scribo ergo sum

Minggu, 24 Desember 2006

Titik Belok yang Menyakitkan

13:39 Posted by wiwien wintarto No comments

(** out of *****)

Saat menyaksikan sebuah film, penonton dibawa memasuki sebuah dunia logika tertentu. Beda genre dan beda cerita, sudah tentu akan memunculkan “sistem” susunan logika yang berbeda pula. Karena itu, ketika konstruksi yang telah terbentuk sejak awal tahu-tahu membelok dengan luar biasa mendadak, penonton pasti akan terkejut sehingga kehilangan pegangan dan “keimanan” terhadap struktur itu tadi.
Pesan dari Surga arahan sutradara Sekar Ayu Asmara menikung luar biasa tajam sehingga rasanya kita seperti tak sedang menonton film, melainkan tengah naik roller coaster mematikan dalam Final Destination 3. Sedemikian tajam belokan itu membuat keseluruhan alur cerita dan logika yang tersusun sejak main title menjadi seakan kehilangan makna.

Film dibuka dengan adegan konser sebuah band beraliran pop rock yang bernama Topeng. Mereka tersusun atas anak-anak muda dengan nama-nama yang kebetulan aneh semua, yaitu Canting (Luna Maya), Brazil (Catherine Wilson), Kuta (Lukman Sardi), Prana (Vino G Bastian), dan Veruska (Rianti Cartwright).
Topeng memiliki sebuah tradisi yang amat unik. Tiap kali sebelum manggung, mereka saling berpelukan untuk menceritakan kisah (cinta) masing-masing. Dari situ kita tahu bahwa tiap personel Topeng menjalani kehidupan percintaan yang sama-sama rumit dan memusingkan.
Canting berkencan dengan seorang pemuda yang mengelola Tiara, sebuah LSM yang bergerak di bidang pencarian anak hilang. Pada masa lalu, sebelum bertemu Canting, ia ternyata pernah menjalin hubungan yang berbuah kelahiran seorang anak. Belum lama berselang, si anak tiba-tiba hilang saat mereka menonton sirkus.
Brazil memendam dendam terhadap laki-laki. Karena kisah kelam pada masa silam, ia bertekad akan gonta-ganti pacar sampai 100 kali. Tapi pada hitungan ke-24 dan 25, ia kena batunya ketika mengencani pasangan remaja kembar dalam saat yang bersamaan.
Kuta, pemain band yang juga merangkap kerja menjadi seniman tato, menyimpan kelainan orientasi seksual. Ia berpacaran dengan seorang pria yang telah beristri. Yang lebih buruk lagi, isteri si pria tersebut tengah hamil tua dan mencurigai suaminya ada main dengan perempuan lain.
Prana telah menikah dan tengah mengharapkan kelahiran seorang anak laki-laki yang ia harap suatu saat kelak akan menjadi pilot. Tapi di luar sepengetahuan isterinya, ia ternyata menjalin hubungan dengan perempuan lain hingga ke jenjang pernikahan dan poligami.
Dan yang terakhir, Veruska hamil gara-gara hubungannya dengan kekasihnya. Ia kemudian positif dinyatakan terkena HIV. Tapi siksaan terberat yang harus diterimanya adalah mendengar guyonan-guyonan tak lucu beraroma religi yang dilontarkan dokter kandungannya.
Saat problema kian memuncak dan hampir-hampir tak terselesaikan, kelimanya kemudian terlibat dalam kecelakaan lalu lintas saat berangkat ke gedung tempat Topeng akan mengadakan konser live. Dan saat itulah kita sebagai penonton sampai pada bagian belokan yang menyakitkan tersebut.
Sesaat setelah kecelakaan terjadi, kita tiba-tiba melihat mereka telah menjadi arwah, yang melihat penasaran saat badan masing-masing diselamatkan penduduk. Kuta berkata bahwa mereka semua telah mati, dan Canting membantahnya dengan mengatakan bahwa, jika mereka memang telah mati, mengapa mereka tetap bisa saling mengobrol?
