scribo ergo sum

Minggu, 21 Januari 2007

Ketika Infotainment Menggiring Opini

12:55 Posted by wiwien wintarto No comments

Selain sinetron, acara-acara infotainment menjadi alasan utama mengapa publik begitu menggemari layar gelas kita dewasa ini. Karena voyeurisme alias kegemaran mengintip sudah mendarah daging dengan “DNA” kita, maka mendapatkan kesempatan untuk mengintip kehidupan pribadi para selebritas adalah juga sesuatu yang menyenangkan.
Terlebih bila yang “boleh” diintai adalah borok, kekurangan, kasus, dan permasalahan private mereka, maka makin senanglah kita. Dari situ kita bisa memuaskan nafsu paling primitif kita, yaitu terhibur oleh kesengsaraan orang lain. Yang sedikit agak religius melakoninya sambil bersyukur bahwa “setidaknya saya tidak seperti mereka”!

Maka bisa menyaksikan Cliff Sangra menembak menantunya sendiri, Gusti Randa bertikai dengan Nia Paramitha gara-gara “Mr X”, atau Revaldo jadi pesakitan di kantor polisi, tiba-tiba memberi makna baru pada kata “entertainment”. Nilai hiburan yang terkandung di dalamnya jauh lebih besar daripada hal yang sama saat kita menerima gaji bulanan!
Tak heran semua stasiun televisi (terutama yang swasta) dipenuhi dengan aneka macam judul infotainment. Ada Cek & Ricek yang melegenda itu, ada Kroscek, ada Insert, ada Kabar-kabari, ada KiSS, ada Go Show, dan kanal-kanal TV daerah pun berlomba-lomba memproduksi acara infotainment masing-masing.
Sayang, sebagaimana acara-acara lain yang baru lahir setelah diinspirasi acara serupa produksi mancanegara (biasanya Amerika Serikat), program-program infotainment kita pun mengalami masalah yang sama: monoton, tanpa variasi, tidak original, dan miskin (bahkan boleh dibilang sama sekali tidak ada) inovasi yang segar dan baru.
Tengok saja. Meski beda-beda dalam penamaan, struktur semua acara tersebut sangat sama dan sebangun. Umumnya hanya berupa deretan hard news dengan narasi dan rekaman video yang diperkuat dengan satu-dua wawancara singkat. Trans TV mencoba melakukan terobosan dengan menggelar indepth dan bahkan investigative reporting lewat Insert Investigasi, namun belum begitu berhasil karena hanya cenderung memperpanjang durasi berita, dan bukannya kedalaman ulasan.
Di AS, sajian infotainment telah sedemikian maju pesat sehingga yang dihadirkan ke hadapan pemirsa tak hanya melulu rangkaian berita dan gosip-gosip tak jelas dari kalangan pesohor. Tayangan-tayangan tersebut dikemas dalam banyak format berbeda dan tentu dengan tema dan angle permasalahan yang bervariasi pula.
Bahkan telah muncul pula satu kanal televisi yang 24 jam hanya berisi infotainment, yaitu E! Entertainment Television atau yang biasa disebut dengan E! saja. Kanal ini mengudara secara internasional melalui satelit dan dapat disaksikan lewat jaringan TV kabel.
E! berhasil menyuguhkan programa-programa infotainment yang tidak saja menghibur, namun juga lucu, menggemaskan, dan cerdas. Salah satu mata acara yang paling digemari pemirsanya adalah The 101. Dalam acara ini, para editor E! menghitung mundur (countdown) sebanyak 101 peringkat berbagai aspek khusus dari belantara dunia showbiz.
Salah satu topik paling menarik adalah saat The 101 menyoroti perubahan-perubahan apa saja yang terjadi dalam diri para selebritas dalam The 101 Most Starlicious Makeover. Di sini hadir 101 perubahan paling mencengangkan yang dialami para pesohor Hollywood dan dunia rekaman AS, salah satunya adalah metamorfosa Clay Aiken dari pemuda pemalu menjadi bintang tampan setelah memenangi juara kedua American Idol.
Programa ini juga pernah tampil dengan judul The 101 Biggest Celebrity Oops..!, yang menampilkan kesalahan, kekeliruan, dan kekonyolan apa saja yang pernah dialami para selebritas. Hadir di sini antara lain adalah keputusan ganjil Sony Pictures untuk menciptakan seorang kritikus film gadungan yang selalu memberi ulasan-ulasan positif untuk film-film terburuk mereka.
Ada pula kisah aktor Woody Harrelson yang membuka bisnis aneh berupa bar alias kedai oksigen, juga Leonardo DiCaprio yang persis setelah sukses gila-gilaan lewat Titanic justru melakukan kesalahan fatal dengan menerima tawaran untuk bermain dalam The Beach yang gagal total dan sama sekali tidak laku!
The 101 ditayangkan secara bersambung dalam lima episode dengan tiap episode rata-rata memuat 20 peringkat. Jam-jam tayang keseluruh episode itu diacak, sehingga bila pemirsa penasaran ingin mengetahui kelanjutannya, mereka harus terus tune in di E! dan tidak boleh berpindah ke saluran lain agar tidak ketinggalan satu episode pun.
Format infotainment lain hadir dalam E! True Hollywood Story (THS), tempat pemirsa bisa mengikuti biografi seorang pesohor Hollywood lengkap dengan suka duka, etos kerja, dan resep-resep keberhasilan mereka dalam meniti karier. Acara lain yang tak kalah menarik adalah Taradise, yang berisi liputan perjalanan aktris Tara Reid ke berbagai tempat paling eksotis di muka Bumi.
Namun kelebihan tayangan-tayangan infotainment E! dan yang sama sekali belum terdapat di sini adalah kelengkapan coverage-nya. Setiap masalah dilihat dari banyak sudut pandang berbeda dengan cara menampilkan sebanyak mungkin narasumber netral.
Netralitas para narasumber itu sangat bisa dipertanggung jawabkan karena mereka adalah para editor papan atas media-media hiburan terkemuka dan pakar-pakar terkait. Tugas mereka memberikan analisa secara kritis dan objektif terhadap topik apapun yang tengah dibahas, dan bukan hanya sekadar menghadirkan pendapat atau komentar pribadi yang subjektif dan memihak.
Unsur ini belum tersentuh infotainment-infotainment kita, karena tak jarang narator acara justru menggiring pemirsa menuju kutub opini dan penilaian tertentu. Dalam kasus narkoba aktor senior Roy Marten, tampak jelas Roy di-“kasting” sebagai sosok hero dan bapak sejati oleh berbagai acara infotainment.
Sedang dalam kasus Revaldo, trial by the press sudah terjadi sejak pertama kali beritanya tersiar. Tidak ada upaya untuk menyebut nama Revaldo dengan inisial, mengaburkan wajahnya, dan melindungi jatidirinya sampai sidang pengadilan menjatuhkan vonis.
Sebaliknya, bahwa yang tertangkap basah adalah seorang Revaldo, nama populer itu justru di-blow up semaksimal mungkin untuk menarik perhatian pemirsa. Seluruh infotainment pun telah melakukan pelanggaran serius terhadap salah satu poin Kode Etik Jurnalistik tentang asas praduga tak bersalah.
Tetapi bagaimanapun, kondisi yang memprihatinkan itu memang sangat bisa dipahami. Sebab, sebagaimana pernyataan banyak kalangan pers, infotainment kita sejak awal memang tidak pernah menjadi bagian dari dunia jurnalistik.


(Dimuat di rubrik hiburan Suara Merdeka Edisi Minggu)

0 komentar:

Posting Komentar