scribo ergo sum

Rabu, 15 November 2006

Kritikus Ndak Mudeng

12:07 Posted by wiwien wintarto 6 comments

Selasa 7 November 2006 kemaren, aku diundang (mendadak) menjadi pembicara diskusi film Betina arahan Lola Amaria. Acara digelar di Gedung Soenardi, Undip Hayam Wuruk, mulai pukul 19. Aku mendampingi Lola sendiri dan juga Reza, astrada film Betina.
Aku baru dikasih tahu hari Senin pagi oleh Rana, personel panitia dari Kronik yang teman lama dari era Tabloid Tren dulu. Aslinya, pembicara adalah salah seorang dosen sastra Undip, yang lantas membatalkan keikutsertaannya. Aku diundang dalam kapasitasku sebagai kritikus film di Suara Merdeka.

Sebelum ngobrol, Senin siang itu aku terlebih dulu nonton filmnya yang diputar di gedung yang sama. Aku sudah agak lama dengar soal film Betina. Yang main Kinaryosih, dan ada adegan percintaan dengan sapi. Dari situ saja aku sudah tahu bahwa ini pasti bukan jenis “film umum”. Dan sejauh yang aku tahu, Lola (dan partnernya, Aria Kusumadewa) memang suka bikin film yang, kata orang Jawa, nerak wewaler alias mendobrak tatanan.
Benar saja. Sepanjang durasi film, aku sukses dibikin puyeng oleh adegan-adegannya yang nggak lazim. Bubar nonton Rana nanya, “Mudeng, Mas?” Aku mengangguk sambil menjawab mantep, “MUDENG!” (Maksudnya, mudeng tenan bahwa aku nggak mudeng!).
Besok malemnya, di acara diskusi, aku ketemu Lola dan mendiskusikan Betina. Ketika diminta komentarku sebagai seorang kritikus film, aku tanpa tedeng aling-aling menjawab bahwa satu-satunya ulasan jujur yang bisa kuberikan adalah “Nggak mudeng”. Yap, bukannya “thumbs up” atau “thumbs down”, tapi “just don’t get it”.
Betina emang memusingkan. Ini kisah seorang gadis yang merana setelah ditinggal ayahnya yang diculik tentara. Ibunya jadi setengah gila. Lalu ia kasmaran pada penjaga kuburan yang hanya muncul tiap ada orang mati. Karena nggak pernah ketemu, ia lantas mengkhayalkan sapi kesayangannya (yang bernama Dewa!) sebagai si penjaga makam. Ia melakukan foreplay pada si sapi!
Karakter tokoh-tokohnya pun aneh-aneh. Semua merengut dan pada suka marah-marah nggak jelas. Ada yang mengusel-usel puting sapi pakai mukanya. Ada yang melempar temannya pakai kotoran sapi. Ada yang ke mana-mana berkalung radio Phillips. Dan ada ritual pemakaman yang ganjil dan nggak berasal dari ritual budaya apapun yang ada di jagat ini.
Jenazah si mati ditaruh di gerobak dan ditunggui perempuan yang dekat dengan si mati. Gerobak diseret ke makam yang semua nisannya berbentuk segitiga. Para pelayat memakai sarung sebatas dada, berkalung piring kaleng yang dipukuli pakai sendok, dan memakai pengki sampah.
Begitu sampai di pemakaman, sang perempuan di gerobak disambut dan dicium oleh si penjaga kubur. Lalu mereka berdua naik ke atas bukit entah untuk apa (ternyata untuk ngeseks!).
Habis jenazah dikubur (juga dengan ritual yang aneh dengan pendeta berbaju compang-camping berteriak “Dosman! Dos, dos! Hosman!”), si perempuan tadi pulang dibekali menu dari jamur yang tumbuh di atas kotoran sapi dan tiap habis makan harus merapal mantra “Hitam kelam, putih suci… Matih malek, hitup icus…” (di subtitle jadi “Gloomy black, sacred whiteYmoolg kcalbdercas etihw…”!).
Betina mengingatkanku pada zaman aku masih kuliah dulu dan ikut main teater. Kami harus menghapalkan dialog aneh-aneh, memainkan mimik yang aneh, dan melakukan gerakan yang aneh-aneh juga—tanpa pernah tahu apa maksud atau intisari semua ceritanya.
Sama dengan apa yang sering hadir di pentas teater, semua yang ada di Betina juga seperti nggak berasal dari dunia nyata yang kita kenal ini. Coba, bagaimana mungkin ada stasiun radio yang bernama Bantu Ibu dan khusus hanya menyiarkan berita kematian serta puisi janggal? Kalau di dunia ini ada Radio Bantu Ibu, mungkin kelak akan ada klub sepakbola yang dikasih nama Wali Murid FC!
Sejak awal aku tahu Betina memang bukan jenis film untukku. Aku nggak suka karya-karya ketengan, entah film, novel, atau lagu, tapi aku juga nggak suka karya-karya “kualitas tinggi” yang dibikin dengan semangat “seaneh mungkin biar dianggap avant garde” kayak film-filmnya Garin Nugroho atau buku-bukunya Ayu Utami.
Maksudku, kenapa kamu repot bikin sesuatu yang orang lain nggak nangkep maksudmu atau bahkan nggak mudeng sama sekali? Lantas buat apa itu dibikin? Bukankah kita mengatakan, melakukan, atau membuat sesuatu untuk mempengaruhi orang lain? Pengaruh apa yang bisa kita kasih pada mereka kalau mereka mudeng aja nggak? Itu kan namanya totally wasted…?
Kenapa orang bersanjak soal “Hijau, putih… berhiaskan karet… lengkungan… Alas untuk berpijak menginjak dunia…” dan bikin pramuniaga bingung? Kenapa nggak langsung aja bilang “Beli sandal jepit!”, bayar, pergi, everyone happy, dan semuanya langsung beres tanpa perlu bertele-tele nggak perlu?
Itu emang soal pilihan, dan mungkin tergantung pola pendidikannya juga. Orang sastra suka mengatakan sesuatu dengan simbol-simbol, metafora, dan segala upaya biar semua terlihat indah. Sedang orang komunikasi kayak aku mengatakan sesuatu dengan cara sesimpel mungkin agar orang lekas ngerti, kalau perlu dengan 3 kata langsung mudeng. Indah enggaknya dipikir belakangan, karena kadang-kadang kesederhanaan itu bisa jadi indah juga.
Pernah nonton Before Sunrise dan Before Sunset-nya Richard Linklater? Isinya barang sepele, karena cuman berisi adegan Ethan Hawke dan Julie Delply ngobrol panjang lebar dari awal sampai akhir. Pun semua dituturkan dengan cara sesimpel mungkin tanpa semangat untuk beraneh-aneh sehingga dari ABG sampai kakek-nenek ngerti maksudnya. Tapi apakah dengan demikian BS/BS jadi film yang jelek dan “ngepop”? Enggak kan?
Ini memang negara bebas. Seniman berhak menggunakan cara apapun sesuka hati masing-masing untuk berkreasi. Tapi jika tersedia cara yang mudah, kenapa harus menempuh cara yang sulit hanya agar orang berpikiran kita “avant garde” dan “berbeda”?
Kelak, saat aku makin ngetop sebagai kritikus film dan diundang lagi untuk jadi pembicara diskusi buat film-film kayak Betina, aku tetap tak akan malu-malu untuk bilang nggak mudeng lagi. Sebab kalau ada pramuniaga yang bingung gara-gara si pembeli malah bersanjak soal karet dan lengkungan padahal niatnya cuman buat beli sendal jepit Swallow, mana kita bisa nyalahin si pramuniaga?
Pas diskusi tempo hari, aku jadi teringat potongan iklan Susu Bendera…
“Ini teh susu…”
“Mana tehnya?”
“Oalah… ndak mudeng ini…”
“Neng Geulis mau?”
“Mau, tapi ndak pake teh…”

6 komentar:

  1. wah wah kayake filmnya benar-benar ngeri ya, kalau model jepang ini mungkin filmnya si Hideaki Anno. ya psikologis yang berlebihan :p

    BalasHapus
  2. mengerikan dan jelas nggilani. mosok rai dinggo ngusel-usel puting sapi? aktornya kok ya mau...

    BalasHapus
  3. mas, mas.........two thumbsnya buat mas aja deh dari aku. hidup komunikasi!!!! sekalian kenalan yah mas..........ntar aku beli buku mas d kalo udah dapet jatah bulanan.......keknya aku pasti mudeng yah...? He he he.......

    BalasHapus
  4. Hahaha! Kepingkel2 aku bacanya.
    Kebayang niy, sapinya pasti muak banget. Serasa digelonggong... :D

    BalasHapus
  5. Yup bener klo bikin film malah bikin org mumet n meriang, mendingan bikin kartun Unyil pake 3D ya om!!! hehe...
    Salut buat dikau!!!

    BalasHapus
  6. to line: met kenalan juga.
    to dewie: biar dibayar brapapun, aku nggak mau main jadi sapinya...
    to raka: iya ya? unyil pake 3D pasti bagus. honornya buat beli hp 3G...

    BalasHapus