Selain sinetron, acara-acara
infotainment menjadi alasan utama mengapa publik begitu menggemari layar gelas
kita dewasa ini. Karena voyeurisme alias kegemaran mengintip sudah mendarah
daging dengan “DNA” kita, maka mendapatkan kesempatan untuk mengintip kehidupan
pribadi para selebritas adalah juga sesuatu yang menyenangkan.
Terlebih bila yang “boleh”
diintai adalah borok, kekurangan, kasus, dan permasalahan private mereka, maka
makin senanglah kita. Dari situ kita bisa memuaskan nafsu paling primitif kita,
yaitu terhibur oleh kesengsaraan orang lain. Yang sedikit agak religius
melakoninya sambil bersyukur bahwa “setidaknya saya tidak seperti mereka”!
Maka bisa menyaksikan Cliff
Sangra menembak menantunya sendiri, Gusti Randa bertikai dengan Nia Paramitha
gara-gara “Mr X”, atau Revaldo jadi pesakitan di kantor polisi, tiba-tiba
memberi makna baru pada kata “entertainment”. Nilai hiburan yang terkandung di
dalamnya jauh lebih besar daripada hal yang sama saat kita menerima gaji
bulanan!
Tak heran semua stasiun televisi
(terutama yang swasta) dipenuhi dengan aneka macam judul infotainment. Ada Cek
& Ricek yang melegenda itu, ada Kroscek, ada Insert, ada Kabar-kabari,
ada KiSS, ada Go Show, dan kanal-kanal TV daerah pun berlomba-lomba memproduksi
acara infotainment masing-masing.
Sayang, sebagaimana acara-acara
lain yang baru lahir setelah diinspirasi acara serupa produksi mancanegara
(biasanya Amerika Serikat), program-program infotainment kita pun mengalami
masalah yang sama: monoton, tanpa variasi, tidak original, dan miskin (bahkan
boleh dibilang sama sekali tidak ada) inovasi yang segar dan baru.
Tengok saja. Meski beda-beda
dalam penamaan, struktur semua acara tersebut sangat sama dan sebangun. Umumnya
hanya berupa deretan hard news dengan narasi dan rekaman video yang diperkuat
dengan satu-dua wawancara singkat. Trans TV mencoba melakukan terobosan dengan
menggelar indepth dan bahkan investigative reporting lewat Insert Investigasi,
namun belum begitu berhasil karena hanya cenderung memperpanjang durasi berita,
dan bukannya kedalaman ulasan.
Di AS, sajian infotainment telah
sedemikian maju pesat sehingga yang dihadirkan ke hadapan pemirsa tak hanya
melulu rangkaian berita dan gosip-gosip tak jelas dari kalangan pesohor.
Tayangan-tayangan tersebut dikemas dalam banyak format berbeda dan tentu dengan
tema dan angle permasalahan yang bervariasi pula.
Bahkan telah muncul pula satu
kanal televisi yang 24 jam hanya berisi infotainment, yaitu E! Entertainment
Television atau yang biasa disebut dengan E! saja. Kanal ini mengudara secara
internasional melalui satelit dan dapat disaksikan lewat jaringan TV kabel.
E! berhasil menyuguhkan
programa-programa infotainment yang tidak saja menghibur, namun juga lucu,
menggemaskan, dan cerdas. Salah satu mata acara yang paling digemari pemirsanya
adalah The 101. Dalam acara ini, para editor E! menghitung mundur (countdown)
sebanyak 101 peringkat berbagai aspek khusus dari belantara dunia showbiz.
Salah satu topik paling menarik
adalah saat The 101 menyoroti perubahan-perubahan apa saja yang terjadi dalam
diri para selebritas dalam The 101 Most Starlicious Makeover. Di sini hadir 101
perubahan paling mencengangkan yang dialami para pesohor Hollywood dan dunia
rekaman AS, salah satunya adalah metamorfosa Clay Aiken dari pemuda pemalu
menjadi bintang tampan setelah memenangi juara kedua American Idol.
Programa ini juga pernah tampil
dengan judul The 101 Biggest Celebrity Oops..!, yang menampilkan kesalahan,
kekeliruan, dan kekonyolan apa saja yang pernah dialami para selebritas. Hadir
di sini antara lain adalah keputusan ganjil Sony Pictures untuk menciptakan
seorang kritikus film gadungan yang selalu memberi ulasan-ulasan positif untuk
film-film terburuk mereka.
Ada pula kisah aktor Woody Harrelson
yang membuka bisnis aneh berupa bar alias kedai oksigen, juga Leonardo DiCaprio
yang persis setelah sukses gila-gilaan lewat Titanic justru melakukan kesalahan
fatal dengan menerima tawaran untuk bermain dalam The Beach yang gagal total
dan sama sekali tidak laku!
The 101 ditayangkan secara
bersambung dalam lima episode dengan tiap episode rata-rata memuat 20
peringkat. Jam-jam tayang keseluruh episode itu diacak, sehingga bila pemirsa
penasaran ingin mengetahui kelanjutannya, mereka harus terus tune in di E! dan
tidak boleh berpindah ke saluran lain agar tidak ketinggalan satu episode pun.
Format infotainment lain hadir
dalam E! True Hollywood Story (THS), tempat pemirsa bisa mengikuti biografi
seorang pesohor Hollywood lengkap dengan suka duka, etos kerja, dan resep-resep
keberhasilan mereka dalam meniti karier. Acara lain yang tak kalah menarik
adalah Taradise, yang berisi liputan perjalanan aktris Tara Reid ke berbagai
tempat paling eksotis di muka Bumi.
Namun kelebihan tayangan-tayangan
infotainment E! dan yang sama sekali belum terdapat di sini adalah kelengkapan
coverage-nya. Setiap masalah dilihat dari banyak sudut pandang berbeda dengan
cara menampilkan sebanyak mungkin narasumber netral.
Netralitas para narasumber itu
sangat bisa dipertanggung jawabkan karena mereka adalah para editor papan atas
media-media hiburan terkemuka dan pakar-pakar terkait. Tugas mereka memberikan
analisa secara kritis dan objektif terhadap topik apapun yang tengah dibahas,
dan bukan hanya sekadar menghadirkan pendapat atau komentar pribadi yang
subjektif dan memihak.
Unsur ini belum tersentuh
infotainment-infotainment kita, karena tak jarang narator acara justru
menggiring pemirsa menuju kutub opini dan penilaian tertentu. Dalam kasus
narkoba aktor senior Roy Marten, tampak jelas Roy di-“kasting” sebagai sosok
hero dan bapak sejati oleh berbagai acara infotainment.
Sedang dalam kasus Revaldo, trial
by the press sudah terjadi sejak pertama kali beritanya tersiar. Tidak ada
upaya untuk menyebut nama Revaldo dengan inisial, mengaburkan wajahnya, dan
melindungi jatidirinya sampai sidang pengadilan menjatuhkan vonis.
Sebaliknya, bahwa yang tertangkap
basah adalah seorang Revaldo, nama populer itu justru di-blow up semaksimal
mungkin untuk menarik perhatian pemirsa. Seluruh infotainment pun telah
melakukan pelanggaran serius terhadap salah satu poin Kode Etik Jurnalistik
tentang asas praduga tak bersalah.
Tetapi bagaimanapun, kondisi yang
memprihatinkan itu memang sangat bisa dipahami. Sebab, sebagaimana pernyataan
banyak kalangan pers, infotainment kita sejak awal memang tidak pernah menjadi
bagian dari dunia jurnalistik.
(Dimuat di
rubrik hiburan Suara Merdeka Edisi Minggu)
0 komentar:
Posting Komentar