scribo ergo sum

Senin, 12 Februari 2007

Deja vu: Wartawan Pageblug

11:36 Posted by wiwien wintarto 4 comments

Aku sebenernya udah sejak lama pengin nulis ini, terutama sejak momen penutupan Tabloid Remaja Tren dan pembentukan Majalah Olga! setahun lalu, soalnya kejadian itu betul-betul déjà vu dari apa yang pernah kualami persis satu dekade silam. Sayang nggak pernah sempat dan baru sekarang ada waktu.
Ceritanya begini. Alkisah… (haiyah! Koyo crito Lebai Malang ae…!) antara bulan Maret sampai Oktober 1997, aku bekerja sebagai editor di Tabloid SKM (Surat Kabar Mingguan) Dharma. Media ini dipimpin oleh pengusaha Semarang H Sudirman Umar. Kantornya waktu itu di Jl Surtikanti Raya, Semarang, nggak jauh dari Pasar Surtikanti.

Di situ aku menjadi editor nasional dan hiburan. Tugasku adalah mengedit berita-berita kiriman para koresponden di Jakarta, Surabaya, Bangka-Belitung, dan Lampung. Aku juga menerima kiriman daftar acara film-film dan sinetron dari TPI plus membikin artikel soal musik dan film persis seperti yang kukerjakan di Tren dan di SM Edisi Minggu sekarang ini.
Di Dharma aku bekerja setim dengan teman-teman sesama mahasiswa STIK (Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi) Semarang. Waktu itu ada M Hudallah, Supriyadi, Nurul Afif, adikku sendiri Edi Warsito alias Itok, Hendri Rudyarto, dan Parwito. Saat barengan masuk Dharma, kami semua masih tercatat sebagai mahasiswa alias kerja sebenernya untuk sambilan kuliah. Kru lainnya waktu itu adalah Mas Nor Rochim, Mas Udin, Fatah Muria, Agung Waluyo, Narti, Susilawati, dan beberapa member lain yang, sayang, aku udah lupa (sorry, long term memory loss, hehe…!).
Meski saat itu materi tulisannya pas-pasan dan duit juga seret, tapi sebenernya Dharma bisa dikembangkan asal memperoleh suntikan dana dan support manajemen kelas satu. Ketertarikan media nasional untuk ngajak join pun ada. Menjelang pertengahan tahun, Republika pengin bekerja sama. Ketika itu kami bahkan udah beberapa kali layout dan cetak dengan mesin punya Republika sehingga tampilan dan foto-fotonya jadi lebih mewah.
Konsorsium (wah, bahasane sok ngganteng!) lain yang kemudian positif menggandeng Dharma adalah perusahaan media punya salah seorang pengusaha Jakarta, sebut saja namanya Pak Kramer. Doi pengin nerbitin media sendiri, tapi nggak telaten minta SIUPP yang, selain mahal, birokrasinya juga mBulet bertele-tele.
Akhirnya ia “meminjam” saja nama Dharma sehingga nggak perlu minta SIUPP baru. Kantor pusat New Dharma seolah-olah tetap di Semarang, padahal seluruh proses produksi dikerjakan di Jakarta. Seluruh kru Redaksi, Marketing/Iklan, dan Sirkulasi Semarang rencananya akan diajak boyongan ke Jakarta untuk digabungkan dengan kru baru hasil rekrutmen di sana.
Tentu saja formatnya harus berubah, nggak bisa lagi hanya sekadar tabloid berita umum seperti saat itu. Sebagai owner, Pak Kramer ngasih beberapa opsi: jadi tabloid remaja, tabloid wanita, tabloid keluarga, atau tabloid anak-anak. Setelah dirembug, kru Semarang sepakat kami akan jadi tabloid remaja.
Dan, percaya atau nggak, gagasanku soal Dharma sebagai tabloid remaja ketika itu adalah 100% mirip dengan isi Tabloid Tren—yaitu media remaja yang bersifat lokal, membumi, nggak melulu “terobsesi” seleb, serta banyak mewadahi karya-karya pembaca terutama cerpen, cerbung, puisi, dan esai lepas. (Maka di belakang hari ketika SM nerbitin Tren sebagai suplemen dengan tagline “Dari Kamu Untuk Kamu” tahun 2000, aku sontak bilang “Nah, ini dia!!” mirip judul sinetron saru itu…!)
