Seperti biasa, EPL selalu menarik karena ada banyak sisi yang bisa diliput media. Sayang ingar bingar musim ini jadi jauh berbeda karena EPL nggak lagi ditayangkan di stasiun TV terrestrial (TV yang dipancarkan lewat gelombang UHF dan dapat diterima secara gratis). Di Indonesia, EPL hanya bisa ditonton lewat kanal ESPN dan STARSports yang mengudara lewat jaringan TV berlangganan Astro.
Sudah sejak kira-kira tiga bulan lalu aku mendengar isu bahwa hak siar EPL musim 2007/08 di sini akan dibeli Astro. Banyak yang marah-marah, karena berarti nggak bisa nonton Liga Inggris lagi tiap Sabtu malam, Minggu malam, serta Selasa dan Rabu dini hari. Kompetisi domestik Inggris yang masih bisa ditonton tinggal Community Shield, FA Cup, dan Piala Liga yang mungkin tetap disiarkan antv.
Aku sih nggak bermasalah dengan isu itu. Sejak musim lalu pun aku pasti nontonnya EPL di ESPN dan STARSports dan bukannya di TV7 (Trans7) karena liputan dan komentatornya lebih oke. Yang bikin aku sedih adalah, sekarang nggak ada lagi yang bisa diajak cerita-cerita dan diskusi soal Liga Inggris tiap kali habis terjadi pertandingan yang seru dan habis-habisan khas EPL.
Ini mirip dengan dulu pas Heroes belum masuk Indonesia secara bebas. Nggak ada siapapun yang bisa aku ajak diskusi soal kehebatan Tim Kring membesut Heroes karena yang nonton STARWorld juga cuman segelintir. Baru kini setelah Trans TV memutarnya mulai 6 Agustus lalu, teman-teman mulai bisa mengobrol gayeng soal Claire, Hiro, Petrelli, atau Sylar.
Lepasnya hak tayang EPL ke tangan TV berlangganan membuktikan dua hal. Satu, kenekatan Astro untuk meraih sebanyak mungkin pelanggan baru yang fanatik EPL sepertiku. Dan kedua, ketidakseriusan para pengelola kanal-kanal TV terrestrial dalam berkomitmen total untuk memberikan apa yang dimaui pemirsa. Sekali lagi, yang mereka pedulikan hanya rating (lewat sinetron) serta uang, uang, dan uang!
Aku nggak tahu persis bagaimana persisnya teknis persaingan kanal-kanal TV dalam membeli hak tayang suatu programa favorit. Mungkin kayak semacam lelang tender gitu. Yang bisa bayar paling mahal akan menang. Dan begitu mereka lihat jumlah tawaran Astro lebih tinggi, mereka semua langsung gulung tikar dan menyerah kalah tanpa perlawanan lagi.
Mestinya, kalau Trans7 (atau siapapun) punya daya juang untuk membahagiakan pemirsa, mereka akan all out untuk mati-matian melawan Astro hingga tetes duit penghabisan sampai menang. Tapi karena mereka nggak punya komitmen untuk memberi apa yang berharga bagi masyarakat, ya udah… angkat tangan. Daripada duit kobol-kobol untuk mengalahkan Astro, mending disimpan untuk membeli 1.000 judul lagi Hidayah, Hikayah, Intan, Soleha, atau Candy!
Momen ini juga menandai satu tahapan yang amat krusial dalam dunia pertelevisian Tanah Air, yaitu pembisnisan tayangan olah raga favorit. Mau nonton? Ya bayar! Saat ini orang nggak mau datang ke Jatidiri untuk nonton PSIS main karena bisa nonton gratisan lewat antv. Bagaimana jika kelak, untuk Superliga yang akan bergulir tahun depan, hak siar seluruh tayangan langsung pertandingan Liga Indonesia juga dibeli TV berlangganan?
Ini bukannya tidak mungkin. Kalo eksperimen Astro lewat EPL sukses, acara-acara sport favorit lain pasti satu demi satu akan dimasukkan ke TV berlangganan, TV kabel, atau mungkin pay-per-view (bayar tiap pertandingan—kalo nggak salah). Para pebisnis nggak akan terlalu hirau pada keluhan rakyat, karena nyatanya tayangan-tayangan itu memang bisa dijual dan menguntungkan.
EPL sendiri di Inggris sono ditayangin juga lewat TV kabel, yaitu SkySports. Kalau mau nonton seluruh pertandingan tanpa kecuali, ya harus bayar. Mungkin bisa milih paket seperti layanan Astro atau Indovision gitu. Kalau nggak mau bayar, ya harus puas dengan siaran-siaran pilihan yang ditayangkan BBC. Tapi jumlahnya jelas nggak seberapa, dan pasti nggak akan melibatkan big match tim-tim besar macam MU, Chelsea, Arsenal, dan Liverpool.
Di Amerika, siaran tinju dunia juga dipegang TV kabel. Intinya, pemirsa Indonesia sebenarnya selama ini dimanjakan karena bisa menyaksikan siaran olah raga cabang apapun secara gratis. Piala Dunia FIFA pun digratiskan. Dan kualitas tayangannya nggak beda sama sekali dengan tayangan yang oleh penonton di Amrik dan Eropa sana hanya bisa ditonton setelah bayar terlebih dahulu. Selama ini orang luar negeri iri berat melihat kemewahan kita nonton olah raga di TV.
Sebenernya sudah sejak lima tahunan lalu aku mendengar isu-isu semacam ini. Persis setelah Piala Dunia 2002 di Korea/Jepang berakhir, ada wacana yang menyebutkan bahwa itu merupakan event Piala Dunia terakhir yang masih bisa disaksikan gratisan di TV terrestrial. Sesudah itu, hak siar Piala Dunia mulai Germany 2006 akan dipegang TV kabel di negara manapun ia ditayangkan.
Untuk ramalan buruk itu nggak terbukti. Atau seenggaknya belum. Piala Dunia Jerman tahun lalu masih “diselamatkan” oleh SCTV meski juga dengan servis yang aneh, sampai-sampai merekrut anggota Cendana Dynasty untuk jadi host dadakan! Tapi untuk ke depan dan depannya lagi, terutama untuk Piala Dunia Afrika Selatan 2010 mendatang, bisa-bisa nasib kita udah nggak seberuntung tahun-tahun kemarin.
Sepakbola udah nggak akan jadi tontonan rakyat lagi jika udah nggak bisa lagi disaksikan secara cuma-cuma di televisi. Amat tak terbayangkan melihat kita harus menyewa antena parabola plus dekoder hanya untuk bisa nonton siaran langsung PSIS, kiprah timnas PSSI di Piala Asia, tim Piala Thomas, atau kontingen Indonesia di SEA Games.
So, meskipun saat ini aku masih bisa asyik nongkrong di krosi nonton Cristiano Ronaldo, Didier Drogba, Robin van Persie, dan Fernando Torres main, tetep saja aku harus bilang “Goodbye… EPL!”. You surely will be missed here…
0 komentar:
Posting Komentar