Beberapa hari yang lalu, di ESPN ada satu acara yang menarik dan amat nggak lazim, terutama bagi stasiun-stasiun TV Indonesia, yaitu spelling bee. Mereka menayangkan kompetisi spelling bee nasional Amerika yang diberi nama 2007 Scripps National Spelling Bee dan digelar di Washington, DC. Pesertanya adalah para pelajar SD dan SMP berumur antara 12 hingga 14 tahun yang datang dari Amerika dan juga Kanada.
Mereka maju satu-persatu menerima tugas mengeja satu kata yang diberikan dewan juri. Bila ejaan mereka benar, mereka lolos ke babak berikutnya. Kalau salah, tentu saja harus tersingkir dan masuk kotak. Dari 200-an peserta lebih yang mengikuti babak awal, hanya tinggal sekitar 15 speller yang bertahan hingga ke ronde 7 alias babak final.
Sudah sejak lama aku dengar soal spelling bee. Di Indonesia, biasanya kompetisi ini digelar oleh lembaga-lembaga pendidikan bahasa Inggris kayak EF, LIA, BBC, atau IEC. Spelling bee kupikir hanya kerjaan anak-anak kecil yang baru belajar membaca, yang mengasah keterampilan mereka membaca dengan mengeja huruf-huruf dalam tiap kata.
Ternyata spelling bee jauh lebih rumit dan menarik daripada itu. Dari apa yang tersaji di SNSB 07, ini lebih dari sekadar menghafalkan susunan huruf perkata, melainkan proses berpikir analisis yang sangat ilmiah dan kompleks. Para speller nggak menghafalkan kata demi kata macam aku dulu pas kelas V SD menghafal ngelotok bocoran soal dan jawaban cerdas cermat P4, melainkan mengenali susunan huruf lewat pengucapan, etimologi, dan definisinya.
Saat menerima satu kata yang harus dieja, seorang speller berhak menanyakan beberapa hal untuk mengidentifikasi kata itu. Mereka bertanya soal definisinya, contoh penggunaannya dalam kalimat, alternatif pronunciation, jenis kata (noun, adjective, verb, dll.), dan etimologinya (berasal dari bahasa mana). Mereka juga harus melafalkannya dengan benar dulu, baru boleh menebak.
Dari info-info itu speller akan bisa mengira-ira seperti apa susunan huruf yang ada. Tiap bahasa kan memiliki rumus pelafalan masing-masing. “J” dalam bahasa Inggris diucapkan “jay” biasa, tapi berbunyi jadi “H” di bahasa Spanyol. “LL” di Inggris dilafalkan “el”, tapi jadi mirip vokal “y” di Spanyol, begitu seterusnya. Dengan mengenali asal muasal suatu kata, apa bahasa Yunani, Latin, Arab, and so on, mereka akan mendapat petunjuk tentang susunan huruf yang membentuk suatu pelafalan tertentu.
Dengan cara begitu, proses berpikir tiap speller pun sama rumit dengan cara sel-sel kelabu otak Hercule Poirot dalam mengaitkan satu fakta dengan fakta lain sehingga bisa memunculkan satu dugaan final tentang identitas pembunuh dan cara pembunuhan itu berlangsung. Kadang dugaan mereka benar, tapi bisa juga meleset satu atau dua huruf karena kurang akurat dalam menyatukan potongan-potongan petunjuk itu tadi.
Kata-kata yang muncul pun sangat “liar”, karena bisa berasal dari bahasa apa aja. Ada “gurgrund” dari bahasa Jerman, “ptilopod” dari bahasa Yunani, dan “azotea” yang berawal dari bahasa Arab dan lantas diserap ke Spanyol. Karena itu, kadang mereka bingung ketika menghadapi kata dari bahasa Asia, seperti “umami” (dari bahasa India), yang ditulis persis seperti pengucapannya.
Ada dua hal yang menarik dari acara ini. Satu, dari sisi edukasi. Spelling bee menempa otak anak untuk kreatif, deduktif, dan terbiasa berpikir analitis secara ilmiah dan runtut untuk menyelesaikan tiap masalah. Bukan cara berpikir escapism yang asal dibanyakin berdoa demi berharap Tuhan akan memberikan keajaiban yang “CLINK!” tahu-tahu jatuh dari langit ketujuh!
Aku jadi mikir, apakah Indonesia juga punya kompetisi spelling bee nasional serupa? Karena kata yang dilontarkan berasal dari seluruh bahasa yang dikenal umat manusia, jelas spelling bee akhirnya nggak hanya monopoli para pengguna bahasa Inggris tok. Anak-anak Indonesia pun berhak untuk menikmatinya pula. Dan ini akan sama bermanfaat dengan olimpiade sains, aritmatika otak kanan, kumon, sudoku, atau game online!
Sedang bagi penonton, setiap kata yang muncul beserta origin, definisi, dan penggunaannya dalam kalimat sudah pasti akan jadi tambahan pengetahuan tersendiri, terutama bagi yang berprofesi sebagai penulis dan pengarang. Jelas itu akan menambah kaya kosa kata kita. Atau mungkin, satu kata yang asing dan aneh bisa jadi ide untuk dibikin cerpen atau novel!
Hal menarik kedua adalah unsur tayangan televisinya. Seperti kebiasaan orang Amrik, kompetisi yang semembosankan spelling bee pun bisa berubah jadi satu acara yang menarik dan mendebarkan. Dan lebih istimewa lagi karena tayangan SNSB 07 tetap nggak terasa boring meski durasinya makan waktu dua jam lebih karena mereka bisa mengemasnya dengan format yang memikat.
Ada komentator yang tak kalah responsif dan ekspresif dari para komentator NBA. Ada segmen berisi profil dari seorang speller superstar, yang digarap dengan skrip narasi yang indah, fragmen interviu yang menyentuh, dan gambar-gambar sebagus besutan Janusz Kaminski (itu tuh, director of photography langganan Steven Spielberg!). Dan ada pula wawancara eksklusif dengan seorang speller yang baru saja masuk kotak atau baru saja sukses bertahan ke babak berikutnya.
ESPN pun berhasil ngasih contoh satu alternatif tayangan baru yang belum pernah ada sebelumnya, khususnya bagi kita di Indonesia. Ini suri tauladan bagus buat pengelola TVE, bahwa satu materi edukasi yang formal dan kaku bisa dihadirkan ke layar kaca dengan cara yang menarik, dan nggak melulu cuman berisi ceramah kosongan disertai display garis-garis yang annoying atau fragmen dengan dialog dan akting yang aneh dan yang selalu saja bertema sama, yaitu “belajar kelompok”.
Sedang bagi stasiun TV yang terbiasa menayangkan sinetron berjudul nama orang, sinetron berisi ular animasi raksasa, atau sinetron remaja cemen… ah, sudahlah! Nggak ada gunanya ngomongin mereka. Mending nonton Heroes…
Mereka maju satu-persatu menerima tugas mengeja satu kata yang diberikan dewan juri. Bila ejaan mereka benar, mereka lolos ke babak berikutnya. Kalau salah, tentu saja harus tersingkir dan masuk kotak. Dari 200-an peserta lebih yang mengikuti babak awal, hanya tinggal sekitar 15 speller yang bertahan hingga ke ronde 7 alias babak final.
Sudah sejak lama aku dengar soal spelling bee. Di Indonesia, biasanya kompetisi ini digelar oleh lembaga-lembaga pendidikan bahasa Inggris kayak EF, LIA, BBC, atau IEC. Spelling bee kupikir hanya kerjaan anak-anak kecil yang baru belajar membaca, yang mengasah keterampilan mereka membaca dengan mengeja huruf-huruf dalam tiap kata.
Ternyata spelling bee jauh lebih rumit dan menarik daripada itu. Dari apa yang tersaji di SNSB 07, ini lebih dari sekadar menghafalkan susunan huruf perkata, melainkan proses berpikir analisis yang sangat ilmiah dan kompleks. Para speller nggak menghafalkan kata demi kata macam aku dulu pas kelas V SD menghafal ngelotok bocoran soal dan jawaban cerdas cermat P4, melainkan mengenali susunan huruf lewat pengucapan, etimologi, dan definisinya.
Saat menerima satu kata yang harus dieja, seorang speller berhak menanyakan beberapa hal untuk mengidentifikasi kata itu. Mereka bertanya soal definisinya, contoh penggunaannya dalam kalimat, alternatif pronunciation, jenis kata (noun, adjective, verb, dll.), dan etimologinya (berasal dari bahasa mana). Mereka juga harus melafalkannya dengan benar dulu, baru boleh menebak.
Dari info-info itu speller akan bisa mengira-ira seperti apa susunan huruf yang ada. Tiap bahasa kan memiliki rumus pelafalan masing-masing. “J” dalam bahasa Inggris diucapkan “jay” biasa, tapi berbunyi jadi “H” di bahasa Spanyol. “LL” di Inggris dilafalkan “el”, tapi jadi mirip vokal “y” di Spanyol, begitu seterusnya. Dengan mengenali asal muasal suatu kata, apa bahasa Yunani, Latin, Arab, and so on, mereka akan mendapat petunjuk tentang susunan huruf yang membentuk suatu pelafalan tertentu.
