Sejak si Gotri pindah rumah dan punya bayi, aku jadi sering banget ke Jakarta. Sebelum ini, terakhir kali aku ke Ibukota adalah tahun 2004, saat Bayu merit. Tapi sejak bulan Juli, aku sudah tiga kali hilir mudik ke sana sampai aku (akhirnya!) bisa apal sedikit ruas jalan di Jakarta terutama dari Palmerah (kantor Kompas-Gramedia) ke Lebak Bulus dan kemudian dari Lebak Bulus ke rumah Gotri di Pondok Cabe, Tangerang.
Gara-gara itu, aku juga jadi lumayan sering masuk Terminal Bus Lebak Bulus yang terletak persis di Stadion Sanggraha itu. Biasanya aku ke sana untuk beliin tiket bus malam buat Bapak & Ibu. Dan tiap kali hendak ke sana, terutama sebelum masuk loket-loket bus malam, aku menyiapkan diriku seperti hendak diberangkatkan perang ke Irak atau Afghanistan.
Apa pasal? Well, begitu entitas-entitas dan organisme-organisme di sana memindai keberadaan kita, niscaya mereka pasti akan langsung datang mengeroyok kita dengan amat nggak berperikemanusiaan. Dipukuli sih enggak, melainkan hanya ditanya tujuan kita ke mana dan lantas ditawari untuk naik bus mereka, tapi tetap saja kelakuan mereka itu sangat annoying dan tidak menyenangkan.
Bayangin aja, semua berebutan nanya dan menuntut jawaban mirip wartawan infotainment lagi nemu Maia Estianty jalan bareng Gogon. Mending kalo nanyanya sopan dan lembut kayak customer service bank. Ini dengan nada keras dan tegas kayak polisi menginterogasi pelaku curanmor. Kadang bahkan pake acara menarik-narik tangan segala dan tahu-tahu mengambil tas bawaan kita dengan dalih ingin membantu membawakan sampai ke bus!
Yang lebih parah lagi, satu kali kru makelar penumpang itu pernah terang-terangan menipu. Aku dikeroyok, lalu aku nanya di mana aku bisa beli tiket bus malam Nusantara, karena kami sekeluarga udah telanjur percaya pada kualitas pelayanan Nusantara (malah promosi!). Tahu-tahu salah satu di antara mereka menyeretku sambil bilang, “Oh, kalau Nusantara ayo ikut saya!”
Maka aku pun dibawanya melintasi sudut-sudut sempit Terminal Lebak Bulus. Bahkan sampai lewat posko Dishub dan posko kepolisian segala. Terakhir kali aku diantar ke sebuah loket di mana Mbak penjaga di situ dengan sigap langsung mencatat pesananku di lembaran tiket.
Karena lugu dan nggak pernah berprasangka buruk, aku pun manut saja ketika dua tiket pesanan ortu dibuat. Tapi kemudian tentu saja label yang ada di tiket nggak bisa menipu, karena yang tertera di sana bukan Nusantara, tapi merek bus lain (yang sialnya aku lupa, padahal pengin kusebut jelas di sini!). Sambil marah-marah aku tinggalin loket bus “najis mugholadoh” itu dan nanya ke polisi mana loket bus Nusantara yang sesungguhnya.
Sederet pengalaman buruk itu membuatku jadi makin mempertanyakan kualitas etos dan sistem kerja orang-orang di bisnis angkutan umum, khususnya bus antarkota. I mean, what’s on their mind? Tidakkah para bos dan manajer mereka memberi setidaknya satu dua teknik dasar promo dan marketing untuk memikat perhatian calon penumpang agar beralih naik ke bus mereka?
Mengapa satu-satunya jurus yang mereka tahu cuma memberondong dengan pertanyaan, menyeret, memaksa, dan lantas melakukan tindakan kriminal berupa nipu? Apakah para bos bus itu nggak menyadari bahwa kelakuan makelar tiket dan makelar penumpang mereka di terminal-terminal sudah berkategori meresahkan kayak ulah geng motor di Bandung?
Masih untung kalau yang dikeroyok adalah cowok sepertiku. Meski aku jarang marah, tapi tempo hari aku sempat naik darah juga diperlakukan seperti itu sampai-sampai mereka juga ikutan sewot. Tapi gimana jika yang mengalaminya adalah seorang remaja cewek ABG yang sexy atau seorang ibu yang sama-sama datang sendirian dan sama-sama pula nggak bisa karate atau taekwondo?
Maksudku, plis deh… terminal kan pusatnya penumpang! Tiap hari ratusan dan bahkan ribuan orang masuk terminal untuk nyari bus atau angkot. Dalam konteks ini, penumpang lah yang berada dalam keadaan amat butuh, bukannya kru bus. Ibarat kata kru bus tidur sepanjang hari pun, penumpang akan tetap berdatangan tanpa henti dan naik ke bus mereka, tanpa harus dikeroyok, diseret-seret, dan ditipu.
Kiatnya kan tinggal bagaimana membuat imej bus kita terlihat oke dan keren sehingga calon penumpang yang berjumlah banyak dan acak itu akan lebih memilih bus kita dibanding bus kompetitor. Dan untuk ini kan caranya guampang banget. Beri diskon, promo, kuis, dan pasang para cowok bertampang bersih atau lebih bagus lagi cewek-cewek ala SPG sebagai frontline-nya, bukan pria-pria berotot dan bermata melotot mirip preman yang bikin histeris anak kecil!
Aku jadi membandingkan “pelayanan” di terminal dengan di bank. Saat masuk bank nggak pernah ada rombongan customer service yang tahu-tahu mengeroyok dan nyosor, “Nabung, Pak? Deposito, Pak? Kartu ATM? Tarik tunai? Apa mau kredit? Iya, kredit? Kredit, ya? Kalo kredit ayo ikut saya!”!
Sebaliknya, para CS itu cukup duduk manis di meja masing-masing dan menunggu kalo-kalo ada nasabah yang butuh bantuan. Toh dengan mereka duduk diam pun tetap saja akan ada nasabah yang masuk dan berbisnis sehingga memberi pemasukan buat bank mereka. Kenapa kru bus nggak meniru model pelayanan ini untuk membuat customer nyaman dan merasa mendapatkan privilege?
Ini penting dan genting sebab tempo hari aku baca di koran katanya jumlah armada bus makin lama makin menyusut dari tahun ke tahun (sekarang aku jadi pengamat transportasi!). Murahnya harga tiket kereta api dan kapal terbang membuat penumpang sedikit demi sedikit mulai eksodus dari bus (especially bus ekonomi) ke moda transportasi lain.
Aku sendiri kini sudah bener-bener me-“makruh”-kan bus tiap kali bepergian ke luar kota. Aku jauh lebih milih kereta, karena di Tawang atau Gambir kini sudah nggak ada lagi calo (atau makelar) tiket yang langsung datang mengeroyok begitu aku masuk stasiun. Tiket bisa dibeli jauh-jauh hari sebelumnya di pusat-pusat reservasi yang bersih, nyaman, ber-AC, dan beroperasi nonstop 24 jam. Kalaupun terpaksa harus naik bus, aku pilih yang paling eksekutif dan terpatas. Mahal dikit nggak papa, yang penting nggak dikeroyok kru makelar!
Kalau layanan model Terminal Lebak Bulus itu tetap dilestarikan (dan kayaknya semua terminal bus di Indonesia masih pake metode “kick and rush” seperti itu!), ya jangan salahkan siapa-siapa kalau kelak di tahun 2017 bus udah masuk Museum Nasional karena semua orang sudah nggak mempergunakannya lagi gara-gara takut dikeroyok. Harusnya ini jadi perhatian semua bos owner perusahaan otobus. Ubah metoda kerja untuk memperbaiki diri dan bukan hanya sekadar berkeluh kesah di koran soal “Sekarang semuanya sudah jauh beda dibanding 20 tahun lalu, Mas!”.
Toh cara ke arah itu juga sebenernya nggak sulit-sulit amat. Tinggal ngeluarin beberapa juta untuk ngadain semacam orientasi karyawan atau training untuk mengubah pola kerja semua lini, terutama para frontliner makelar di terminal-terminal. Kalau perlu datangkan Ary Ginandjar Agustian (itu, tuh—sang pakar ESQ) untuk sekalian menggembleng mental semua karyawan.
Saat ini aku sudah mulai berpikir para owner otobus itu mirip Shanker, Leo Sutanto, atau Punjabi di sinetron. Mereka malas berinovasi karena selalu berpikir “Hallah… wong dikasih tontonan kayak gitu aja semua orang juga masih pada nonton kok…!”
Gara-gara itu, aku juga jadi lumayan sering masuk Terminal Bus Lebak Bulus yang terletak persis di Stadion Sanggraha itu. Biasanya aku ke sana untuk beliin tiket bus malam buat Bapak & Ibu. Dan tiap kali hendak ke sana, terutama sebelum masuk loket-loket bus malam, aku menyiapkan diriku seperti hendak diberangkatkan perang ke Irak atau Afghanistan.
