(** out of *****)
Saat menyaksikan sebuah film,
penonton dibawa memasuki sebuah dunia logika tertentu. Beda genre dan beda
cerita, sudah tentu akan memunculkan “sistem” susunan logika yang berbeda pula.
Karena itu, ketika konstruksi yang telah terbentuk sejak awal tahu-tahu
membelok dengan luar biasa mendadak, penonton pasti akan terkejut sehingga kehilangan
pegangan dan “keimanan” terhadap struktur itu tadi.
Pesan dari Surga arahan sutradara Sekar Ayu Asmara
menikung luar biasa tajam sehingga rasanya kita seperti tak sedang menonton
film, melainkan tengah naik roller
coaster mematikan dalam Final Destination 3.
Sedemikian tajam belokan itu membuat keseluruhan alur cerita dan logika yang
tersusun sejak main title menjadi seakan kehilangan makna.
Film dibuka dengan adegan konser
sebuah band beraliran pop rock yang bernama Topeng. Mereka tersusun atas anak-anak
muda dengan nama-nama yang kebetulan aneh semua, yaitu Canting (Luna Maya),
Brazil (Catherine Wilson), Kuta (Lukman Sardi), Prana (Vino G Bastian), dan
Veruska (Rianti Cartwright).
Topeng memiliki sebuah tradisi
yang amat unik. Tiap kali sebelum manggung, mereka saling berpelukan untuk
menceritakan kisah (cinta) masing-masing. Dari situ kita tahu bahwa tiap
personel Topeng menjalani kehidupan percintaan yang sama-sama rumit dan
memusingkan.
Canting berkencan dengan seorang
pemuda yang mengelola Tiara, sebuah LSM yang bergerak di bidang pencarian anak
hilang. Pada masa lalu, sebelum bertemu Canting, ia ternyata pernah menjalin
hubungan yang berbuah kelahiran seorang anak. Belum lama berselang, si anak
tiba-tiba hilang saat mereka menonton sirkus.
Brazil memendam dendam terhadap
laki-laki. Karena kisah kelam pada masa silam, ia bertekad akan gonta-ganti
pacar sampai 100 kali. Tapi pada hitungan ke-24 dan 25, ia kena batunya ketika
mengencani pasangan remaja kembar dalam saat yang bersamaan.
Kuta, pemain band yang juga
merangkap kerja menjadi seniman tato, menyimpan kelainan orientasi seksual. Ia
berpacaran dengan seorang pria yang telah beristri. Yang lebih buruk lagi,
isteri si pria tersebut tengah hamil tua dan mencurigai suaminya ada main
dengan perempuan lain.
Prana telah menikah dan tengah
mengharapkan kelahiran seorang anak laki-laki yang ia harap suatu saat kelak
akan menjadi pilot. Tapi di luar sepengetahuan isterinya, ia ternyata menjalin
hubungan dengan perempuan lain hingga ke jenjang pernikahan dan poligami.
Dan yang terakhir, Veruska hamil
gara-gara hubungannya dengan kekasihnya. Ia kemudian positif dinyatakan terkena
HIV. Tapi siksaan terberat yang harus diterimanya adalah mendengar
guyonan-guyonan tak lucu beraroma religi yang dilontarkan dokter kandungannya.
Saat problema kian memuncak dan
hampir-hampir tak terselesaikan, kelimanya kemudian terlibat dalam kecelakaan
lalu lintas saat berangkat ke gedung tempat Topeng akan mengadakan konser live. Dan saat itulah kita
sebagai penonton sampai pada bagian belokan yang menyakitkan tersebut.
Sesaat setelah kecelakaan
terjadi, kita tiba-tiba melihat mereka telah menjadi arwah, yang melihat
penasaran saat badan masing-masing diselamatkan penduduk. Kuta berkata bahwa
mereka semua telah mati, dan Canting membantahnya dengan mengatakan bahwa, jika
mereka memang telah mati, mengapa mereka tetap bisa saling mengobrol?
Ternyata, tak semua harus kembali
ke surga (atau neraka, tak seorangpun tahu!), kecuali Canting. Ia hanya koma,
dan ditakdirkan untuk hidup. Tapi sebagai “bonus” bahwa ia pernah mengalami
pengalaman mendekati kematian alias NDE (near death experience), ia
akhirnya menjadi penyampai pesan keempat rekannya yang telah tiada kepada
pasangan masing-masing.
