun. Karena saat itu era Teenlit belum ada, novel itu dengan cepat disuruh pulang tanpa perlu nunggu masa pertimbangan 3 bulan terlebih dulu.
TLKHT baru terwadahi setelah Teenlit buming mulai tahun 2004-an. Dan yang menerbitkannya akhirnya adalah Elex Media Komputindo lewat label Teen’s Heart. TLKHT tak lain adalah novel keduaku, yang judulnya kuganti jadi Waiting 4 Tomorrow dan terbit bulan Mei 2005, tentu setelah melalui serangkaian proses utak-atik, revisi, dan penyesuaian kecil di sana-sini.
Dua tahun menekuni Elex dan Teen’s Heart-nya sampai berbuah lima novel mulai Kok Jadi Gini? (April 2005) hingga Dunia Dini (Juni 2007), aku baru teringat lagi pada obsesi lamaku terhadap GPU. Say No to Love kukirim bulan Januari 2007 lalu untuk label MetroPop. Naskahnya kukirim dari Kantor Pos Banyumanik dan dua minggu kemudian aku menerima surat tanda terimanya serta permintaan untuk menunggu keputusan pertimbangan penerbitan selama 3 bulan.
Selama masa penantian, aku berada dalam kondisi mental yang nggak sepeduli kedua upayaku sebelumnya. Aku nggak terlalu menanti-nanti hasil keputusannya karena saat itu aku tengah disibukkan oleh proses penerbitan Dunia Dini yang makan waktu agak lama, mulai Januari hingga Mei.
Makanya ketika pada akhir Mei aku menerima telepon dari Mbak Ike yang mengabarkan bahwa SNtL di-approve dan tinggal menunggu jadwal editing/revisi, reaksiku pun nggak sehisteris yang dulu kubayangkan. At least nggak sampai berteriak-teriak dan jungkir balik atau menari-nari di jalanan. Tapi jelas aku bersyukur banget karena apa yang dulu hanya ada dalam mimpi dan angan-angan, ternyata bisa kuwujudkan jadi nyata sungguhan—berkat doa, Tuhan, dan kerja kerasku sendiri yang nggak kenal putus atau nyerah.
Aku pun menjadi sedikit di antara orang-orang yang beruntung mendapati mimpi masa kecil mereka jadi nyata. Kayak Wayne Rooney kecil yang awal tahun 1990-an menjadi child mascot pertandingan Liverpool vs Everton (itu lho, anak-anak kecil yang digandeng para pemain saat masuk ke lapangan!) dan bermimpi suatu saat bisa jadi pemain bola di tim nasional Inggris. Nggak sampai 10 tahun kemudian mimpi itu jadi nyata ketika ia menjadi pemain termuda pada usia 17 tahun yang dipanggil masuk tim St George’s Cross.
Seperti Rooney, sejak dulu aku selalu percaya pada slogan Honda, The Power of Dreams. Mimpi-mimpilah yang menggerakkan hidup dan membuatnya layak diperjuangkan. Aku selalu percaya pada lirik lagu soundtrack film Disney yang berbunyi “…if you keep on believing… your dreams that you wished… will come true…”.
Dari film-film kartun Disney aku belajar untuk jangan pernah takut bermimpi. Impian membuat hidup kita punya tujuan, meski kadang isinya aneh seperti mimpiku atau lebih aneh lagi kayak “pengin jadi orang pertama yang melangkah di bulan” atau “pengin jadi orang Indonesia pertama yang jadi Sekjen PBB”. Kita hanya perlu berdoa, bekerja keras, dan sungguh-sungguh percaya bahwa itu bener-bener bisa terwujud.
Tuhan tahu isi kantong kita. Kalau Tuhan berpikir impian itu bukan yang terbaik bagi kita, pasti Dia akan ngasih ganti hal lain yang sepadan. Tapi kalau Tuhan setuju, hasil dari doa, kerja keras, dan keyakinan kita itu pasti akan muncul. Paling cuman butuh waktu. Aku pun perlu waktu 22 tahun, sejak pertama kali terobsesi logo Gm tahun 1985 hingga saat SNtL dirilis tahun ini.
So, bagi yang saat ini punya cita-cita atau keinginan dan mimpi tertentu, jangan takut untuk percaya dan mewujudkannya. Aku sendiri yang sudah mendapati satu mimpi jadi nyata, sekarang tentu harus bergerak menuju mimpi berikutnya, yaitu menjadi kaya raya dari hasil nulis novel dan lantas uangnya kubeliin sebuah pulau kecil di Laut Tengah lalu aku pasang iklan “URGENTLY REQUIRED: ISLAND SETTLERS… WOMEN ONLY… UNDER 25 YRS OLD”… hallah!

3 komentar:

  1. selamat mas win..makan-makan!!! :D

    BalasHapus
  2. lha ya ayo! seperti biasa, tinggal absen...

    BalasHapus
  3. Tulisan segini panjang, gambare kok ya mung Gm. Bener-bener obsesif. Hahaha.... Salut untuk kerja keras itu.

    BalasHapus