scribo ergo sum

Senin, 06 November 2006

Harusnya Jadi "Cerita Silat"

12:21 Posted by wiwien wintarto No comments
Judul: New Age
Pengarang: Andryan Suhardi
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tebal: 286 halaman
Genre: Drama
Cetakan: Ke-1 (Agustus 2006)
My Grade: D+
Menghadirkan sebuah tema yang unik dan langka adalah sebuah kelebihan tersendiri. Suatu usaha yang patut diacungi jempol. Tapi jika keuniklangkaan itu tak tergarap maksimal, situasinya akan berasa kayak saat kita nonton film pemenang Cannes tapi malah ditinggal ngobrol sendiri. Novel New Age karya Andryan Suhardi mengalami fenomena itu.
New Age memotret sebuah dunia yang belum pernah disentuh novel-novel teenlit lain sebelumnya: Pelatnas bulutangkis. Daripada sekadar menghadirkan kisah gemerlap remaja-remaja kaya raya Ibukota, Andryan memilih untuk menyuguhkan cerita perjuangan para pebulutangkis putri yunior nasional.

Halaman awal dibuka dengan adegan Senjaya, pelatih tunggal putri Pelatnas, yang membuka catatan tentang anak-anak didiknya. Untuk musim yang baru, ia akan melatih enam orang pemain tunggal putri, yaitu Carolin, Joselyn, Loveliani, Maya, Lidya, dan Kaka. Dua nama terdepan menjadi tokoh-tokoh utama novel ini.
Carolin tumbuh dari keluarga miskin. Ia hidup hanya bersama Pak Ali, ayahnya yang terpaksa jadi single parent sejak isterinya meninggal saat melahirkan Carolin. Pak Ali bekerja sebagai tukang sayur dengan gerobak kelilingan. Mereka tinggal di gubuk pinggir danau kumuh. Kepungan nyamuk membuat Carolin piawai menyabet nyamuk pakai pemukul. Dari situlah bakatnya main bulutangkis terasah.
Melihat bakat besar itu, Pak Ali rela melakukan apa saja untuk memasukkan Carolin ke klub, termasuk berutang ke Pak Nauli, seorang rentenir. Carolin pun akhirnya berhasil masuk ke klub, dan dari situ ia kemudian terpilih menghuni Pelatnas.
Berkebalikan dengannya, Joselyn berasal dari keluarga kelas atas. Pak Suroso, ayahnya, merupakan pemilik Kenanga, pembuat peti mati paling top di Indonesia. Pak Suroso awalnya menghalang-halangi niat Joselyn main badminton. Keadaan berubah ketika ia kemudian divonis menderita leukemia. Ia mengizinkan Joselyn masuk klub asal putrinya itu tak pernah kalah dalam tiap turnamen yang ia ikuti.
Di Pelatnas, Carolin dan Joselyn ditempa Senjaya untuk mengikuti Indonesia Open. Lawan terberat mereka adalah Lie Ling dari China dan Bae Soong Ra dari Korea, yang merupakan pemain peringkat pertama dan kedua dunia. Dua puluh halaman terakhir berisi drama perjalanan ajaib Carolin dan Joselyn di turnamen bergengsi itu, hingga mereka bertemu dengan Lie dan Bae di semifinal.
Ditilik dari segi tema, New Age adalah sebuah terobosan yang amat menarik. Dalam strata usia pembaca maupun genre apapun, jarang-jarang novel kita menyuguhkan cerita soal bulutangkis. Situasi yang cukup memprihatinkan mengingat Indonesia adalah negara superpower olahraga ini (alih-alih badminton, novel-novel teenlit kita justru getol sekali menampilkan olahraga bola basket—mungkin karena dianggap lebih “cool” karena berasal dari Amrik!).
Sayang Andryan gagal memilih fokus ceritanya. Sebuah cerita tentang dunia bulutangkis akan jadi kisah yang kuat bila dituturkan dalam gaya cerita silat, mirip anime atau manga Jepang macam Captain Tsubasa. Carolin bertemu dengan para legenda, nama-nama besar, tokoh-tokoh “golongan hitam”, jurus-jurus dropshot atau smash paling mematikan, menjalani pertarungan-pertarungan terdahsyat, dan kemudian mempelajari serta menyempurnakan jurus baru yang membuatnya menjelma menjadi jagoan muda tanpa tanding.
Dengan pendekatan demikian, New Age akan sangat mengesankan bila hanya fokus pada petualangan Carolin dan Joselyn dalam Indonesia Open sejak babak kualifikasi (karena mereka pemain yunior yang belum memiliki peringkat dunia IBF) hingga semifinal saat bertemu Lie dan Bae.
Tapi Andryan justru mencampurnya dengan melodrama-melodrama yang tak perlu. Dibilang tak perlu karena premis “anak miskin yang jadi ngetop” dan “keluarga dekat yang kena leukemia dan umurnya tinggal sekian bulan” sudah terlalu usang dan seharusnya tak ditampilkan lagi dalam karya literatur pop abad ke-21.
Selain itu dua flashback yang ditampilkannya soal masa lalu Carolin dan Joselyn waaay waaaaayy too far, sebab dimulai saat Pak Ali dan Pak Suroso masih bujang dan pedekate dengan Yuliati dan Jessica sebelum kemudian keduanya melahirkan Carolin dan Joselyn. Kenapa nggak sekalian mengisahkan masa kecil Pak Ali dan Pak Suroso di kampung masing-masing?
Andryan juga kerap menampilkan unsur-unsur kecil yang meragukan secara logika. Benarkah ada rentenir yang tega mematok bunga pinjaman sampai 25% perbulan? Bukankah itu amat fantastis, karena bunga kartu kredit yang sekitar 3% aja udah cukup bikin saya megap-megap? (malah buka rahasia…!)
Benarkah pohon cemara bisa didaki? Kalaupun memang iya, menggambarkan Joselyn sebagai bocah lincah dengan mendaki pohon kelapa atau pohon jambu tetap akan terdengar lebih masuk akal dan “dekat” dengan keseharian kita.
Jurus Gaya Gunting Yenny yang menggambarkan seorang pebulutangkis memindah raket dari tangan kanan ke kiri atau sebaliknya juga terasa agak fantastis. Seandainyapun itu mungkin dilakukan, sejarah bulutangkis pasti pernah mengenalnya. Tapi yang kita tahu selama ini hanya jurus-jurus yang lebih realistis seperti King smash, reli dan dropshot silang ala Susi Susanti, atau gaya superdefensifnya Icuk.
Dan sebagai sebuah kisah tentang bulutangkis, New Age jadi terasa amat ganjil karena tak pernah satu kalipun menyebut nama IBF, PBSI, Cipayung, dan nama-nama dari dunia nyata kecuali Susy Susanti. Padahal sedikit kenalakan kreatif untuk menghadirkan para legenda seperti Ardy BW, Taufik Hidayat, Mia Audina, Lin Dan, Xie Xinfang, atau Simon Archer sebagai “cameo” akan membuat cerita lebih hidup karena punya “connection” dengan jagat perbulutangkisan dunia nyata.
But overall, Andryan berhasil merebut perhatian kita dengan cerita bulutangkisnya yang seru dan menarik. Untuk novel berikut, kita berharap ia bisa menampilkan cerita yang lebih unik lagi, seperti kisah hidup para pelintas batas di Entikkong, cewek-cewek ABG Indramayu yang rela jadi korban trafficking dan “berkarier” di Jakarta, atau para remaja yang belajar debus di Banten…

0 komentar:

Posting Komentar