Jika kita pelototi foto ganjil di atas, terlihatlah para member Ucok yang terdiri atas dari ki-ka: Sam (cousin; anak pakdeku), Itok (my 2nd bro), Esty (my sister), Gotri vs Inggit, me, dan Bayu (kakaknya Sam). Personel yang nggak bisa datang adalah Wawan (cousin juga; sekarang lagi ikut berlayar keliling Indonesia) dan Didik (my nephew; tapi umurnya hampir sama).
Di antara orang-orang yang ada di foto, yang sudah ber-merit-ria selain Gotri adalah Itok dan Bayu. Sedang Sam, Esty, dan aku masih belum ada hasrat untuk “masuk penjara seumur hidup” (itu istilah mereka-mereka sendiri yang sudah pada nikah, lho…!). Tapi masuk penjara atau bukan, hanya pada momen pernikahan seperti ini lah kami masih bisa ketemu dan bernostalgia zaman kami masih sering ngumpul dulu.
Kami emang unik. Orang bikin geng biasanya dengan teman sekolah, teman kuliah, atau teman seminat (sama-sama hobi filateli, komunitas VW, blogger, pengguna Friendster dan Multiply, etc.), tapi ini dengan sodara-sodara sepupu dan ponakan. Ada namanya lagi. Aku nggak tahu dari mana dulu nama Ucok muncul. Yang jelas nggak ada kaitannya dengan kebudayaan Batak. Kalau aku sih biasa memakai itu sebagai singkatan dari Unidentified Children with Original Kraziness, karena dulu pas masih ABG, kelakuan kami amat sangat kacau dan aneh.
Ucok berdiri pada tanggal 8 Februari 1987 (tuh, sampai ada dies natalis-nya segala!) pada hari khitanannya Sam. Waktu itu aku masih kelas III SMP. Jadi tahun depan, kami akan tepat berumur dua dekade. Jelas bukan rentang waktu yang singkat. Banyak yang terjadi selama 20 tahun ini.
Salah satu pengalaman yang paling aneh terjadi saat Bayu sakit flu parah pada tahun 1989. Waktu itu dia masih tinggal di Jangli, Semarang. Pada suatu sore, kami berniat mengantarnya periksa ke Dokter Sultana yang berpraktik di Jl Dr Wahidin, dekat dengan Jangli. Yang ikut adalah Wawan, Itok, Gotri, dan aku.
Lucunya, karena saat itu yang punya mobil dan yang bisa nyetir baru Bayu seorang, maka si pasien sendirilah yang harus bertugas sebagai driver. Maka sambil memakai jaket berlapis-lapis dan dengan tampang kusut khas orang lagi sakit parah, dia pun menyupir mobil sementara kami asyik bercanda. Pemandangan yang tersaji jadinya amat aneh. Siapa mengantar siapa kalau situasinya kayak gitu!
Setahun sebelum itu, tepatnya 1988, kami kumpul dalam rangka Lebaran di Magelang. Kira-kira H-2 atau H-3, kami pergi ke pemandian air hangat Candi Umbul yang berlokasi di sekitar Kecamatan Grabag. Karena Candi Umbul adalah pemandian dan bukan kolam renang, maka kami yakin acara mandi-mandi nggak akan mengganggu puasa, karena toh kami cuman mandi, bukannya mau balapan renang.
Tapi niat baik tetaplah tinggal niat baik. Yang terjadi bener-bener sebaliknya. Begitu nyemplung ke air, Candi Umbul jadi kolam renang! Kami berenang kian-kemari, adu fisik saling menenggelamkan, dan mainan air ciprat-cipratan seru buanget. Akibatnya, air pun mubal (mubal ki boso Indonesiane apa ya?) karena dasar kolam masih dibiarkan alami berupa tanah berkerikil dan belum dilapis semen atau porselin.
Maka kolam tahu-tahu jadi luar biasa keruh karena semua material di dalamnya naik semua. Tanah liat, kerikil, kotoran, dan bahkan cacing-cacing bermunculan satu-persatu ke permukaan. Orang-orang pun ngeri mau ikut mandi, dan membatalkan niat masing-masing. Sedang kami terus saja mainan air dan (mungkin) tanpa sengaja menelan aneka macem kotoran dan cacing-cacing itu tadi (huueeekkh…!!).
Tapi pengalaman paling aneh dan seru terjadi pada tanggal 12 Mei 1991. Waktu itu Mbak Sri, kakaknya Wawan, menikah. Resepsi diadakan di Gedung Swadaya yang terletak sekitar 300 meteran dari rumah mereka di Tuguran, Magelang. Kami ditugasi mengangkuti aneka macam perbekalan dari rumah ke gedung memakai van Carry-nya keluarga Bayu. Dan pekerjaan sebagai biro ekspedisi berlangsung nonstop mulai Sabtu pagi tanggal 11 sampai Minggu dini hari tanggal 12.
Kerjaan baru selesai pada sekitar pukul 2 pagi hari Minggu. Depresi dan kecapekan luar biasa, kami pun mulai bikin kelakuan aneh-aneh dalam perjalanan pulang dari gedung ke rumah. Awalnya Bayu menyupir sambil tiduran di jok, lalu ada yang mengeluarkan anggota badan dan duduk di jendela, habis itu semua pintu (jumlahnya total kan ada 4) dibuka lebar-lebar selagi mobil melaju di jalan raya yang sudah luar biasa sepi.
Tahu sama sekali nggak ada yang lewat di jalan pada jam 2 dini hari, kelakuan kami makin aneh. Persneling dimasukkan ke gigi satu, dan mobil berjalan dengan kekuatan sendiri tanpa perlu digas lagi. Semua lampu di dalam dinyalakan terang benderang, dan semua penumpang turun untuk berlari jogging di kanan-kiri dan depan-belakang mobil selagi mobil merayap dengan semua lampu menyala dan semua pintu terbuka lebar-lebar!
Maka bayangkan sendiri betapa aneh dan ganjilnya pemandangan yang tercipta saat itu. Pas kami melewati kompleks Secaba di dekat rumah, seorang tentara melongo heran melihat kelakuan kami. Aku nggak kaget kalau dia menyangka kami adalah dedemit penunggu Tuguran yang sedang keluyuran cari mangsa!
Kini, 20 tahun kemudian, Ucok masih tetap sama gila seperti dulu seperti yang nampak di foto. Sayang semua udah pada tersebar di berbagai tempat. Gotri, Bayu, dan Didik di Jakarta; Wawan di Surabaya; dan sisanya bertebaran di sekitar Semarang-Magelang-Jogja, jadi kami juga udah nggak bisa sesering dulu kumpul atau bahkan hanya sekadar ketemu.
Meski begitu, the bond is always there. Ada hal-hal yang nggak bisa dipisahkan oleh jarak atau waktu, and one of them is us…
Weleeehhh seru yaa keluarga bisa deket gitu.
BalasHapusKalo aku kok malah kikuk ya kl sama sodara2..
iya. kita emang agak weird...
BalasHapus