scribo ergo sum

Jumat, 09 November 2007

Mencari Sastra Gendra

13:57 Posted by wiwien wintarto No comments

Judul: Hubbu
Pengarang: Mashuri
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tebal: 236 halaman
Cetakan: Ke-1 (Agustus 2007)
Genre: Drama
My Grade: B+
Kritikus film James Berardinelli pernah menulis, menonton sebuah film pemenang festival adalah sebuah pekerjaan yang nggak menyenangkan. Predikat sebagai pemenang itu selalu menghadirkan ekspektasi yang terlalu berat dan nggak akan pernah bisa dipenuhi film apapun. Akibatnya, nggak jarang kita ngeluh “Lha kok cuman kayak gitu doang…?”, especially kalo yang menang adalah film-film “aneh” macam Ekskul!
Demikian pula yang terjadi pada novel. Saat membaca satu judul novel yang memenangi suatu sayembara, harapan kita untuk membaca suatu karya yang adiluhung pasti terlalu besar sehingga ujung-ujungnya kita pasti bakalan protes pada dewan juri. Kemungkinan lain, kita nggak mudeng pada novel itu karena terlalu absurd dan teatrikal sebagaimana lazimnya karya-karya sastra “haute couture” (eh, nulisnya udah bener belum ini…?).

Berdasar pengalaman waktu bingung ketika baca Saman-nya Ayu Utami, aku lantas nggak terlalu berharap pada Hubbu-nya Mashuri. Kebetulan sama-sama menang di Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (Saman 2001, Hubbu 2006), aku berpikir bahwa Hubbu pun pasti sejenis novel sastra yang terlalu nyastra sehingga dewan juri pusing dan memutuskan untuk memenangkannya karena takut disangka nggak mudeng sastra!
Hubbu (artinya cinta dalam bahasa Arab) berkisah soal perjalanan hidup dan batin Abdullah Sattar alias Jarot. Dibesarkan di tengah lingkungan santri, Jarot diharap bisa meneruskan kepemimpinan ponpes di kampungnya, Desa Alas Abang, setelah Mbah Adnan, kakeknya, meninggal. Sayang selepas SMA ia justru meneruskan kuliah di Surabaya meninggalkan desanya dan kekasihnya, Istiqomah.
Di Kota Pahlawan, hidup Jarot berubah total. Ia bertemu dengan orang-orang baru yang mengantarnya ke dunia baru. Ia dekat dengan Puteri yang promiscuous dan Agnes yang jatuh hati padanya tapi beda agama. Berbagai konflik, terutama pertentangan batinnya sebagai orang alim yang tersesat, akhirnya membuat Jarot limbung. Rasa bersalah menderanya dan mengharuskannya untuk pergi selama-lamanya dari Alas Abang. Seumur hidup Jarot tak pernah kembali lagi ke desanya, meninggalkan orang tua dan kerabat yang bertanya-tanya mengenai keberadaan dan keadaannya.
Yang paling awal membuatku lega adalah dugaanku keliru. Hubbu ternyata nggak sok nyastra. Bahasanya nyantai kayak Metropop, enak diikuti, dan nggak ditulis dengan spirit “sengaja dibikin seaneh mungkin biar dimasukkan ke genre sastra tinggi”. Memang gaya penulisan dan ambilan point of view-nya bergonta-ganti dan berwarna-warni, tapi secara keseluruhan Hubbu cukup mudah diikuti untuk ukuran sebuah novel pemenang sayembara tingkat nasional dengan Ahmad Tohari sebagai salah satu jurinya.
Dan di balik semua kesederhanaan itu tersembunyi banyak kekuatan yang menarik. Yang paling utama, “muatan lokal”-nya sangat terasa, baik dalam atmosfer cerita, narasi penuturan, maupun gaya dialog. Sangat Indonesia sekali. Hubbu harusnya dibaca oleh para novelis cewek jet set metropolitan yang menyusun kalimat dan dialog dengan gaya yang terlalu Hollywood dan kuyup dengan kalimat-kalimat yang seperti datang dari subtitle film komedi romantis besutan Nora Ephron atau Nancy Meyers.
