scribo ergo sum

Sabtu, 04 Agustus 2007

Rumah di Desa

12:27 Posted by wiwien wintarto 3 comments

Aku bukan asli orang Semarang, tapi imigran dari Kabupaten Magelang. Tepatnya dari Dukuh Gedongan, Kelurahan Wanurejo, Kecamatan Borobudur. Itu desa ibuku. Letaknya kira-kira 4 kilo dari Candi Borobudur, salah satu candi termegah di dunia selain Angkor Wat di Kamboja.
Dulu pas masih kecil, aku dan orang rumah mudik Lebaran ke sana, ke rumah embahku. Rumahnya berarsitektur kuno, terbuat dari kayu. Kalau ada di sana hawanya pengin tiduuuur mulu. Maklum, hawa di Gedongan dingin banget. Dan kalau siang udah hujan gitu, wuahh… paling enak dipakai tidur siang sampai sore. Apalagi kalau siangnya makan kenyang pakai sayur lodeh, brongkos, rawon, atau gudeg.

Sekarang mudikku ke sana sudah nggak lagi ke rumah Embah yang kini ditempati salah satu pakdeku, melainkan ke rumah ortu. Sejak bapakku pensiun dari Suara Merdeka dan komik Pak Bei nggak lagi dimuat, ortu emang pindah ke sana. Mereka mendirikan rumah yang berlokasi di kaki bukit persis di bawah rumah Embah dulu. Letaknya persis di tepian sungai kecil yang membatasi Gedongan dengan Jowahan, desa sebelah, yaitu Kali Sileng.
Karena terletak di tepi sungai, aura teduhnya sungguh sangat terasa. Siang-malam hawa tetap sejuk (apalagi kalau pas musim hujan tiba), dan ditambah aura teduh dari sungai itu tadi. Kombinasi keduanya membuat rumah itu sangat nyaman untuk ditinggali, baik hanya untuk weekend Sabtu-Minggu maupun untuk berlama-lama kalau pas Lebaran tiba.
Suasana teduh itu berasal dari suara gemericik air kali yang nonstop nggak pernah berhenti 24 jam. Apalagi kalau pas malam tiba, suara air sungguh amat menenangkan dan membuat acara tidur berlangsung jauh lebih cepat dan nyaman. Aku j4adi ingat salah satu teknik relaksasi untuk tidur adalah dengan mendengarkan CD atau kaset yang berisi bunyi gemericik air. Di tempatku, bunyinya nggak lagi berupa reproduksi alias rekaman, tapi air sungguhan, yang kalau siang bisa dipakai mainan air atau bahkan berenang sungguhan.
Foto di atas diambil pas geng Kantin Banget Suara Merdeka mampir (plus mengantarku mudik!) sehabis “konser” di SMA YPPALB-B 23 Desember 2006 lalu. Bisa dilihat background-nya berupa kebun dan tanaman yang menghijau dan melambai. Di kejauhan sana terlihat jembatan yang merentang di atas Kali Sileng.
Dari kiri ke kanan tampak Sulistiyo Suparno, Dian Mumpuni, Mas Prio Santoso, Mas Heru Emka, dan my bokap. Pas kami sampai, hari sudah sore sekitar jam setengah empat dan hujan turun deras membuat temperatur turun ngedrop asyik sekali. Saat itu aku udah ongap-angop nggak tahan segera pules!
Dan kalau Anda lihat dengan teliti, di meja tampak kulit buah rambutan yang merah dan ranum-ranum. Yap, rainy days di Gedongan emang identik dengan musim buah rambutan ace dari kebun sendiri. Musim rambutan berlangsung antara November hingga Februari. Dan karena rambutan di tempatku dibiarkan tumbuh alami tanpa ada upaya untuk memperdagangkannya dengan dikasih pupuk segala macam, buahnya masih fresh natural dengan daging buah yang… asem ik, dadi pengin dhewe…!
Tempo hari aku nonton di Sisi Lain Trans TV ada acara wisata ndeso-ndesoan orang Jakarta ke Pasirmukti, Bogor. Salah satu paketnya adalah memetik buah rambutan sepohon seharga Rp 400 ribu. Aku ketawa geli dan syok lihat reportase itu. Setengah juta cuman buat (pura-pura) panen rambutan? Lha mbok maino ke ndesaku pas menjelang atau sesudah Tahun Baru. Kalian bisa bebas memetik rambutan dan bebas pula bawa pulang sebanyak yang kalian mau. Gratis—for free! Dan justru malah dianjurkan bawa banyak daripada buahnya matang di pohon dan nggak ada yang ngabisin saking banyaknya!
Oya, kabar terakhir menyebutkan, Gedongan dan terutama rumah ortu mau dijadiin proyek desa wisata sebagai “tanda mata” Gubernur Mardiyanto yang tahun depan turun tahta. Ntar rumah itu akan jadi obyek wisata, sanggar budaya, dan mungkin bakal dikasih fasilitas internasional komplet semacam wi-fi hotspot, homestay, atau traditional cafĂ© dengan menu-menu yang eksotik kayak kupat tahu, saoto (soto ala Magelang), atau mangut lele.
So, siapa mau ber-weekend ke ndesaku mumpung masih sepi, alami, dan belum jadi obyek turisme?

3 komentar:

  1. Iki urik tenan, kepala suku Kantin Banget kok gak kelihatan. Hehehe... Ping sewu jinah aku pengin ke sana lagi tapi selalu saja gak jadi. Why?

    BalasHapus
  2. ayooo..!! kapan neng ndesomu mas? aku wis pengen duren kii...

    BalasHapus
  3. to bmr: pancen disengojo, hehe... Ya ayo ke sana!

    to wie: kapanpun engkau siap aku akan membawamu ke sana. ning onone rambutan, dudu duren! nek duren onone nang wartel boing di ambarawa!!

    BalasHapus