scribo ergo sum

Rabu, 15 November 2006

Salem

11:50 Posted by wiwien wintarto 3 comments

Lebaran kemaren, keluargaku punya acara bonus yang menyenangkan: pergi ke Kuningan, Jawa Barat. Kami semua diajak Gotri, adikku nomor tiga yang kerja jadi wartawan Kompas, untuk kenalan dengan keluarga Inggit, ceweknya.
Sejak masih mudik di Borobudur, Kabupaten Magelang, topik pembicaraan selalu berkisar di jalur mana yang hendak kami tempuh ke sana. Pantura hampir mustahil, takut terjebak kemacetan arus balik. Akhirnya pilihan jatuh ke jalur tengah Jateng, lewat Temanggung, Banjarnegara, dan Purwokerto.

Kebetulan Gotri baru dipropagandai temannya bahwa ada jalan alternatif dari Bumiayu yang langsung bersambung ke Kuningan, tak harus melewati Brebes-Tegal-Losari-Cirebon terlebih dulu. Dan jalur itu pun tertera dengan jelas di peta brosur jalur mudik Pulau Jawa yang diterbitin Indosat. Maka kami pun sepakat melewati jalur itu, itung-itung berpetualang merintis alur jalan baru yang belum pernah terjamah sebelumnya.
Hari Jumat malam kami cabut ke Semarang. Dan Sabtu pagi kami berangkat pakai dua mobil. Gotri di Mazda-nya bareng Bapak dan Ibu, sedang aku bareng Itok, adikku nomor dua, dan Evi serta Danang (his wife & son) di Kijang pinjeman dari Noeg, sohib Gotri. Mengapa dari Semarang? Karena kami melewati jalur alternatif lain yang menghubungkan Semarang dengan Jimbaran, Bandungan, dan lantas Temanggung.
Perjalanan berlangsung nyantai dan lancar hingga Purwokerto. Sebelum masuk Bumiayu sekitar jam 3 sore, kami berhenti sebentar dan Danang pindah ke Mazda. Sekitar pukul 4 kami mencapai Bumiayu dan membelok ke ruas jalan alternatif yang langsung menuju Kuningan. Kami tidak melewati jalur utama yang menghubungkan Bumiayu dengan Cirebon.
Karena melintasi jalur alternatif yang asing, pemandangan pun indah dan sangat eksotik. Jalan sangat sepi. Tak ada bus, truk, apalagi kemacetan arus balik. Pemandangan sawah berteras yang tersaji sama indah dengan foto sawah yang ada di brosur-brosur wisata. Pokoke top lah.
Tapi kemudian jalanan mulai menanjak, menanjak, dan kian menanjak. Kami jelas mulai memasuki kawasan gunung, karena pohon-pohon yang ada di kanan-kiri sangat asing dan semua luar biasa jangkung. Bukan jenis pohon yang lazim tumbuh di sekitar rumah. Selain itu permukiman manusia mulai langka terlihat. Tak ada manusia, atau bahkan kendaraan lain yang sama-sama lewat di jalan itu.
Dari jendela kulihat kami tengah mendaki sebuah gunung. Jalan berkelok-kelok mirip hidung Petruk dan terus menanjak. Seperti biasa, aku selalu punya ketakutan terhadap jalan mendaki di lereng gunung, takut kalau mobilnya nggak kuat nanjak. Kulihat juga di patok penunjuk jarak tertulis singkatan “SLM” dan angka 20. Meski ngeri mendaki, seenggaknya aku udah lega. Di puncak bukit sana pasti ada sebuah kota dalam jarak 20 kilo lagi.
Setelah menaklukkan tanjakan dan melewati hutan belantara gung liwang liwung, kami akhirnya sampai di puncak bukit. Dan benar di sana memang ada sebuah kota dengan trigram SLM, yaitu Kecamatan Salem yang masuk wilayah Kabupaten Brebes. Karena terletak di tengah hutan di puncak bukit, Salem tak seperti Ungaran atau Ambarawa sebagai sesama kota kecamatan, tapi lebih mirip kayak sebuah dusun besar.
Meski begitu aku bener-bener lega karena kusangka petualangan mendaki gunung dan menembus belantara sudah berakhir. Kota kecamatan berikutnya mungkin sudah termasuk wilayah Kabupaten Kuningan, jadi kami bisa segera masuk hotel dan beristirahat sebelum malamnya bertamu ke rumah Inggit.
Tapi dugaanku meleset. Selepas Salem dan melintasi kelurahan-kelurahan di bawah kewenangannya, jalan justru makin memburuk. Tanjakan makin terjal dan aspal mulus mulai menipis, berganti dengan aspal kasar yang berlubang-lubang, jalan tanah yang sedikit becek, dan akhirnya jalan keras yang lebih mirip sungai kering. Aku cemas karena cuaca mulai gelap dan azan magrib berkumandang di kejauhan.
Tiba di sebuah masjid yang seolah terletak di dusun terpencil di ujung dunia, kami berhenti untuk pipis. Pada seorang bapak di sana kami bertanya apa Kuningan masih jauh. Dia jawab, tinggal 38 kilo. Nggak terlalu jauh, batinku. Sama kayak jarak Magelang-Jogja. Aku pun lega kembali, terlebih waktu dia bilang 1 kilo di depan jalan akan kembali bagus beraspal seperti sediakala.
Kami pun melanjutkan perjalanan kembali. Tapi harapan soal Kuningan malah berubah jadi kayak teror yang menyeramkan. Selepas dusun itu tadi, kami seperti terperosok ke hutan belantara perawan dalam cerita-cerita horor-thriller. Tak ada lagi desa, manusia, kendaraan lain, atau bahkan hanya perlengkapan yang sedikit berbau teknologi kayak kabel listrik, kabel telepon, atau lampu jalan.
Sekeliling penuh berisi pohon dan semak belukar lebat yang seakan belum pernah lagi dijamah manusia sejak zaman VOC. Terdengar juga suara-suara binatang hutan yang aneh-aneh, menyeramkan, dan tak biasa terdengar di sekitar rumah. Sementara cuaca jadi gelap sempurna karena malam emang telah datang. Hawa yang dingin menggigit dan gerimis kecil membuat suasana kian mengerikan.
Itu masih ditambah lagi dengan kondisi jalan yang fantastis. Tanjakan dan kelokan luar biasa ekstrem sehingga aku sempat pesimistis jalanan ini memang dibuat agar bisa dilalui kendaraan normal. Ternyata setelah bukit yang tadi, masih ada satu bukit lagi yang harus dilalui, dan yang ini jauh lebih gawat.
Terjalnya tanjakan bahkan sampai membuat roda-roda hampir tak mampu mencengkeram permukaan jalan. Mesin mampu mengatasi, tapi tiap kali gas ditekan pol, roda bukannya bergerak, justru malah berdecit-decit selip di aspal. Aku sampai merinding. Kalau yang ini emang petualangan anak muda off road pakai jip Wrangler atau Landrover, aku pasti menikmatinya. Tapi ini perjalanan piknik keluarga dalam rangka kenalan keluarga calon besan. Pakai bawa balita dan ibu hamil lagi.
Untung akhirnya puncak gunung terlewati. Aku lega lagi karena jauh di bawah sana lampu-lampu mulai terlihat, yang berarti kami akan memasuki kawasan permukiman dan bertemu manusia lumrah lagi. Sayang tantangan belum berakhir. Turun gunung ternyata sama berat dengan naiknya. Begitu curamnya turunan sampai-sampai mobil nyaris nggak bisa direm. Udah gitu jalanan masih licin dan tikungannya masih sama buas dengan pas jalan naiknya tadi.
Aku rasanya kayak baru aja selamat dari hujan peluru di parit-parit Perang Dunia I ketika kedua mobil selamat melintasi jalan rata lagi. Desa-desa mulai terlihat. Dan baru kemudian aku melihat patok penunjuk jarak yang bertuliskan “KNG-38” jauh sesudah kami meninggalkan masjid yang tadi.
“Kuningan 38 kilo lagi” yang dikatakan bapak itu tadi pastilah jarak dari sana ke Kabupaten Kuningan, bukan ke Kota Kuningan. Dan sekarang kami berada 38 kilo dari Kota Kuningan, dalam jarak sekitar 60 atau 70 kilo sesudah kami naik-turun gunung membelah hutan perawan.
Akhirnya, setelah ngebut sejadi-jadinya, kami baru sampai Kuningan dan masuk hotel sekitar pukul 20.30. Ruarr biasa! Berarti kami jalan Semarang-Kuningan selama 12 jam, padahal bila lewat jalur Pantura dengan kemacetan average model arus balik, kami mungkin sudah mencapai Kuningan sekitar jam 3 atau 4 sore tadi.
Sesudah mandi, kami langsung berangkat ke rumah keluarga calon besan, tapi aku sudah setengah hidup. Capek luar biasa. Bukan capek fisik, tapi lebih karena capek mental sesudah diteror medan penuh tantangan di sekitar wilayah Kecamatan Salem, Brebes.
So, kalau ada yang suka avonturir bermobil, jalur jalan Bumiayu-Salem-Kuningan patut dicoba dijelajahi. Pasti emang nggak semengerikan jalur jalan perintis di Kalimantan, Sulawesi, atau Papua, tapi tetap layak dijajal sekadar untuk bersenang-senang…
And I will never forget Salem.

3 komentar:

  1. Wah ..mas saya baca ini jadi ingat kampung halamanku. Emang daerahnya kaya gitu masih perawan ,aku juga ngga berani kalo dah malam lewat jalan hutan begitu.

    BalasHapus
  2. Anonim07.25

    Patut disukuri mas anda selamat sampai tujuan,dan anda baru sekali lewat salem. Saya 7 tahun ditugaskan di salem, di ujung barat kec. salem batas kuningan, dengan perjalanann 7 jam dari gombong and jalan kaki 2 jam. dan saya selamat dari bencana longsor yang menimpa daerah kami. namun duka tetap terkenang dengan hilangnya sahabat2 kami dalam bencana itu.

    BalasHapus
  3. Anonim15.24

    Pengalaman yang sama saya rasakan minggu lalu.
    Dari Cirebon, sebelum masuk Tanjung jam 02.00 dini hari, ada tulisan PURWOKERTO ke kiri, main tancap saja ...., kirain nanti tembus Ketanggungan, malah nyasar sampe Salem.
    Nyetir sendirian (tidak ada penumpang), masuk hutan gelap, dini hari ... alhamdulillah sampe juga akhirnya tembus Bumiayu jam 03.45... napas lega...
    Cukup sekali saja pengalaman ini... masih mending macet rupanya..., atau tunggu perbaikan jalan (pembetonan), kemarin pas lewat lagi di kerjain.

    BalasHapus