Rubrik remajanya sendiri ada dua halaman, yaitu di hal 20 dan 21. Isinya puisi, artikel pop, kuis, konsultasi psikologi, surat dari seberang, dan juga cerbung (kebetulan yang saat ini lagi dimuat adalah cerbungku yang berjudul Wayang Cinta). Nah, materi yang paling menarik dari dua halaman itu adalah Kantin Banget.
Ini merupakan rubrik komunikasi bebas untuk pembaca. Bentuknya mirip surat pembaca tapi formatnya jauh lebih lepas, karena di situ pembaca boleh bikin surat dalam bentuk apapun, untuk siapapun, dan dengan topik apapun. Mereka bisa ngasih saran, usul, dan kritik buat redaksi; bisa kirim-kiriman salam; bisa nembak gebetan; bisa ngajak reuni teman lama; dan bisa pula nyari sobat masa lalu yang hilang.
Selain memfasilitasi hasrat berkirim salam para reader, “penunggu” kedua halaman itu yang beridentitas sebagai Mas Budi Maryono atau biasa dikenal dengan codename Om Daktur, juga membuka kegiatan offprint berupa KBTa itu tadi. KBTa menerima request dari sekolah-sekolah yang ingin disatroni para personel Kantin Banget guna ngadain acara pelatihan jurnalistik, workshop kepenulisan, atau sekadar makan duren bareng (!).
Kayak band, KBTa punya manajer. Namanya Mas Prio Santosa. Dialah yang menampung semua request itu (biasanya liwat telepon, tapi ada juga yang ngirim surat resmi plus proposal), dan lantas menentukan tanggal-tanggal serta lokasi tujuan keberangkatan tim KBTa. Kalau pas nggak ikut turun bertanding, Mas Prio akan memandu via telepon dari kantor redaksi SM menuju lokasi sekolah tujuan kalau kami kesasar (dan biasanya memang selalu iya!).
Tim yang pergi sebenarnya cuman terdiri atas dua orang tok, yaitu Om Daktur sendiri dan pembicara utama yang dihadirkan. Narasumber bergonta-ganti tergantung topik apa yang lagi di-“talking about”-kan.
Kalau pas talking about how to ngirim cerpen, maka yang diajak adalah cerpenis jago macam Sulistiyo Suparno dari Batang. Pas talking about hunting berita, maka yang dijadiin lakon adalah wartawan paten kayak Unik Dian Mumpuni (Tabloid Cempaka Minggu Ini). Giliran talking about how to write novel, yang disodorin adalah novelis seperti Anita (Bravo! Jins Belel, Au Revoir Jins Belel!) atau aku sendiri.
Tapi pada perkembangannya, banyak mantan napi, eh… narasumber yang akhirnya keterusan ngikut terus buat rame-rame di jalan. Unik ikut di setiap ekspedisi karena dia bertugas bikin liputannya. Anita dan aku juga terus-terusan kelihatan, terutama kalau tujuannya di sekitar Magelang-Temanggung-Purworejo, karena harus makan duren (opo hubungane!?).
Aku sendiri mulai ikut sejak Desember 2005 pas aku dijadiin narasumber soal penulisan novel di SMA 3 Salatiga. Sejak itu aku tak pernah absen meski bukan aku yang jadi narasumber. Lucunya, kalau pas beneran nggak ada narasumber yang bisa diajak, yang cabut cuman bertiga tok: Om Daktur, Unik, dan aku.
Tugas Unik udah jelas, yaitu bikin foto-foto dan liputan. Nah, job sebagai MC dan narasumber tinggal dibolak-balik antara Om Daktur dan aku. Kalau dia yang ngocol, aku yang bawain acara sebagai presenter. Giliran aku yang disuruh jadi talker (maxute, pembicara!), kerjaan sebagai MC dia yang pegang.
Sejak diadin pertama kali pertengahan 2005 lalu, KBTa udah mengunjungi banyak sekolah di seputaran Jawa Tengah, seperti Salatiga, Magelang, Temanggung, Batang, Pekalongan, Kendal, Solo, Blora, atau Semarang sendiri. Tujuan kami umumnya adalah SMA dan Madrasah Aliyah, tapi kadang ada juga request dari sindikat-sindikat nonsekolah, seperti kelompok teater, komunitas sastra, atau gerombolan pemakan duren (eh, itu kita sendiri ding!).