Apa pasal? Well, begitu entitas-entitas dan organisme-organisme di sana memindai keberadaan kita, niscaya mereka pasti akan langsung datang mengeroyok kita dengan amat nggak berperikemanusiaan. Dipukuli sih enggak, melainkan hanya ditanya tujuan kita ke mana dan lantas ditawari untuk naik bus mereka, tapi tetap saja kelakuan mereka itu sangat annoying dan tidak menyenangkan.
Bayangin aja, semua berebutan nanya dan menuntut jawaban mirip wartawan infotainment lagi nemu Maia Estianty jalan bareng Gogon. Mending kalo nanyanya sopan dan lembut kayak customer service bank. Ini dengan nada keras dan tegas kayak polisi menginterogasi pelaku curanmor. Kadang bahkan pake acara menarik-narik tangan segala dan tahu-tahu mengambil tas bawaan kita dengan dalih ingin membantu membawakan sampai ke bus!
Yang lebih parah lagi, satu kali kru makelar penumpang itu pernah terang-terangan menipu. Aku dikeroyok, lalu aku nanya di mana aku bisa beli tiket bus malam Nusantara, karena kami sekeluarga udah telanjur percaya pada kualitas pelayanan Nusantara (malah promosi!). Tahu-tahu salah satu di antara mereka menyeretku sambil bilang, “Oh, kalau Nusantara ayo ikut saya!”
Maka aku pun dibawanya melintasi sudut-sudut sempit Terminal Lebak Bulus. Bahkan sampai lewat posko Dishub dan posko kepolisian segala. Terakhir kali aku diantar ke sebuah loket di mana Mbak penjaga di situ dengan sigap langsung mencatat pesananku di lembaran tiket.
Karena lugu dan nggak pernah berprasangka buruk, aku pun manut saja ketika dua tiket pesanan ortu dibuat. Tapi kemudian tentu saja label yang ada di tiket nggak bisa menipu, karena yang tertera di sana bukan Nusantara, tapi merek bus lain (yang sialnya aku lupa, padahal pengin kusebut jelas di sini!). Sambil marah-marah aku tinggalin loket bus “najis mugholadoh” itu dan nanya ke polisi mana loket bus Nusantara yang sesungguhnya.
Sederet pengalaman buruk itu membuatku jadi makin mempertanyakan kualitas etos dan sistem kerja orang-orang di bisnis angkutan umum, khususnya bus antarkota. I mean, what’s on their mind? Tidakkah para bos dan manajer mereka memberi setidaknya satu dua teknik dasar promo dan marketing untuk memikat perhatian calon penumpang agar beralih naik ke bus mereka?
Mengapa satu-satunya jurus yang mereka tahu cuma memberondong dengan pertanyaan, menyeret, memaksa, dan lantas melakukan tindakan kriminal berupa nipu? Apakah para bos bus itu nggak menyadari bahwa kelakuan makelar tiket dan makelar penumpang mereka di terminal-terminal sudah berkategori meresahkan kayak ulah geng motor di Bandung?
Masih untung kalau yang dikeroyok adalah cowok sepertiku. Meski aku jarang marah, tapi tempo hari aku sempat naik darah juga diperlakukan seperti itu sampai-sampai mereka juga ikutan sewot. Tapi gimana jika yang mengalaminya adalah seorang remaja cewek ABG yang sexy atau seorang ibu yang sama-sama datang sendirian dan sama-sama pula nggak bisa karate atau taekwondo?
Maksudku, plis deh… terminal kan pusatnya penumpang! Tiap hari ratusan dan bahkan ribuan orang masuk terminal untuk nyari bus atau angkot. Dalam konteks ini, penumpang lah yang berada dalam keadaan amat butuh, bukannya kru bus. Ibarat kata kru bus tidur sepanjang hari pun, penumpang akan tetap berdatangan tanpa henti dan naik ke bus mereka, tanpa harus dikeroyok, diseret-seret, dan ditipu.
Kiatnya kan tinggal bagaimana membuat imej bus kita terlihat oke dan keren sehingga calon penumpang yang berjumlah banyak dan acak itu akan lebih memilih bus kita dibanding bus kompetitor. Dan untuk ini kan caranya guampang banget. Beri diskon, promo, kuis, dan pasang para cowok bertampang bersih atau lebih bagus lagi cewek-cewek ala SPG sebagai frontline-nya, bukan pria-pria berotot dan bermata melotot mirip preman yang bikin histeris anak kecil!
Aku jadi membandingkan “pelayanan” di terminal dengan di bank. Saat masuk bank nggak pernah ada rombongan customer service yang tahu-tahu mengeroyok dan nyosor, “Nabung, Pak? Deposito, Pak? Kartu ATM? Tarik tunai? Apa mau kredit? Iya, kredit? Kredit, ya? Kalo kredit ayo ikut saya!”!