Dengan cara begitu, proses berpikir tiap speller pun sama rumit dengan cara sel-sel kelabu otak Hercule Poirot dalam mengaitkan satu fakta dengan fakta lain sehingga bisa memunculkan satu dugaan final tentang identitas pembunuh dan cara pembunuhan itu berlangsung. Kadang dugaan mereka benar, tapi bisa juga meleset satu atau dua huruf karena kurang akurat dalam menyatukan potongan-potongan petunjuk itu tadi.
Kata-kata yang muncul pun sangat “liar”, karena bisa berasal dari bahasa apa aja. Ada “gurgrund” dari bahasa Jerman, “ptilopod” dari bahasa Yunani, dan “azotea” yang berawal dari bahasa Arab dan lantas diserap ke Spanyol. Karena itu, kadang mereka bingung ketika menghadapi kata dari bahasa Asia, seperti “umami” (dari bahasa India), yang ditulis persis seperti pengucapannya.
Ada dua hal yang menarik dari acara ini. Satu, dari sisi edukasi. Spelling bee menempa otak anak untuk kreatif, deduktif, dan terbiasa berpikir analitis secara ilmiah dan runtut untuk menyelesaikan tiap masalah. Bukan cara berpikir escapism yang asal dibanyakin berdoa demi berharap Tuhan akan memberikan keajaiban yang “CLINK!” tahu-tahu jatuh dari langit ketujuh!
Aku jadi mikir, apakah Indonesia juga punya kompetisi spelling bee nasional serupa? Karena kata yang dilontarkan berasal dari seluruh bahasa yang dikenal umat manusia, jelas spelling bee akhirnya nggak hanya monopoli para pengguna bahasa Inggris tok. Anak-anak Indonesia pun berhak untuk menikmatinya pula. Dan ini akan sama bermanfaat dengan olimpiade sains, aritmatika otak kanan, kumon, sudoku, atau game online!
Sedang bagi penonton, setiap kata yang muncul beserta origin, definisi, dan penggunaannya dalam kalimat sudah pasti akan jadi tambahan pengetahuan tersendiri, terutama bagi yang berprofesi sebagai penulis dan pengarang. Jelas itu akan menambah kaya kosa kata kita. Atau mungkin, satu kata yang asing dan aneh bisa jadi ide untuk dibikin cerpen atau novel!
Hal menarik kedua adalah unsur tayangan televisinya. Seperti kebiasaan orang Amrik, kompetisi yang semembosankan spelling bee pun bisa berubah jadi satu acara yang menarik dan mendebarkan. Dan lebih istimewa lagi karena tayangan SNSB 07 tetap nggak terasa boring meski durasinya makan waktu dua jam lebih karena mereka bisa mengemasnya dengan format yang memikat.
Ada komentator yang tak kalah responsif dan ekspresif dari para komentator NBA. Ada segmen berisi profil dari seorang speller superstar, yang digarap dengan skrip narasi yang indah, fragmen interviu yang menyentuh, dan gambar-gambar sebagus besutan Janusz Kaminski (itu tuh, director of photography langganan Steven Spielberg!). Dan ada pula wawancara eksklusif dengan seorang speller yang baru saja masuk kotak atau baru saja sukses bertahan ke babak berikutnya.
ESPN pun berhasil ngasih contoh satu alternatif tayangan baru yang belum pernah ada sebelumnya, khususnya bagi kita di Indonesia. Ini suri tauladan bagus buat pengelola TVE, bahwa satu materi edukasi yang formal dan kaku bisa dihadirkan ke layar kaca dengan cara yang menarik, dan nggak melulu cuman berisi ceramah kosongan disertai display garis-garis yang annoying atau fragmen dengan dialog dan akting yang aneh dan yang selalu saja bertema sama, yaitu “belajar kelompok”.
Sedang bagi stasiun TV yang terbiasa menayangkan sinetron berjudul nama orang, sinetron berisi ular animasi raksasa, atau sinetron remaja cemen… ah, sudahlah! Nggak ada gunanya ngomongin mereka. Mending nonton Heroes…
setelah nonton Akeelah and The Bee sama Bee Season.. ternyata tiap tahun lhoo Scripps' Spelling Bee competition ditayangkan di ESPN. Gila ya..
BalasHapusMumet... aku ndak mudheng....
BalasHapusNatip spiker-ku dulu wong Texas, makanya logatku saiki koyo Clint Eastwood...
Payah tenan... :D
waa...aku jadi inget akeelah..pelm bagus..ternyata beneran ada yak the bee ituh..hehehe
BalasHapus*katrok
q suka banget dgn film akeeLah and the bee... memacu smngat Q utk lebih giat belajar
BalasHapusteman2 apa ada yang tau jual buku tentang spelling bee atau buku bahasa inggris yang di dalam nya ada materi tentang spelling bee? kalau bisa untuk anak smp.
BalasHapus