Sedemikian terpengaruhnya aku pada serial-serial itu sehingga membuatku berusaha sekuat mungkin untuk membuat hari-hariku juga bernuansa mirip sebuah serial komedi setengah jam. Itulah sebabnya di lingkungan manapun aku biasanya dikenal sebagai orang yang lucu dan penuh humor.
Dan kadang-kadang, entah disadari atau nggak, lelucon-lelucon dan dialog-dialog yang kulontarkan pun sangat terpengaruh oleh pola dialog serial-serial itu. Salah satunya adalah pas awal-awal aku kenal dengan Martiana alias Nana ketika kami masih sama-sama jadi kru editor Tabloid Tren dulu.
Nana pada tahun 2001 masih ABG, cute, kecil, dan penuh jerawat. Saat itu dia masih suka terganggu oleh jerawat-jerawatnya dan oleh karenanya lantas mencoba memakai krim anti-acne. Suatu saat dia memintaku untuk mencari apakah jerawat-jerawatnya masih ada sesudah memakai krim itu.
Aku dengan serius mengamati mukanya dari dekat. Kulihat jerawatnya sih udah berkurang banyak, tapi bekas-bekas yang baru aja sembuh tetap masih menempel di seantero wajahnya. Dan sekilas dilihat, bekas-bekas itu masih mirip kayak jerawat yang masih hidup. Dengan nada serius dan tanpa ada intonasi melucu sedikitpun, aku menjawab,
“Kalau ini sih, yang harus dicari bukan jerawatnya, tapi mukanya ada di sebelah mana!”
Nana pun ketawa gondok nggak selesai-selesai.
Lalu suatu saat, aku mengajak Vie’s si penyair Batang dan penulis cerbung Mir & Red Devils itu ke rumahku di Pudakpayung. Saat itu udah lewat magrib dan dia mau ke kamar mandi untuk cuci muka. Perlu diketahui, lampu kamar mandiku sudah lama mati dan aku selalu saja malas untuk menggantinya.
Sebelum dia masuk kamar mandi, kepada Vie’s aku kasih peringatan, “Awas, lampunya mati, lho! Gelap banget di situ. Saking gelapnya kadang aku bahkan nggak bisa nemu mukaku sendiri!”
Dan jadi lebih lucu lagi karena Vie’s dengan polosnya menyahut, “Ya mana mungkin muka sendiri nggak bisa ketemu!?”
Itu masih belum termasuk dialog-dialog standar yang kerap muncul di berbagai film. Seperti kalau misalnya aku sebal pada satu teman yang selalu mengulang-ulang cerita yang sama, aku pasti akan nyeletuk, “Itu kalau setiap kali kamu nyeritain itu aku dibayar Rp 500, sekarang ini pasti aku sudah kaya raya sekali!”
Orang yang nggak pernah nonton film komedi pasti akan ketawa karena merasa menemukan lelucon jenis baru. Yang sama sekali nggak mudeng biasanya akan nanya, “Lha, kok bisa?” dan membuat situasinya jadi kian lucu lagi!
Seringkali, ketika aku bikin lelucon seperti itu, niatanku bukanlah untuk sengaja melucu, menceriakan suasana, atau apalagi untuk memikat cewek (yang ini jelas bohong!), tapi karena aku suka membayangkan bakal ada backsound suara penonton ketawa sesudah aku melontarkan lelucon-lelucon itu.
Tapi karena aku tetap saja manusia yang bisa bete, bisa patah hati, bisa sakit gigi, dan bisa sakit perut, kadang aku bisa juga off day dan jadi nggak lucu sama sekali. Filmnya pun mendadak berubah dari sitcom ke melodrama, action, atau bahkan thriller psikologi!
Lucunya, situasi-situasi demikian tetap saja mengandung unsur komedi karena kadang “publik” nggak bisa menerima ketidaklucuanku. Temanku si Chotrex dulu selalu nyeletuk spontan “Lha, kok nggak lucu?” tiap kali aku bicara lurus atau mengeluarkan komentar yang garing dan jayus.
Lha, emang aku pelawak bayaran apa!?
Dan terkadang, kejadian-kejadian dalam hidupku pun saling berhubungan dan berkaitan sedemikian rupa sehingga membentuk satu rangkaian komedi situasi yang sangat lucu dan langka, seperti kisah pertemuanku dengan seseorang yang kini sedang sangat spesial.
But that's another story, hehe…
Dikauw memang lucu, Dhimas. :D
BalasHapusIh jadi kangen pengen lucu2an bareng lagi.. nggasak'i Robin...
Eh, sehat2 kan si Robin?
robin sehat mbak. tp skrg tambah pinter, bisa melepaskan diri dari rantainya dan main keluar sampai berjam-jam. nanti kalo pas pulang pasti pasang wajah ngelih...
BalasHapus