scribo ergo sum

Selasa, 16 Januari 2007

No Workshop No Cry

12:20 Posted by wiwien wintarto 1 comment

Pertengahan Desember 2006 lalu, temanku Rana Wijaya Soemadi menawariku untuk ikut worshop penulisan skenario TV dengan pembicara salah seorang sineas top Ibukota—kalau nggak salah Sentot Sahid. Workshop berlangsung pertengahan Januari ini selama tiga hari, dengan kontribusi sebanyak Rp 250 ribu perjiwa.
Aku nggak ikut bukan hanya karena soal duitnya tok (duit segitu enaknya buat mbayar tagihan Astro aja!), tapi juga karena aku udah nggak punya keyakinan lagi pada semua workshop-workshopan yang berkaitan dengan skenario itu, especially yang buat TV. Selama ini aku bahkan menganggap event kayak gitu cuman tipu-tipu doang, soalnya bukti output-nya nggak pernah nampak ke permukaan.

Sejak aku menjadi pemerhati semua tetek bengek urusan film dan TV, entah sudah berapa kali diadain event berbau intelektual kayak gitu. Lakon dan pembicaranya pun bergonta-ganti, mulai Garin Nugroho, Aris Nugraha, Sentot Sahid, Deddy Mizwar, Rako Prijanto, sampai generasi sineas “MTV” kayak Hanung Bramantyo, Rudy Soedjarwo, atau Nia DiNata.
Apa hasilnya? Nothing. Enol guede. Dari segi kualitas penulisan, baik film maupun sinetron nggak ada kemajuan sama sekali. Di sinetron bahkan lebih parah. Cerita yang ngaco belo, dialog yang mentah dan pas-pasan, serta tema yang garing, semua masih terus dipelihara. Belakangan ini bahkan lebih parah. Sinetron-sinetron kita cuman niru sinetron luar negeri, entah dari Amerika, Jepang, Korea, atau Taiwan.
Workshop demi workshop digeber sampai mulut berbuih-buih, tetep aja kualitas yang tersaji jalan di tempat, bahkan cenderung mundur. Lalu apa gunanya semua workshop itu? Emang beneran “pembibitan penulis skenario pemula” kayak yang tertulis di kolom Tujuan di proposalnya pas nyari sponsor, atau hanya sekadar gegayaan para sineas untuk membuat kesan bahwa dunianya adalah suatu “profesi pilihan yang sukar dan tidak semua orang bisa memasukinya”?
Masalahnya, di dunianya para sineas sendiri udah kadung terjadi rantai mafia yang terlalu kompleks dan njelimet. Gara-gara sistem kejar tayang yang dipakai, para produser dan sutradara nggak berani ambil risiko dengan mempekerjakan penulis baru. Mereka akhirnya balik juga ke lingkaran teman-teman mereka sendiri yang sudah terbiasa dengan ritme kerja “satu episode dalam empat jam”.
Naskah-naskah keluaran para penulis anyar jebolan semua workshop itu pun hanya mentok di laci meja kerja Sentot, Aris, Garin, atau Rako doang. Emang terbawa sampai ke Jakarta, baik diusung lewat tas, koper, flash disk, atau harddisk laptop, tapi ya udah cuman nyampai tok.
Baik Sentot, Aris, maupun Garin dan Rako cs hari Senin-nya udah akan sibuk lagi dikejar jadwal tayang mereka sendiri dan nggak punya waktu lagi untuk mikirin semua naskah baru itu. Pertama, ritme kerja mereka belum bisa diandalin. Dan kedua, ide-ide cerita mereka yang aneh (dan saat penutupan workshop dibilang “ide teman-teman bener-bener kreatif dan luar biasa!”) nggak bakalan laku baik di mata produser pemilik PH maupun manajer stasiun TV yang tetep lebih suka ama cerita model Hidayah-like, Jaka Tingkir-like, atau ibutirijahat-like!
Akhirnya, sekali lagi, untuk apa semua workshop itu digelar? Buat apa kami para penulis daerah merogoh kocek mendengarkan blah-blah-blah propaganda dan teori-teori “rumit” soal dramaturgi, karakterisai, plot, etc-etc dari para seleb Jakarta jika sistem “jenjang karier” dunia kepenulisan skenario nggak berjalan sebagaimana seharusnya?
Kalau aku pemain bola yunior dan suatu saat Ponaryo Astaman atau Benny Dollo ngadain workshop atau semacam coaching clinic, aku pasti mau ikutan karena sistemnya lebih jalan di bola daripada di sinema. Hasil workshop akan meningkatkan kemampuan dan skill-ku, lalu mungkin permainanku akan dipantau talent scout tim-tim besar yang bisa membawaku ke Persija, PSIS, Persebaya, atau mungkin bahkan timnas yunior.
Di sinema, khususnya sinetron, sistemnya nggak demikian. Para penulis daerah paling banter cuman bisa ikut workshop itu tok. Dan naskah buatan mereka pun paling banter juga cuman sampai DKI Jakarta tok. Lalu, tetap aja Si Dedy, Si Tessa, dan Si Johnny yang pada tinggal di Kemang, Tebet, atau Rawamangun itulah yang bersibuk-sibuk-ria mengerjakan semua skenario pesanan para produser teman-teman mereka.
Maka, mungkin ke depan udah nggak perlu lagi digelar Workshop Penulisan Skenario, tapi Workshop Cara Termudah Hijrah ke Jakarta dan Menjadi Teman-teman Shanker RS, Leo Sutanto, Dimas Djay, atau Richard Buntario!
Susahnya lagi, semua event workshop itu udah dijadiin semacam alat legitimasi para sineas untuk membuktikan bahwa dunia kerja mereka emang elit dan punya tingkat kesulitan tinggi. Lalu di workshop, mereka pun bersembunyi di balik aneka macam teori sinematografi, teori penulisan, dan teknik-teknik yang dikasih istilah-istilah rumit plus kutipan definisi-definisi dari Truffaut dan konco-konconya guna memperkuat legitimasi itu.
Dan amat jauh membandingkan dunia mereka dengan dunia penulisan jurnalistik dan novel yang selama ini kugeluti. Di tiap event workshop or training tempat aku jadi pembicara, tiap kali ditanya resep untuk jadi wartawan atau cara untuk jadi novelis, jawabanku (dan jawaban beberapa teman lain) nggak pernah lebih rumit daripada “berlatihlah nulis tiap hari dan jangan pernah bosan untuk membaca”.
Teori dan teknik-teknik intelek emang ada, tapi aku nggak mau melewati itu semua hanya untuk memberi kesan bahwa keterampilan ini elit dan sulit. Cukup satu kalimat pendek itu tadi dan biarkan mereka semua berkembang dengan kekhasan masing-masing, karena aku yakin, seperti dalam cerita silat, tiap individu harus menjalani petualangan ilmu masing-masing secara unik dan nggak terkungkung dalam aturan “peta” atau “rute” aneka macam teori.
So, segala jenis workshop skenario itu pun cuman sekadar jadi kegiatan para pelajar, mahasiswa, dan komunitas pencinta film. Dunia sinema yang sesungguhnya di Jakarta sana tetep aja bergeliat-geliat sendiri tanpa ada kepentingan dan kaitan sedikitpun dengan semua aktivitas intelektual itu.

1 komentar: