GLS menarik karena memuat lagu-lagu balada cinta era 1980-an dan 1990-an lalu, baik lagu manca maupun dalam negeri. Apa yang nggak ada di MTV ada di sini. Di situ ada Tonight I Celebrate My Love (Peabo Bryson & Roberta Flack), Separate Lives (Phil Collins & Marilyn Martin), If I Never Knew You (Jon Secada & Shanice), Go the Distance (Michael Bolton), Love Will Lead You Back (Taylor Dayne), dan konco-konconya.
Lagu-lagu itu abadi bukan hanya karena mereka berasal dari “zaman”-ku, alias ngetop saat aku masih ABG. Melainkan juga karena 80s dan (separuh pertama) 90s adalah periode ketika para singer-songwriter-musician-producer masih membuat lagu dengan hati, dan bukan hanya dengan perhitungan bisnis untuk semata-mata berdagang.
Era 80s dan 90s melanjutkan tradisi era 60s dan 70s, yaitu saat seorang penyanyi dihargai karena suara dan skill menyanyi mereka, bukan hal-hal yang lain. Suara emas itu dipadu dengan musik yang memesona (biasanya pake synthesizer yang suaranya cemengkling), melodi yang kaya warna, dan lirik yang dalam plus bermakna.
Coba deh simak Wind Beneath My Wings-nya Bette Midler, yang jadi soundtrack film Beaches. Baca liriknya: Don’t you ever know that you’re my hero… You’re everything I would like to be… I could fly higher than an eagle… You are the wind beneath my wings… Menakjubkan, bukan? Suatu bentuk pemujaan dan kekaguman yang tulus. Dan nggak hanya bisa dipakai untuk pacar doang, tapi juga untuk semua orang, siapa aja, yang berarti dalam hidup kita.
Denger juga In My Dreams-nya REO Speedwagon (If only I could fall asleep… at least I could pretend you’re thinking of me… ‘Cause night time is the one time I am happy… You see in my dreams… We climb and climb and at the top we fly…) atau Api Asmara-nya Niagara (Asmara… yang menandakan… Leburnya raga dalam angan… Dihiasi bunga-bunga asmara… Yang bertaburan, di tengah peraduan… Bahtera cinta kita…). Wuah, top class!
Lagu-lagu masa itu nggak hanya sekadar lewat sambil lalu di Top 40 dan kemudian menghilang untuk digantikan produk lain yang lebih baru, tapi menetap untuk jangka waktu yang sangat lama. Kadang bahkan seumur hidup karena kita selalu bisa menghubungkannya dengan episode-episode khusus dalam hidup kita masing-masing.
Aku masih ingat, pada tahun 1988, lagu One Moment in Time (Whitney Houston) ngetop karena dipakai sebagai salah satu theme song Olimpiade Seoul. Ketika itu aku tengah berjuang dengan nilai-nilai ulangan SMA yang luar biasa jeblok, dan lagu itu mengilhamiku untuk mau bangkit dan berjuang lagi melawan semua kemalasanku.
Dan sekitar tahun 1987, aku membaca novel Petualangan di Kapal Pesiar (Enid Blyton) sambil dengerin lagu God’s Country-nya Kool & The Gang dari kaset punya Bapak. Aku terkesan luar biasa karena lirik lagu itu nggak sengaja bener-bener menggambarkan isi novelnya—Travellin’ over God’s country… You always want me to fly like the wind… To the place where we first began… To the east, in the morning light… We’ll ride into paradise…!
Dan kini, tiap kali mendengarkan kembali lagu itu, aku juga teringat lagi pada masa-masa awal aku suka baca novel detektif, misteri, dan petualangan dulu. Momen itulah yang membelokkan arah hidupku dan membuatku meninggalkan cita-cita lamaku sebagai dokter untuk menjadi seorang penulis. Keputusan yang nekat, karena saat itu jangankan bisa bikin cerpen, novel, atau karangan yang bener, aku bahkan masih bingung mikirin perbedaan antara paragraf dan alinea. Nggak tahunya jebul keduanya bersinonim alias sami mawon!
Pertanyaannya, ke mana gerangan larinya dan perginya semua balada itu sekarang ini? Karena masih suka nonton MTV dan juga Channel V, aku tahu persis kayak apa lagu-lagu anak muda zaman sekarang. Dengan sepenuhnya bersikap objektif, lagu-lagu Top 40 masa kini bener-bener anjlog dalam segala hal.
Semua balada yang indah, dalam, dan menyentuh itu udah nggak ada lagi. Kini yang meroket adalah lagu-lagu “gelodakan” ala hip hop dengan tema lirik yang melulu berorientasi ke seks dan berjualan videoklip dengan hiasan cewek-cewek molek berbusana minim.
Coba sesekali lihat video-video terbaru milik Justin Timberlake, Fergie, The Pussycat Dolls, Gwen Stefani, atau Nelly Furtado. Jika bukan karena aku masih normal (masih suka lihat bodi-bodi oke itu, hehe…!), aku pasti udah muntah-muntah melihatnya. Semua hanya soal memuaskan nafsu birahi dan selera rendah. Nggak ada lagi lagu-lagu “sakral” yang bicara soal first love, persahabatan, keteguhan diri, rasa terima kasih, atau kasih sayang pada sesama tanpa kecuali (contohnya kayak We Are the World-nya USA For Africa).
Dunia musik mengalami perubahan orientasi dari “heart” ke “money” gara-gara booming boysband pada paruh akhir 1990-an. Diawali dari Westlife, para produser berpaling dari bakat-bakat yang asli cemerlang (kayak Jackson 5 gitu) ke sosok-sosok cutie yang dikumpulkan mendadak dengan audisi dan diperkirakan bisa jadi tambang uang serta didesain untuk hanya berumur pendek (kayak Spice Girls atau Blue).
Maka mereka pun nggak lagi membuat lagu dengan hati, dengan pengalaman pribadi, atau yang didedikasikan untuk seseorang atau sesuatu, melainkan hanya sekadar untuk dijual di Top 10, Top 40, atau Hot 100. Lagu-lagu mereka pun hanya sempat nJeblug sebentar, tapi abis itu lantas ilang musnah. Radio-radio masa kini masih tetep muter Right Here Waiting-nya Richard Marx, tapi nggak pernah ada yang inget untuk memainkan kembali Until the Time is Through-nya 5ive atau All Out of Love-nya OTT.
So, dilihat dari segi ini, aku kerap merasa kasihan pada ABG zaman sekarang. Mereka terhalang dari menikmati keindahan semua balada itu. Tiap hari mereka hanya disuguhi bokong-dada-pinggul-betis serta diajari untuk meratapi cinta ala Ungu, Nidji, dan Samsons, tapi nggak pernah berkesempatan untuk meresapi keajaiban semacam “…Now the miles stretch out behind me, love that I have lost… Broken hearts lie victims of the game… Then good luck it finally struck like lightning from the blue… Every highway leading me back to you…”
(Hayo, itu lagunya siapa? Ada yang masih inget?)
0 komentar:
Posting Komentar