Ternyata, tak semua harus kembali ke surga (atau neraka, tak seorangpun tahu!), kecuali Canting. Ia hanya koma, dan ditakdirkan untuk hidup. Tapi sebagai “bonus” bahwa ia pernah mengalami pengalaman mendekati kematian alias NDE (near death experience), ia akhirnya menjadi penyampai pesan keempat rekannya yang telah tiada kepada pasangan masing-masing.
Apa yang paling mengagetkan dari Pesan dari Surga adalah belokan di titik itu, sebab sejak awal, film ini tak menunjukkan kondisi apapun sebagai sebuah film fantasi-mistis tentang dunia afterlife (kematian) lengkap dengan sosok-sosok arwah yang tak yakin bahwa mereka benar-benar sudah mati.
Hingga 90% durasi, Pesan dari Surga hanya berupa drama komedi biasa tentang cinta, perselingkuhan, dan seks bebas. Sehingga, ketika mendadak mereka berlima tiba-tiba menjadi arwah, kita pun dipaksa untuk merekonstruksi ulang pemahaman kita tentang sistem logika seperti apakah yang sebenarnya tengah dipakai Sekar.
Kita tahu, tiap genre dan cerita dalam film datang dengan sistematika logika masing-masing. Kehadiran UFO dalam sebuah film drama keluarga akan menjadi sangat tak masuk akal, namun jika makhluk serupa hadir dalam sebuah film fiksi ilmiah, penonton tak akan protes, karena “semesta” logika kedua jenis cerita itu juga sama sekali berlainan.
Karena itu, ketika sebuah film drama komedi tahu-tahu diakhiri dengan gambaran para arwah yang meninggalkan dunia menuju akhirat, kita pun berasa seperti menyaksikan serial Bajaj Bajuri yang diakhiri dengan fakta bahwa Bajuri dan Oneng adalah makhluk dari planet lain yang tengah mengamati kehidupan Bumi dengan menyamar menjadi sopir bajaj dan pengelola salon kecantikan!
Di luar itu, garapan Sekar Ayu Asmara, penulis lagu yang juga “membelok” menjadi sineas itu, sebenarnya tak terlalu mengecewakan. Ia bahkan sanggup keluar dari Kota Jakarta sebagai setting tempat dan memilih lokasi lain yang cukup mengesankan, yaitu Yogyakarta.
Sayang unsur-unsur lokal Jogja termasuk Gunung Merapi yang mengepulkan asap tak dimanfaatkan sebagai pendukung bangunan cerita, bahkan disinggung pun tidak. Selebihnya, elemen yang dipakai tetap saja berbau Jakarta, seperti pemakaian kata ganti “lo” dan “gue” yang tempo hari sempat diprotes oleh Slamet Rahardjo.
Selain itu, kembali terdapat beberapa materi yang jelas-jelas dibawa mentah-mentah dari film-film Hollywood. Salah satunya adalah adegan Arman (Dimas Seto Wardhana), yang langsung berpakaian dan pergi tanpa perlu mandi dulu sesudah bangun pagi dari acara tidur bersama Canting.
Adegan itu sekilas mungkin terlihat keren. Tapi bayangkan apa yang terjadi jika kita semua langsung berangkat ke kantor begitu bangun tanpa mandi. Atau barangkali, Arman terinspirasi Mr Bean untuk mandi, gosok gigi, dan berpakaian di dalam mobil sepanjang perjalanan ke kantor!
Pesan dari Surga sesungguhnya bisa menjadi sebuah tontonan yang kuat seandainya tetap berpegang teguh dan “membumi” saja pada persoalan cinta yang dramatik plus komedik dari kelima personel Topeng.
Bahwa mereka berlima masing-masing mendapat jatah cerita yang penting sebenarnya sudah menunjukkan bahwa cerita dan skenario yang juga dikerjakan Sekar tak menyisakan satu tokoh pun yang mondar-mandir tanpa guna dalam keseluruhan struktur ceritanya.
Sayang ketika mereka berlima mendadak menjadi arwah, Pesan dari Surga pun seperti pecah menjadi dua film yang sama sekali berbeda. Seperti menonton Bridget Jones’ Diary yang dipungkasi dengan ending dari The Sixth Sense atau Ghost

(Dimuat di Suara Merdeka, Minggu 24 Desember 2006)

0 komentar:

Posting Komentar