scribo ergo sum

Kamis, 08 Februari 2007

The Magic of Seinfeld

11:46 Posted by wiwien wintarto No comments
Biasanya, kita menonton serial TV untuk menikmati ceritanya yang memikat, bintang-bintangnya yang enak dipandang, temanya yang bombastis, akting para pemainnya yang oke, atau pesan-pesan moralnya yang penting dan mendidik. Tapi terkadang ada juga serial yang sukses besar meski nggak membahas apapun sama sekali, contohnya adalah Seinfeld.
Serial ini aslinya main di NBC antara 1989 sampai 1998 selama 10 season, dan sekarang aku menontonnya saat disiarkan rerun di STAR World tiap Senin-Jumat pukul 22.00. Sekitar 10 tahun lalu, Seinfeld pernah juga muncul di Indosiar, tapi cuman sebentar. Pasti karena rating rendah. Bukan karena orang kita nggak suka, tapi tayangnya aja pukul 2 siang. Siapa yang niat nonton TV jam-jam segitu sebelum ada Wisata Kuliner?

Tadinya aku nggak begitu mudeng apa yang membuat Seinfeld begitu sukses di Amerika. Baru setelah nonton tiap hari sambil baca referensinya di Wikipedia, IMDb, dan TV.Com, aku tahu apa rahasia di balik kesuksesan itu. Diciptakan oleh Larry David dan Jerry Seinfeld sendiri, serial ini ngetop karena mengusung konsep baru yang mereka namai “the show about nothing”.
Yap, Seinfeld bener-bener nggak membahas apapun—seenggaknya hal-hal yang penting. Cerita dalam Seinfeld adalah cerita keseharian semua orang. Nggak ada cerita yang besar, heboh, menakjubkan, berliku-liku macam opera sabun, atau absolutely makes no sense kayak sinetron-sinetron kita. Kisah di dalamnya adalah soal kelaparan saat nunggu meja kosong di resto, antre tiket di bioskop, bingung nyari tempat parkir, atau kebingungan nyari mobil di tempat parkiran mal.
Karena itu ceritanya jadi lucu justru karena keremehtemehannya, sebab kita bisa langsung membandingkannya dengan hidup kita sendiri. Contohnya saat George (Jason Alexander) kenalan dengan pengacara cantik bernama Cheryl (Maggie Han). George yang neurotik dan gampang emosi senang sekali karena Cheryl menganggapnya lucu.
Masalah muncul ketika Cheryl berkenalan dengan Jerry (Jerry Seinfeld) yang seorang pelawak. Khawatir Jerry akan ndagel sehingga ia tiba-tiba jadi nggak lucu lagi, George melarang keras Jerry untuk melucu di depan Cheryl. Akibatnya, Jerry pun berlagak menjadi orang serius, gelap, depresi, dan “terganggu” saat sedang mengobrol di hadapan Cheryl.
Kelucuan yang lebih lucu daripada dagelan Jerry muncul saat dia berakting jadi orang serba kelam itu. Ia mengeluhkan dan memprotes semua hal. Lucunya, Cheryl justru terpikat oleh sisi kelam Jerry. Dan waktu George tahu, mendadak sontak ia bilang pada Cheryl sebenarnya dialah yang lebih terganggu dari Jerry. Dia sama sekali nggak lucu. Dia sangat depresi. Dan dialah yang paling terganggu dari deretan orang-orang terganggu di seluruh dunia! Dia bilang, “Nobody is sicker than me!”
Kisah lucu lain terjadi saat Jerry dan George kelabakan karena mereka disangka pasangan gay oleh Sharon (Paula Marshall), seorang reporter koran kampus. Di depan Sharon, George membuktikan bahwa dirinya straight dengan berteriak penuh emosi, “Aku bisa bercinta denganmu! Mau bercinta denganku? Oke, ayo, kita bercinta sekarang juga! Saat ini, di sini!!”.
Urusan jadi makin aneh karena, setelah berita soal sangkaan gay itu muncul di koran, George menggunakannya sebagai alasan untuk putus dengan Allison (Kari Coleman) pacarnya yang sekarang. Sayang Allison nggak percaya George gay. Untuk membuktikannya, George mengajak Allison untuk menanyakannya langsung ke Jerry, “pacar” George.
Pada saat itu Jerry sebenernya udah berhasil membuktikan bahwa dia hetero, dan di rumah lagi making out dengan Sharon. Pas mereka lagi asyik bercumbu, tahu-tahu George dan Allison masuk. George berpura-pura terkejut dan meneriaki Jerry, “Apa-apaan kamu? Baru kutinggal sebentar aja kamu udah bersama dengan seorang wanita!?”
Sharon yang kebingungan pun minggat sambil menggumam, “This is too weird for me!”, sedang Jerry yang mendongkol langsung menyemprot George, “Dasar guoblok! Tolol! Aku udah hampir jadian dengan cewek itu tadi!”. George pun terbengong dan nggak tahu musti bilang apa, baik ke Jerry maupun ke Allison.
Humor-humor sepele seperti itulah yang bikin Seinfeld sukses. Intinya, kita sebenernya bikin sebuah cerita yang memikat tanpa harus sedikitpun bersinggungan dengan ide-ide besar. Yang terpenting adalah gimana cara mengemasnya agar orang bisa langsung nemu refleksi dirinya sendiri di situ. Masih ingat apa yang membuat Lupus, Si Doel Anak Sekolahan, dan Bajaj Bajuri sukses?
Di sini—khususnya di dunia sinetron—tidak seperti itu yang terjadi. Semua tetap harus membawa gagasan-gagasan (yang dianggap) bombastis. Sineas kelas pasaran membawa ibu tiri jahat, ABG jet set, orang-orang dzolim yang mati tersambar petir dan jenazahnya dikerubungi belatung, atau tokoh konyol kayak Ncep atau Udin Pe’ak. Sedang sineas kelas “avant garde” mengusung demo buruh pabrik, masyarakat miskin kumuh, atau anak-anak jalanan untuk mengungkap “potret realitas sosial” dan sekaligus memberikan “tontonan sekaligus tuntunan”.
Padahal tontonan yang sehat adalah yang memungkinkan kita untuk menemukan keseharian kita juga. Di situ kita bisa bercermin dan lantas memperbaiki diri. Saat Seinfeld membuat kita ketawa, saat itu sebenernya kita sedang menertawakan diri kita sendiri. Hebatnya, Larry dan Jerry melakukannya tanpa harus membuat Seinfeld menjadi sebuah komedi satir dengan dialog yang (dibikin) cerdas dan bernas plus rajin ngritik sana-sini…

0 komentar:

Posting Komentar