Mashuri juga bisa ngasih detail untuk tiap hal yang disampaikannya. Ia tahu soal Nashara’yanshuru nasran, shorof dan ilmu nahwu, guru gatra dan guru wilangan, serta jenis-jenis mimpi dan tafsirnya berdasar kitab primbon Betaljemur Adammakna. Bagi yang kurang akrab dengan keislaman dan kejawen, semua yang diungkapkannya itu jelas adalah bahan pengetahuan baru yang menarik.
Membaca novel ini jadi mengingatkanku pada novel-novel cerita silat. Pengembaraan batin Jarot mirip yang dialami Upasara Wulung dari Senopati Pamungkas-nya Arswendo Atmowiloto atau Agung Sedayu dari Api di Bukit Menoreh-nya SH Mintardja. Satu kesalahan fatal dalam menyikapi pergolakan batin bisa berbuntut keputusan nekat yang dramatis, seperti pergi dari kampung halaman dan tak pernah lagi bertemu dengan sanak kerabat seumur hidup sampai mati.
Dan kapan kita terakhir kali menjumpai sebuah novel (ber-setting) modern yang bicara soal pencarian ilmu Sastra Gendra (atau Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu)? Bagi yang belum tahu, inilah puncak dari segala ilmu olah kebatinan (tasawuf) dalam dunia kejawen. Ilmu yang diajarkan oleh Syeh Siti Jenar, yang membawa kita ke tahapan manunggaling kawula-Gusti (baca bukunya Zoetmulder!).
Jarot adalah penganut mistik. Ia mempelajarinya dari Wak Tomo. Dan semua kekuatan mistiknya itulah yang membuat batinnya kerap bergejolak jadi jauh lebih sensitif dari orang-orang normal. Sayang di bagian belakang nggak dijelaskan apakah Dr Abdullah Sattar tua telah berhasil menguak rahasia Sastra Gendra itu apa belum. Dan kalau sudah, jadi sehebat (atau seaneh) apa dia kemudian.
Cerita ditutup pada tahun 2040, ketika Aida, anak perempuan almarhum Jarot, pulang ke Alas Abang untuk menengok desa kelahiran ayahnya. Saat itu semua misteri keanehan hidup Jarot terungkap. Dan terkuak pula rahasia besar apa yang diwariskan secara turun-temurun sejak dari Mbah Adnan ke Jarot dan kemudian ke Aida.
Akhirnya Hubbu menarik karena menjadi cerita berlatar belakang religi yang tidak memihak “kepentingan” salah satu agama tertentu, dalam hal ini tentu saja Islam. Warna ceritanya tidak disusun dengan spirit menegakkan norma dan syariah sehingga sesuatu menjadi halal atau haram, tapi semata mengalir mengikuti apapun realita yang mungkin terjadi.
Maka Jarot pun bisa melihat Puteri telanjang saat liburan weekend di Batu, Malang (meski ia tak tergoda). Ia pun bisa juga make love (di luar nikah tentu) dengan Agnes. Dan yang lebih aneh lagi, ia akhirnya menikah dengan Agnes yang pemeluk Katolik tanpa perlu menjadikannya mualaf terlebih dahulu.
Dengan semua kelebihan itu, wajar jika Hubbu menang di Sayembara Novel DKJ tahun lalu. Kalau ada kekurangan, Mashuri kurang berjiwa sci-fi dengan tidak memanfaatkan elemen futuristik apapun dari latar waktu tahun 2040 yang digunakannya. Tiga puluh tiga tahun lagi, Aida harusnya sudah menggunakan layar monitor hologram, naik kereta monorail ke Alas Abang, atau bicara dengan Jabir melalui video conference.
Coba ini dipakai, Hubbu akan sangat menarik dengan menjadi cerita religi sekaligus science-fiction. Akan lebih bagus lagi kalau mendadak ada pesawat antarbintang dari Alpha Centauri yang datang ke Alas Abang karena teleskop radio mereka mendengar kumandang suara azan magrib dan bacaan barzanji… hallah! Khayalannya terlalu aneh…

0 komentar:

Posting Komentar