Tentu ada banyak pengalaman menarik selama jalan bareng KBTa, tapi satu yang paling berkesan terjadi hari Sabtu 23 Desember 2006 kemaren saat kami berkunjung ke SMP & SMA-LB YPPALB Magelang. Yap, bener, Sekolah Luar Biasa. Jadi audiens kami di sana adalah anak-anak SMP dan SMA penyandang tuna rungu dan tuna wicara. Selain Om Daktur, Unik, dan aku, yang ikut ke sana adalah Mas Heru Emka (penulis freelance legendaris), Sulistiyo Suparno, Mas Prio, dan Ismun Faidah alias Vie’s (penyair dan cerpenis asal Batang—koncone Sulis).
Kendala utama acara KBTa di sana tentu soal komunikasi. Kami awam banget soal penggunaan bahasa isyarat, sementara nggak kayak di film-film Hollywood, skill membaca perkataan lewat gerak bibir ternyata belum dipunyai semua penyandang tuna rungu dan tuna wicara. So, pembicaraan pun harus diterjemahkan dengan kode SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia) oleh Pak Budi, guru mereka.
Suasana jadi haru biru nggak keruan manakala mereka juga yang bertugas jadi MC, pembaca ayat-ayat suci Alquran, plus pidato ketua panitia. Bisa dibayangin kata-kata kayak apa yang keluar dari anak-anak yang seumur hidup nggak pernah mendengar apa itu kata-kata.
Karena mereka juga nggak bisa mendengar dan mengontrol vokal mereka sendiri, yang terbaik yang bisa mereka lakukan hanyalah mencoba mengira-ira sepas mungkin apa yang mereka baca. Yang terdengar kuping orang normal pun mirip setiap patah kata aktris bisu-tuli cantik, Marlee Matlin. Nggak jelas dan kadang nggak nyenggol sedikitpun. Meski begitu, ada juga yang pelafalannya luar biasa bagus dan tajam, seperti Erna sang ketupat yang membacakan pidato selamat datang.
Apa yang paling menggugahku dari momen itu adalah semangat mereka—semangat dalam berusaha agar mereka bisa sama dan sejajar dengan orang-orang normal yang nggak punya kelainan fisik. Meski kelihatannya sepele, yaitu hanya berusaha ngomong, tapi itu bener-bener perjuangan yang masuk kategori “sampai titik darah penghabisan” bagi mereka.
Mereka melompati kekurangan abadi mereka sendiri untuk menuju teritori (yang juga abadi) yang mereka tak pernah tahu dan bahkan tak pernah mereka kenal. Bagiku itu luar biasa, karena selama ini kita (yang dianggap normal ini) tak pernah pergi sejauh itu saat memperjuangkan sesuatu. Kita paling banter hanya (mencoba) melawan atau meminimalisir kekurangan kita sendiri, tapi tak pernah berani melompatinya.
Maksudku, kalau badan kita gampang capek dan nggak kuat dipakai jalan terlalu jauh, apakah kita akan mendaki Gunung Semeru hanya untuk tahu how far we can go? Kalau kita penakut terhadap lelembut, apakah kita akan nekat nongkrong di kuburan pada malem Jumat Kliwon, sekali lagi, hanya untuk mengetahui berapa lama kita bisa bertahan di sana?
Kita nggak pernah berani melakukan sejauh itu. Kita hanya berani mengerjakan segala sesuatu hanya kalau kita udah punya modal dulu. Kalau nggak, well, kita juga nggak akan ke mana-mana atau ngapa-ngapain. So, dalam hal ini, dibandingkan dengan Erna dkk, kitalah yang tahu-tahu jadi orang cacat… mentally.
Aku bener-bener nangis saat itu.
BalasHapusKalo aku di situ jg kayaknya nangis..
BalasHapusbaca ceritanya aja rasanya gimana gitu...
aku kok gak nangis blas yo? jangan2 aku udah berubah jadi pembunuh berdarah dingin...
BalasHapusyaa aku dewe nangis masss....
BalasHapusko pada tangis-tangisan sihhhh.....
BalasHapuswaaaahhhhh sedihhhh yaaaaaaa.....
BalasHapus