Nggak tahu kenapa, aku nggak pernah suka sama Arsenal. Aku selalu mangkel saat mereka sukses, contohnya saat mereka juara musim 2003/04 tanpa satu kalipun terkalahkan dalam 38 pertandingan. Dan aku selalu senang tiap kali melihat mereka terseok-seok kayak di musim 2006/07 tempo hari.
Tapi sebagaimana atmosfer kompetisi yang terjadi di dalam Liga Premier sendiri, perseteruan abadi pasti diselipi juga dengan penghormatan yang tinggi pula pada unsur-unsur “musuh” yang emang pantas dihormati. Salah satunya adalah pada diri orang-orang seperti Thierry Henry.
Biarpun Henry selalu jadi momok besar buat MU, Chelsea, dan Everton, tapi dia memanglah seorang tokoh besar yang pantas dihormati setinggi langit. Ibarat pendekar silat, Henry malang melintang tanpa tandingan selama delapan tahun kariernya yang luar biasa mengkilap bareng The Gunners. Tak banyak yang seperti dia di kolong langit ini. Bukan hanya karena kemampuannya mencetak gol atau kapasitas kepemimpinannya di lapangan, tapi juga karena pengabdiannya yang begitu panjang dan lama pada satu klub.
Karena itu ketika akhir pekan lalu Henry resmi pindah ke Barcelona, aku terhenyak dan nggak langsung bisa percaya begitu aja. Yang terjadi rasanya kayak bukan kejadian nyata, tapi mirip “transfer virtual” saat aku main Football Manager 2007 tempat aku bisa merekrut Henry, Shevchenko, Messi, Kaka, atau Drogba ke West Ham atau Charlton Athletic!
Masalahnya selama ini Henry udah telanjur identik dengan kaos Arsenal dan nomor 14-nya. Perpindahan itu sama mengejutkannya dengan ketika Beckham cabut dari MU ke Real Madrid empat tahun lalu. Habis ini pasti aku juga nggak akan percaya kalau misalnya Ryan Giggs pindah ke Newcastle, Paolo Maldini pindah ke Bolton, atau Raul direkrut Inter Milan, misalnya.
Dan sebagaimana fans Arsenal yang meratap, aku juga bertanya-tanya, bisa apa The Gunners tanpa King Henry? Memang mereka masih punya Robin Van Persie dan Emanuelle Adebayor di lini depan. Mereka juga bisa membeli penyerang manapun yang mereka mau, tak terkecuali Bambang Pamungkas atau Budi Sudarsono sekalipun, tapi apa itu langsung bisa menutup kekosongan leadership, kharisma, dan aura positif yang ditinggalkan Henry?
Aku sih nggak akan pernah keberatan kalau habis ini The Gunners terseok-seok nyungsep dan jadi klub medioker macam Middlesbrough atau Blackburn. Tapi akan tetap aneh menyaksikan duel MU vs Arsenal pada masa depan yang tak lagi diembel-embeli label Big Match dan menimbulkan aroma perseteruan yang sengit dan penuh emosi.
Au revoir, Henry! Premier League will never be the same without you…
Tapi sebagaimana atmosfer kompetisi yang terjadi di dalam Liga Premier sendiri, perseteruan abadi pasti diselipi juga dengan penghormatan yang tinggi pula pada unsur-unsur “musuh” yang emang pantas dihormati. Salah satunya adalah pada diri orang-orang seperti Thierry Henry.
Biarpun Henry selalu jadi momok besar buat MU, Chelsea, dan Everton, tapi dia memanglah seorang tokoh besar yang pantas dihormati setinggi langit. Ibarat pendekar silat, Henry malang melintang tanpa tandingan selama delapan tahun kariernya yang luar biasa mengkilap bareng The Gunners. Tak banyak yang seperti dia di kolong langit ini. Bukan hanya karena kemampuannya mencetak gol atau kapasitas kepemimpinannya di lapangan, tapi juga karena pengabdiannya yang begitu panjang dan lama pada satu klub.
Karena itu ketika akhir pekan lalu Henry resmi pindah ke Barcelona, aku terhenyak dan nggak langsung bisa percaya begitu aja. Yang terjadi rasanya kayak bukan kejadian nyata, tapi mirip “transfer virtual” saat aku main Football Manager 2007 tempat aku bisa merekrut Henry, Shevchenko, Messi, Kaka, atau Drogba ke West Ham atau Charlton Athletic!
Masalahnya selama ini Henry udah telanjur identik dengan kaos Arsenal dan nomor 14-nya. Perpindahan itu sama mengejutkannya dengan ketika Beckham cabut dari MU ke Real Madrid empat tahun lalu. Habis ini pasti aku juga nggak akan percaya kalau misalnya Ryan Giggs pindah ke Newcastle, Paolo Maldini pindah ke Bolton, atau Raul direkrut Inter Milan, misalnya.
Dan sebagaimana fans Arsenal yang meratap, aku juga bertanya-tanya, bisa apa The Gunners tanpa King Henry? Memang mereka masih punya Robin Van Persie dan Emanuelle Adebayor di lini depan. Mereka juga bisa membeli penyerang manapun yang mereka mau, tak terkecuali Bambang Pamungkas atau Budi Sudarsono sekalipun, tapi apa itu langsung bisa menutup kekosongan leadership, kharisma, dan aura positif yang ditinggalkan Henry?
Aku sih nggak akan pernah keberatan kalau habis ini The Gunners terseok-seok nyungsep dan jadi klub medioker macam Middlesbrough atau Blackburn. Tapi akan tetap aneh menyaksikan duel MU vs Arsenal pada masa depan yang tak lagi diembel-embeli label Big Match dan menimbulkan aroma perseteruan yang sengit dan penuh emosi.
Au revoir, Henry! Premier League will never be the same without you…
Mula to mula, bal-balan ki sing penting gol n prosese. Yg main siapa aja, kalau gak pake gol, ya males. Hidup goooolllll!
BalasHapusbetul sam...
BalasHapusbisa jadi arsenal malah identik dengan henry :D
sedih juga sih dengan kepergiannya, soale aku yo fans the gunner je :p
yen menurutku, luwih becik om arsene wenger di ganti sampean wae
ben arsenal ora usah bal-balan
tapi dadi ahli jurnalistik kuabeh...
kekekek...