Sayang proposal kami ditolak Pak Kramer. Dia lantas memfatwakan bahwa Dharma nantinya akan pakai nama Gita Dharma, dan akan menjadi tabloid anak-anak wanita. Kontroversi seketika merebak di benak kami. Seriously! Media anak-anak wanita? Dapat wangsit ajaib dari gunung mana itu? Emang penting ya bagi bocah under-12 untuk membedakan media pilihan berdasar gender? Lantas apa yang nanti akan kita tulis? Tips milih lipstik bagi balita? Artikel soal tas Prada khusus untuk anak-anak SD? Children and high heels?
Tapi tentu saja sebagai bawahan kami hanya bisa manut (meski sambil ngedumel dan ngrasani!). Nah, suatu ketika Pak Kramer mengunjungi kantor Surtikanti untuk bertemu dengan kami dan melihat proses kerja kami. Juga untuk sekaligus menanyakan kesiapan kami sebagai anak-anak muda untuk dengan seketika langsung bedhol desa ke Jakarta.
Saat itu yang kebetulan ditanyai Pak Kramer adalah Supri yang bertindak sebagai layouter. Jawaban Supri adalah “Wah, pikir-pikir dulu, Pak!” sebab masa depan dia masih belum menentu. Lulus aja belum. Sialnya, jawaban itu ternyata dipakai Pak Kramer untuk menggeneralisasikan kondisi seluruh kru Semarang. Kami dianggap nggak siap dan nggak mampu. Akibatnya, kantor Semarang pun dilikuidasi dan kami semua batal direkrut ke Jakarta. Gita Dharma berjalan dengan sepenuhnya disokong orang-orang baru tanpa keterlibatan sama sekali kru (especially Redaksi) Semarang.
Sampai hari ini, Pak Dirman dan yang lain masih tetap menyalahkan jawaban Supri itu sebagai biang kerok batalnya kami ikut pindah ke Jakarta. Tapi menurutku, tanpa jawaban itu pun, Pak Kramer emang nggak ada rencana untuk memakai kami. Sebabnya sepele: I know that look! Di matanya, kru Semarang adalah orang ndeso, kumuh, melarat, nggak gelamor, dan nggak metropolis, sehingga pasti nggak akan sanggup untuk mengelola sebuah media kelas menengah ke atas kayak Gita Dharma!
Bulan Oktober 1997, aku dan yang lain-lainnya resmi keluar (dikeluarkan) dari Dharma. Tabloid Gita Dharma pun terbit baru di Jakarta, dan untuk sesaat sempat jadi sponsor acara Panggung Gembira Anak-anak di Indosiar. Namun tak sampai akhir 1998, nasibnya udah nggak ketahuan lagi.Of course, siapa yang mau beli tabloid anak-anak berdasar gender kalo Bobo, Ananda, dan yang lain-lainnya udah lebih dulu ada dan udah kadung jadi lebih bagus?
Salah satu yang membuat momen likuidasi Tren ke Olga! jadi begitu “bermakna” adalah karena kisahnya bener-bener mirip banget dengan likuidasi Dharma ke Gita Dharma. Bahkan nasibku pun sama persis: dianggap nggak mampu hanya karena potonganku dan latar belakang ekonomiku, bukan karena kemampuan, pengetahuan, pengalaman, dan skill menulisku.
Aku jadi mikir, jangan-jangan aku emang membawa pageblug (bencana), ya? Media manapun yang kumasuki, pasti akan dilikuidasi untuk diganti dengan media lain yang dianggap jauh lebih keren, cool, dan wah. Karena itu mending CNN atau BBC nggak usah merekrut aku lah! Kasihan, ntar bisa aja CNN ditutup oleh alien dari planet lain yang berkebudayaan lebih tinggi dan diganti dengan media lain yang menurut mereka lebih berbobot, sedang seluruh kru termasuk aku dikeluarkan dengan alasan “tidak cukup berbudaya”!

