Pengarang: Erich Segal
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 596 halaman
Alih Bahasa: Kathleen SW
Cetakan: Ke-1 (November 1996)
Genre: Drama
My Grade: C-
Kadang-kadang sesuatu yang berlebih dan menyenangkan justru bisa menjadi kelemahan yang amat mengganggu. Seperti itu juga yang terjadi pada novel Prizes (diterjemahkan jadi Hadiah Nobel) karangan Erich Segal. Hasrat bertebal-tebal-ria justru jadi bumerang karena sebenernya novel ini nggak memuat cukup banyak material yang harus dipaparkan setebal itu. 596 halaman, bayangin!
Kisahnya sendiri adalah soal kehidupan tiga orang ilmuwan jenius, yaitu pakar kedokteran Adam Coopersmith, jenius fisika berusia muda Isabel Da Costa, dan ahli rekayasa genetika Sandy Raven. Mereka berjuang untuk memperoleh Piala Oscar-nya dunia iptek, yaitu Hadiah Nobel.
Adam mulai meroket setelah penelitiannya berhasil menyembuhkan Thomas Hartnell, penasihat Presiden AS yang memiliki kekuasaan jauh lebih luas daripada sang presiden sendiri. Ia kemudian bahkan menikahi Antonia, putri Thomas. Sayang setelah memiliki seorang anak, mereka bercerai karena Adam selingkuh dengan Anya, koleganya dari Rusia.
Sementara itu, Isabel sudah jadi ilmuwan sejak ABG. Maklum, ia jenius. Ia jadi mahasiswa saat umurnya baru 12 tahun, dan memperoleh Nobel saat baru berumur 23 tahun. Isabel harus menghadapi kehidupan yang sulit karena ayah dan ibunya bercerai gara-gara ayahnya terlalu ambisius mengorbitkannya. Belakangan ia harus menghadapi kenyataan bahwa Raymond, ayah yang ambisius itu, sama sekali bukan ayah kandungnya!
Di pihak lain, Sandy tumbuh jadi nerd yang memiliki kecerdasan luar biasa tapi nol dalam skill bersosialisasi. Ia terbiasa ditolak cewek, terutama oleh pujaan hatinya sejak kecil, Rochelle Taubman, yang bisa memasuki Hollywood berkat ayah Sandy, Sidney, yang bekerja sebagai produser. Peluang Sandy merebut Nobel tahun 1983 musnah setelah hasil karyanya dicuri Greg Morgenstern, dosen pembimbing yang juga mertuanya sendiri.
Secara umum, Hadiah Nobel sebenarnya amat bagus. Novel ini menyorot sebuah dunia yang selama ini teramat jauh dari jangkauan pemikiran orang awam, yaitu lika-liku kehidupan para ilmuwan peraih Hadiah Nobel. Sayang novel ini melelahkan untuk dibaca karena ceritanya seharusnya nggak sampai sepanjang itu.
Ketika disodori kisah tiga ilmuwan yang berupaya meraih Nobel, kita akan membayangkan bahwa mereka terlibat intrik persaingan yang kotor dan tercela dalam memperoleh anugerah prestisius itu. Salah satunya adalah protagonis yang jujur dan penuh dedikasi, sedang dua lainnya adalah antagonis yang rela menghalalkan segala cara.
Sayang bukan itu yang tersaji. Hadiah Nobel ternyata hanya berisi “biografi” singkat Adam, Isabel, dan Sandy dalam semesta mereka sendiri-sendiri yang nyaris sama sekali terpisah. Adam sejak ia berusia 28 tahun saat menyembuhkan Thomas hingga saat kematiannya pada usia 44 tahun karena Alzheimer, Isabel sejak lahir hingga saat menerima Nobel, dan Sandy sejak SMA sampai umur 40-an ketika ia menjadi luar biasa kaya raya dan masuk daftar orang-orang terkaya di dunia.
Dengan cara begitu, nggak heran novel ini jadi sedemikian tebal. Isinya aja biografi. Dan nggak hanya satu orang tokoh, melainkan tiga sekaligus yang masing-masing dibahas dengan superdetail tanpa ampun. Makin melelahkan lagi karena sebenarnya nggak ada yang istimewa dengan kehidupan Adam, Isabel, dan Sandy sehingga perlu dipaparkan segamblang dan seluas itu.
Adam cuman terlibat love-marriage-affair-divorce biasa kayak tipikal orang Amerika pada umumnya. Isabel hanya menjalani rutinitas abnormalnya sebagai jenius usia muda. Sedang Sandy juga cuman seumur hidup terobsesi oleh cinta masa kecilnya yang kelak akan menjadi model majalah Playboy. Dengan cerita yang tak terlalu bombastis seperti itu, tak ada perlunya pula Erich Segal sampai perlu bercerita sampai sedemikian panjang dan lama soal kehidupan ketiganya.
Selain itu, karena nyaris tak ada interaksi dan intrik apapun antara mereka, kemunculan ketiganya sekaligus sebagai tokoh utama pun jadi nggak urgen sama sekali. Menceritakan satu aja udah cukup menarik, kenapa harus sampai tiga jika bukan hanya untuk sekadar mengejar ketebalan jumlah halaman?
Mereka baru berhubungan di halaman 412, ketika Adam dan Anya berniat mengajak kerjasama Sandy yang jadi sampul majalah Time. Berikutnya, ayah angkat Isabel, Edmundo, menjalani terapi gen di bawah bimbingan Dmitri Avilov, mantan suami Anya. Isabel sendiri belakangan menjadi dosen pembimbing bagi Olivia, putri Sandy, yang kuliah di MIT.
Sayang interaksi dan saling keterkaitan ketiga tokoh ini datang amat terlambat karena Segal dalam 400 halaman pertama malah sibuk bertele-tele mendongengkan setiap inci persegi kehidupan mereka tanpa ada perlunya sama sekali. Padahal yang paling menarik jelas adalah drama interaksi itu, entah dalam konteks persaingan sengit entah itu justru mereka saling bersaudara dan saling membantu satu sama lain hingga mereka memperoleh Nobel.
Novel ini emang terjebak dalam semangat novel sastra pop kontemporer Amerika yang “menghalalkan segala cara” asal bisa terbit dalam kemasan di atas 400 halaman biar tampak menonjol saat dipajang di toko buku. Dan terbukti strategi ini emang sukses. Zaman sekarang nggak ada lagi novel-novel laris Amrik yang tipis. Semua top markotop tuebel sekali, rata-rata pasti 500-600an halaman, kecuali bikinannya Mitch Albom.
Kalau ditulis pengarang Indonesia, yakin deh Hadiah Nobel pasti udah selesai dalam 150-200an halaman karena pengarang kita nggak pernah punya kebiasaan bertele-tele kayak Segal, Sheldon, Sandra Brown, atau Nora Roberts. Kalau sebuah novel jadi luar biasa panjang dan tebal kayak novel-novelnya Arswendo Atmowiloto (Senopati Pamungkas) atau Remy Sylado (Sam Poo Kong), biasanya ceritanya emang sepanjang itu, bukan karena Wendo dan Remy malah sibuk membeberkan seluruh detail biografi semua tokohnya tanpa urgensi jelas.
0 komentar:
Posting Komentar