Apa yang paling mengagetkan dari Pesan dari Surga adalah belokan di titik itu, sebab
sejak awal, film ini tak menunjukkan kondisi apapun sebagai sebuah film
fantasi-mistis tentang dunia afterlife (kematian) lengkap dengan sosok-sosok
arwah yang tak yakin bahwa mereka benar-benar sudah mati.
Hingga 90% durasi, Pesan dari Surga hanya berupa drama komedi biasa
tentang cinta, perselingkuhan, dan seks bebas. Sehingga, ketika mendadak mereka
berlima tiba-tiba menjadi arwah, kita pun dipaksa untuk merekonstruksi ulang
pemahaman kita tentang sistem logika seperti apakah yang sebenarnya tengah
dipakai Sekar.
Kita tahu, tiap genre dan cerita
dalam film datang dengan sistematika logika masing-masing. Kehadiran UFO dalam
sebuah film drama keluarga akan menjadi sangat tak masuk akal, namun jika
makhluk serupa hadir dalam sebuah film fiksi ilmiah, penonton tak akan protes,
karena “semesta” logika kedua jenis cerita itu juga sama sekali berlainan.
Karena itu, ketika sebuah film
drama komedi tahu-tahu diakhiri dengan gambaran para arwah yang meninggalkan
dunia menuju akhirat, kita pun berasa seperti menyaksikan serial Bajaj Bajuri yang diakhiri dengan fakta bahwa
Bajuri dan Oneng adalah makhluk dari planet lain yang tengah mengamati
kehidupan Bumi dengan menyamar menjadi sopir bajaj dan pengelola salon
kecantikan!
Di luar itu, garapan Sekar Ayu
Asmara, penulis lagu yang juga “membelok” menjadi sineas itu, sebenarnya tak
terlalu mengecewakan. Ia bahkan sanggup keluar dari Kota Jakarta sebagai
setting tempat dan memilih lokasi lain yang cukup mengesankan, yaitu Yogyakarta.
Sayang unsur-unsur lokal Jogja
termasuk Gunung Merapi yang mengepulkan asap tak dimanfaatkan sebagai pendukung
bangunan cerita, bahkan disinggung pun tidak. Selebihnya, elemen yang dipakai
tetap saja berbau Jakarta, seperti pemakaian kata ganti “lo” dan “gue” yang
tempo hari sempat diprotes oleh Slamet Rahardjo.
Selain itu, kembali terdapat
beberapa materi yang jelas-jelas dibawa mentah-mentah dari film-film Hollywood.
Salah satunya adalah adegan Arman (Dimas Seto Wardhana), yang langsung
berpakaian dan pergi tanpa perlu mandi dulu sesudah bangun pagi dari acara
tidur bersama Canting.
Adegan itu sekilas mungkin
terlihat keren. Tapi bayangkan apa yang terjadi jika kita semua langsung
berangkat ke kantor begitu bangun tanpa mandi. Atau barangkali, Arman terinspirasi
Mr Bean untuk mandi, gosok gigi, dan berpakaian di dalam mobil sepanjang
perjalanan ke kantor!
Pesan dari Surga sesungguhnya bisa menjadi sebuah
tontonan yang kuat seandainya tetap berpegang teguh dan “membumi” saja pada
persoalan cinta yang dramatik plus komedik dari kelima personel Topeng.
Bahwa mereka berlima
masing-masing mendapat jatah cerita yang penting sebenarnya sudah menunjukkan
bahwa cerita dan skenario yang juga dikerjakan Sekar tak menyisakan satu tokoh
pun yang mondar-mandir tanpa guna dalam keseluruhan struktur ceritanya.
Sayang ketika mereka berlima
mendadak menjadi arwah, Pesan
dari Surga pun seperti pecah
menjadi dua film yang sama sekali berbeda. Seperti menonton Bridget Jones’ Diary yang dipungkasi dengan ending dari The
Sixth Sense atau Ghost…
(Dimuat di Suara
Merdeka, Minggu 24 Desember 2006)
0 komentar:
Posting Komentar