4 komentar:

  1. huahahahaa.... yang saya ingat di Dharma cuma saat jatah makan siang tiba. Seingatku jawaban Supri nggak pernah disalahkan teman-teman, yang nyalahin cuma pak Dirman. Dan akhirnya Supripun akhirnya juga harus ke jakarta, tapi untungnya lebih baik andai saat itu brangkat ke Jakarta untuk ngaboti Dharma yang nggak jelas. Hehehe....

    BalasHapus
  2. bener. aku juga nggak nyalahin supri. emang pak dirman tok yang ngundhat2. terakhir ketemu pas ono resepsi dia juga masih ngundhat2 itu ke supri.
    yg paling kuingat dari dharma waktu itu adalah waktu si redpel konangan pas arep ngambil buku dari perwil :)

    BalasHapus
  3. hai bung.. gua lagi surving di google, ngetes apa di seact enggine masuk nama fatah muria.lha kok kaget.. namaku disebut-sebut webblog seseorang.. ternyata konco dewe.. weleh..weleh... nostalgia dharma... ha..a.. supri.. supri.. tapi bagus juga bagi dia.. lha wong ternyata setelah dari Dharma dia moncer di jawa pos.. hanya nasibmu saja bung Wiwien.. rodo apes..he..he.. huda kadang apes.. tapi sering mujur nasibnya..

    salam,


    Ova

    BalasHapus
  4. Dharma memang memberikan banyak pengetahuan. Tanpa bermaksud maido, tapi pengalaman waktu itu membuatku tahu persis bagaimana proses menjadi seorang wartawan bodrek. Gaji nggak jelas, kalo pas ada ya ngapret...pret....
    Tapi setidaknya apa yang terjadi di Dharma masih bisa diterima akal sehat. Maklum media kecil yang hidupnya sudah senen-kemis.
    Yang lebih nggilani lagi, ketika kemudian mencoba media-media besar. Pranyata tetep wae berpotensi mendidik seorang wartawan bodrek.... Lha gimana, honor tetap ngapret....
    Pekerjaan yang konon disebut sebagai profesi, dan menjadi bagian dari pilar keempat, tiap bulan ternyata hanya menerima upah yang terpaut Rp 50.000 dari seorang buruh bagian packing di sebuah pabrik kacang di Pati yang klasifikasinya hanya lulusan SMA.
    Ketika pernah mempersoalkan angka paceklik ini ke jajaran atasan, jawabannya ternyata nggak mutu: "Temen-temen di lapangan itu kan sudah dapat sabetan dari luar" MasyaAllah, jawaban sampeyan itu kalau diterjemahkan bisa berbunyi: "Lha kalian kan bisa mbodrek di luar" Kacau deh.....
    Ketika kemudian kuputuskan untuk say gutbai dan hijrah ke media kelas nasional, angkanya memang lebih besar, tapi itung-itungannya membuat take home pay-nya sami mawon.
    Lhadalah....jadi ya wajar jika kemudian istilah wartawan bodrek itu kemudian lestari dan bahkan tumbuh subur di negeri tercinta ini. Bahkan kemudian, meminjam istilah dunia farmasi, sekarang ini ada dua jenis bodrek, yaitu Bodrek On The Counter atau bodrek yang cetho welo-welo emang bodrek dan Bodrek Ethical, inggih punika bodrek yang lebih halus cara kerjanya namun lebih ampuh karena menyandang bendera besar.
    Hehehe…. Mangga tinggal pilih mau yang OTC yang bisa dibeli di warung-warung, atau yang Ethical yang harus pakek resep...
    Tapi lagi-lagi bodreknya sebenarnya nggak salah kok... yang kakekane itu kan perusahaannya yang nggak menghargai profesi jurnalis babar blas...!!!!!

    BalasHapus