Sebaliknya, para CS itu cukup duduk manis di meja masing-masing dan menunggu kalo-kalo ada nasabah yang butuh bantuan. Toh dengan mereka duduk diam pun tetap saja akan ada nasabah yang masuk dan berbisnis sehingga memberi pemasukan buat bank mereka. Kenapa kru bus nggak meniru model pelayanan ini untuk membuat customer nyaman dan merasa mendapatkan privilege?
Ini penting dan genting sebab tempo hari aku baca di koran katanya jumlah armada bus makin lama makin menyusut dari tahun ke tahun (sekarang aku jadi pengamat transportasi!). Murahnya harga tiket kereta api dan kapal terbang membuat penumpang sedikit demi sedikit mulai eksodus dari bus (especially bus ekonomi) ke moda transportasi lain.
Aku sendiri kini sudah bener-bener me-“makruh”-kan bus tiap kali bepergian ke luar kota. Aku jauh lebih milih kereta, karena di Tawang atau Gambir kini sudah nggak ada lagi calo (atau makelar) tiket yang langsung datang mengeroyok begitu aku masuk stasiun. Tiket bisa dibeli jauh-jauh hari sebelumnya di pusat-pusat reservasi yang bersih, nyaman, ber-AC, dan beroperasi nonstop 24 jam. Kalaupun terpaksa harus naik bus, aku pilih yang paling eksekutif dan terpatas. Mahal dikit nggak papa, yang penting nggak dikeroyok kru makelar!
Kalau layanan model Terminal Lebak Bulus itu tetap dilestarikan (dan kayaknya semua terminal bus di Indonesia masih pake metode “kick and rush” seperti itu!), ya jangan salahkan siapa-siapa kalau kelak di tahun 2017 bus udah masuk Museum Nasional karena semua orang sudah nggak mempergunakannya lagi gara-gara takut dikeroyok. Harusnya ini jadi perhatian semua bos owner perusahaan otobus. Ubah metoda kerja untuk memperbaiki diri dan bukan hanya sekadar berkeluh kesah di koran soal “Sekarang semuanya sudah jauh beda dibanding 20 tahun lalu, Mas!”.
Toh cara ke arah itu juga sebenernya nggak sulit-sulit amat. Tinggal ngeluarin beberapa juta untuk ngadain semacam orientasi karyawan atau training untuk mengubah pola kerja semua lini, terutama para frontliner makelar di terminal-terminal. Kalau perlu datangkan Ary Ginandjar Agustian (itu, tuh—sang pakar ESQ) untuk sekalian menggembleng mental semua karyawan.
Saat ini aku sudah mulai berpikir para owner otobus itu mirip Shanker, Leo Sutanto, atau Punjabi di sinetron. Mereka malas berinovasi karena selalu berpikir “Hallah… wong dikasih tontonan kayak gitu aja semua orang juga masih pada nonton kok…!”
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapuswah aku dulu pas 3 bulan pelatihan di ciputat hampir tiap minggu singgah di terminal lebak bulus. dan anehnya kok gak knapa2 ya, kayak dicuekin sapa2...
BalasHapushohoho mungkin sesungguhnya aku punya ilmu menghilang.. *halah!*
---
faniez
to faniez n/a: mungkin kamu punya jimat penolak kenek!
BalasHapusAku nggak pernah suka datang Jakarta. Bayangan segala hal buruk selalu di kepala begitu beli tiket ke sana. Kalau nggak terpaksa, muoh tenan!
BalasHapusweleh,,aku pernah ke jakarta pas awal 90 an gitu,,ke tempat sedulur,,tapi sejak sma dah ga pernah lagi
BalasHapusIngsun ra tau ngrasakke koyo opo ribetnya terminal. Lha wis kalo kudu numpak kendaraan umum, yo milih numpak sepur ae.
BalasHapusSaiki berkat dikau, aku tambah ra wani mlebu terminal...
*Dew kangen ngomong Semarangan :p*
wahahahah, bener terminal memang semrawut. saya lebih memilih tahu terlebih dahulu ketimbang tanya di terminal. begitu masuk terminal diam seribu bahasa, pasang tampang meyakinkan alias tau segalanya dan menuju tempat tujuan. so far...mujarab tuh..
BalasHapusonlysenja.ngeblog.net
Jadi inget pas Mimin ke Lebak Bulus sendirian Mas, orang ngotot nanya, dah dijawab juga masih nguber2 aja. Padahal Mimin cuma mo mampir sholat maghrib.
BalasHapus