Pengarang: Georgius Han
Penerbit: GagasMedia, Jakarta
Tebal: 321 halaman
Genre: Drama/thriller/mystery/adventure/fantasy
Cetakan: Ke-1 (2006)
My Grade: B-
Sejak kesuksesan hebat novel The Da Vinci Code karya Dan Brown, dunia dilanda wabah novel-novel thriller misteri, terutama yang bersangkutan dengan sejarah, mitos, dan agama. Yang bagus, novelis-novelis dalam negeri pun sudah mulai berani bermain di teritori serupa dan tak lagi terpaku di genre roman percintaan. Setelah ada Negara Kelima-nya ES Ito, kini menyusul naik adalah The Brother, karangan novelis asal Semarang, Georgius Han.
Sebagaimana thriller-thriller sejawatnya, The Brother juga mengandung unsur petualangan, riset pustaka, pemecahan teka-teki, artefak kuno, fakta kontroversial dalam agama, sekte-sekte rahasia, dan tokoh ajaib. Satu hal yang hilang (atau sengaja dihilangkan) adalah kisah cinta antara tokoh utama cowok dengan tokoh utama cewek kayak Langdon dan Neveu dalam TDVC atau Timur dan Eva dalam Negara Kelima.
The Brother berkisah tentang petualangan seorang pastor muda alumnus SMA Kolese Loyola, Semarang, dan Seminari Mertoyudan, Magelang, bernama Valiano Ovadya Christan. Ia harus mencegah kiamat dunia sebagaimana yang telah diramalkan dalam rahasia ketiga yang diungkap Bunda Maria kepada Suster Lucia dos Santos dalam penampakan bersejarah di Portugal antara Mei-Oktober 1917.
Val kemudian bahkan mendapat sobekan kitab Injil Hitam langsung dari Bunda Maria sendiri saat sedang bersantai di bukit Jangli. Injil Hitam sendiri adalah gospel yang ditulis oleh pengkhianat Yudas Iskariot (Gospel of Judas) yang salah satu bagiannya bertutur tentang seorang tokoh misterius yang menjuluki dirinya sendiri Anak Manusia.
Berbekal Injil Hitam itu, Val bertolak ke Vatikan untuk langsung menjumpai Sri Paus. Tak dinyana, begitu ia sampai di Roma, bencana-bencana dahsyat pertanda kiamat sebagaimana yang diungkap dalam tujuh cawan yang dituliskan Suster Lucia terjadi. Val pun harus berjuang keras mencegah kiamat terjadi jauh lebih cepat dari yang diramalkan dengan cara menemukan Anak Manusia yang dimaksudkan dalam Injil Hitam.
Separuh akhir bagian buku berkisah tentang petualangan seru Val dan rekan-rekannya menerabas hutan belantara pulau terisolir Didibri yang terletak di lepas pantai Suriname. Mereka harus mencari Pastor Lazarus, tokoh berjuluk Anak Manusia dalam Injil Hitam yang dikisahkan terkena kutuk sehingga hidup abadi selama 1.900 tahun lebih!
Melihat keseluruhan jalinan cerita dan pengadeganannya, nampak jelas Georgius yang juga lulusan SMA Kolese Loyola ini baru saja membaca TDVC serta menonton The Day After Tomorrow, Allan Quatermain and the Lost City of God, The Highlander, The Reaping, dan trilogi The Lord of the Rings. Ada adegan pemecahan teka-teki, petualangan di hutan perawan, pertemuan dengan suku-suku primitif, bencana-bencana dahsyat (yang pasti oke kalo difilmkan!), pencarian seorang tokoh misterius legendaris, serta pertarungan dengan makhluk-makhluk bersayap dari neraka.
Yang jelas, The Brother menarik karena membawa kita ke tempat-tempat yang tak terduga. Setelah dibuka dengan adegan pertarungan di Yerusalem pada abad ke-1 Masehi, kita dibawa ke Desa Kapencar di Wonosobo tahun 1981, ke Semarang tahun 1997, ke Syria dan Roma tahun 2010, dan akhirnya ke Didibri.
Georgius juga patut dipuji karena mampu membongkar banyak fakta alternatif dari agamanya, Nasrani, dengan berpijak pada momen penampakan Bunda Maria di Portugal 90 tahun lalu yang emang merupakan fakta sejarah. Ia juga memungkasi kisahnya dengan fakta yang lebih kontroversial lagi, yaitu pemerkosaan bergilir yang dilakukan dua orang pastor terhadap seorang gadis.
Terus terang ini tantangan besar yang harus dijawab para pengarang dari agama-agama lain. Mampukah pengarang-pengarang muslim berkisah tentang, misalnya, kiai cabul yang melakukan pelecehan seksual terhadap murid-murid mengajinya dan betul-betul sanggup memisahkan antara kebanggaan religiusitas dengan jagat fantasi dan imajinasi?
Satu lagi kelebihan The Brother adalah kemasannya yang umum sehingga tak lantas membuatnya menjadi bacaan “rohani” yang hanya layak dibaca oleh “suatu kalangan tertentu”. Apapun materi ayat-ayat yang tersaji di dalamnya, The Brother tetap saja sebuah novel fiksi yang enak dibaca orang Nasrani, Islam, Hindu, Buddha, Tri Dharma, atau Pangestu sekalipun.
Hanya saja, jika Georgius adalah seorang striker tim sepakbola, he’ll need to work on his shooting. Doi belum teliti memainkan tempo cerita. Separuh akhir buku yang berisi rangkaian adegan laga dan “special effects” spektakuler sangat menyita perhatian tapi sekaligus melelahkan karena berlangsung nonstop tanpa pembaca mendapat kesempatan untuk cooling down.
Selain itu dialog-dialog percakapan bahasa Jawa pada fragmen di Wonosobo menjadi melelahkan juga untuk dibaca karena dialog Jawa dan terjemahan Bahasa Indonesia-nya diletakkan dalam tanda kutip yang sama, sehingga seolah-olah semua tokoh berbicara dua kali.
Ejaan bahasa Jawa yang dipakai Georgius pun kerap meleset seperti kata “punopo” (mengapa) yang seharusnya ditulis “punapa”, “sadar” yang seharusnya “sadhar” (bunyi “d” keras dalam bahasa Jawa ditulis dengan “dh”), serta “sedoyo” (semua) yang seharusnya ditulis “sedaya”. Biarpun begitu, kreativitasnya untuk menyajikan percakapan bahasa Jawa logat krama (bukan “kromo”) inggil ala kethoprakan (bukan “ketoprakan”) itu tetap patut diacungi jempol karena sangat menyegarkan.
Satu lagi fakta yang agak mengganggu adalah homogenitas karakter-karakternya dalam fragmen-fragmen di Indonesia (Wonosobo dan Semarang). Semua tokoh di bagian itu beragama sama, dalam hal ini Nasrani. Bahkan tokoh yang bernama Abdul Rochman di Kapencar pun ternyata tetap saja pergi ke gereja (mungkin doi mantan muslim yang baru aja convert!).
Bukannya nggak masuk akal, tapi elemen ini membuat lingkup ceritanya jadi seperti terlalu dipaksakan. Di negara kita, kecuali saat berada di pondok pesantren, seminari, atau vihara, amat sulit menjumpai satu lingkungan besar masyarakat yang semuanya memeluk agama sama. Bahkan di negara kita yang mayoritas muslim pun, semua lingkup, mulai RT, RW, sekolah, kuliah, hingga lingkungan tempat kerja, biasanya akan tersusun atas individu-individu dari beberapa jenis agama sekaligus.
Tapi di luar itu semua, Georgius Han tetap berhasil memberi warna segar dunia literatur pop Tanah Air. Dan buatku pribadi sebagai sesama orang Semarang, amat menyenangkan melihat tempat-tempat di Kota Atlas such as Jangli, Pringgading, Banjir Kanal, Jl Basudewa (bukan Basudewo!), atau Kapuran-Karanganyar tampil gamblang di dalam cerita novel.
Pokoke bravo novelis-novelis Kota Loenpia! Sapa lagi mau nyusul, nih!?
Halo mas Wintarto, terima kasih banyak untuk reviewnya. Bagus sekali. Saya senang juga nih direview sesama penulis dari Semarang
BalasHapusTapi kalo boleh saya sedikit menjawab beberapa hal yang diungkapkan;
-the brother memang tidak bercerita tentang cinta antara dua kekasih tetapi lebih pada kecintaan pada orangtua, seperti Lazarus yang ingin kembali bertemu dengan Maria dan Yusuf dan dua iblis yang ingin membebaskan Lucifer, ayah mereka, dari neraka
- ada satu film yang benar telah menginspirasi saya yaitu the Highlander. Film lain yaitu Matrix, Star Wars, Indiana Jones, Armageddon dan Hero. Film Allan Quatermain dan Reaping malah belum pernah liat. There's Something About Mary juga salah satu favorit saya mas
- Eh kalo boleh mengoreksi nih, pemerkosaan itu tidak dilakukan oleh pastor lho. Coba mas Wiwien baca lagi bab 6 (terakhir). Hayo bacanya nggak teliti ya...
- he he he ketahuan nih gak bisa bahasa Jawa. Iya memang aku kurang bisa dan minta seorang guru bahasa jawa untuk terjemahin teks indonesia yang aku tulis, tak taunya banyak yang salah ya?
- Mas, Abdul Rochman tidak pernah aku sebut orang Kristiani lho. Dia datang ke rumah keluarga Chandra yang baru saja pulang dari gereja. Jadi yang dari gereja itu Linda dan orangtuanya, bukan Abdul Rochman.
Anyway, thanks a lot for the wonderful review. I really appreciate it
G-Han
hanzchristan@yahoo.co.id
kok aku gak nemu bukunya ya mas???
BalasHapussik...sik...nyari lagi