Kenalkan, ini Aria Danang Wijanarko, keponakanku. Dia anak sulung Itok, adikku, yang tanggal 7 Otober 2006 kemaren tepat berumur 2 tahun. Danang dan aku sangat dekat, karena aku menongkronginya sejak masih bayi. Sekarang pun, meski tak tinggal serumah lagi, kami masih kerap ketemu, karena rumah dia di Gedawang dekat dengan rumah kontrakanku di Pudakpayung.
Pas Lebaran tempo hari, seluruh personel keluarga Pak Bei kumpul di rumah Gedongan, Borobudur, Kabupaten Magelang. Danang juga mudik bareng kedua ortunya. Ikut mudik adalah kedua adikku lainnya lagi, yaitu Gotri yang jadi wartawan di Kompas dan Esty, wartawan Cempaka Minggu Ini.
Asal tahu aja, orang-orang rumahku wartawan semua. Bapaknya Danang juga jadi wartawan, tepatnya produser siaran berita di Pro TV Semarang. Cuma aku tok yang bukan wartawan lagi, setelah Tabloid Tren ditutup Desember tahun lalu.
Anyway, pas hari Jumat tanggal 27 Oktober, aku diajak Gotri yang mau beli baju dan oleh-oleh buat camernya di Kuningan, Jabar. Kita beli baju di Matahari Magelang, sekitar 20 kilo dari desa. Nah, karena Evi, nyokapnya Danang, lagi hamil muda dan harus istirahat, ibuku nyuruh aku membawa Danang pergi sekalian.
Danang termasuk bukan anak mami banget. Dia bisa nongkrong, ngeceng, dan pergi-pergi dengan siapapun juga tanpa perlu ditemani bonyoknya. Dan dia nggak pernah rewel asal sebelum pergi sudah memakai pampers dan minum susu Dancow 1+ rasa vanila (kok malah iklan…?). Singkat kata, kita pun cabut bertiga naik sedan Mazda-nya Gotri. As usual, Danang ngorok sepanjang jalan. Aku nggak khawatir Danang bakal kenapa-kenapa karena semua kebutuhannya sudah dicukupi sejak dari rumah.
Tiba di dept store, kita pun berpencar. Gotri beli-beli baju, sedang aku momong Danang berkeliling pasaraya. Awalnya semua berjalan lancar, sampai ketika aku melihat Danang meringis-ringis sambil ngeden (mengejan) saat lagi kuajak melihat-lihat sepeda balap.
Tahu apa yang terjadi, saat itu aku pengin berteriak “NOT NOW!!”. Ya, dia pasti e’ek. Meski dia pakai pampers, aku tetap bingung. Gimana harus mengatasinya? Aku nggak dibekali celana dan pampers cadangan. Dan lagi, aku belum punya anak—sama sekali belum belajar teknik membersihkan toddler yang pup. Mending kalau cuma pipis dan ngompol di celana. Lha, ini buang air gede je…
Suasana makin membingungkan ketika bau “harum” e’ek Danang mulai tercium. Aku celingukan, dan langsung menggendongnya nyari toilet. At least dia bersih dulu. Urusan lain belakangan. Sambil membopongnya kian-kemari, aku harus memastikan e’ek yang bergerombol di dalam pampers-nya nggak tumpah keluar, karena hal begitu kerap terjadi di rumah saat e’eknya sudah menumpuk dan nggak tertampung pampers lagi. Kalau e’ek tumpah di rumah sih wajar, tapi kalau di Matahari pas suasana ramai gara-gara Lebaran? Hiiy… unimaginable!
Sambil membayangkan bahwa e’ek hanyalah materi limbah yang ilmiah dan kurang lebih sama kayak asap knalpot, aku sukses menceboki Danang, membuang e’ek ke kloset dan pampers kotor ke tempat sampah. Next step: beli celana balita cadangan kalau-kalau dia ntar ngompol, atau beli pampers.
Beli pampers jelas lebih praktis. Maka aku pun mengajak Danang ke supermarket. Pas sudah sampai di deretan kaunter pampers yang biasa dia pakai, aku bingung. Ukurannya apa? S, M, L, apa XL? Aku sama sekali nggak mudeng karena yang tahu cuman bokap-nyokapnya. Lagian baru saat itu aku tahu kalau pampers tu ada juga ukuran S-M-L-nya kayak sempak (celdam-Red).
Aku mencoba ngontak Itok (HP Evi lagi rusak) yang sudah pulang balik ke Semarang, untuk nanya ukuran pampers Danang. Sayang ponselku low-batt. Kuputuskan untuk keluar dan beli celana saja barang dua atau tiga biji. Pas mau pergi, Danang malah santai sekali memungut sebungkus pampers. Rupanya dia tahu kalau itu celana yang biasa dia pakai. Dan dia ngotot mau ambil itu pampers, sama sekali nggak mau melepaskannya. Padahal jelas aku belum bisa ambil kalau belum tahu ukuran buat dia.
Danang pun nangis kekejer ketika pampers kuambil dan kukembalikan ke rak. Sambil menggendong balita yang nangis meronta-ronta karena minta dibeliin pampers, aku keluar menuju tempat baju-baju balita. Celana langsung ketemu, tapi nggak bisa ngambil karena, begitu nangisnya reda, Danang malah guyon cengengesan dan ngajak aku main kejar-kejaran seru di sekitar kaunter baju.
Rencana beli celana pun batal karena aku sibuk mengejar Danang yang lari kian-kemari di tengah keramaian. Takutnya dia nyasar dan ilang. Untung kita lantas papasan lagi dengan Gotri. Segera dia yang kusuruh nanyain ukuran pampers Danang ke Itok. Ternyata ukurannya L. Danang pun kuajak ke supermarket lagi. Kali ini dia bisa tertawa bahagia karena bisa bener-bener mengambil pampers idamannya!
Selesai satu masalah, problem berikutnya menyusul: gimana cara memakaikan pampers? Aku nggak mudeng babar pisan karena itu biasanya urusannya Evi. Evi pun biasanya memakaikan pampers dalam posisi Danang berbaring. Nah, di pasaraya gini, tempat mana yang bisa dipakai Danang telentang?
Akhirnya kubawa saja dia ke salah satu fitting room. Aku belajar kilat cara memakaikan pampers dari instruksi di bungkus pampers. Persis pas celana Danang kulepas, dia tahu-tahu pipis. Aku sempat kelabakan karena pipisnya mengalir memenuhi seluruh penjuru lantai kamar. Dan jelas ini aneh karena kami sedang ada di fitting room, bukan lagi toilet.
Sambil pecicilan menghindari banjir air kencing, aku nekat memakaikan pampers sekenanya. Kerjaanku repot banget karena selagi aku baca instruksi, Danang malah berusaha kabur sambil cengengesan lagi dengan cara merangkak lewat celah bawah pintu fitting room. Orang di luar pasti bingung kalau melihat adegan ganjil ini.
Untung pampers akhirnya terpasang juga, meski nggak tahu apakah kebalik atau nggak. Aku langsung menarik napas lega. The worst is over! Sekarang silakan kalau mau pipis atau e’ek lagi. Semua perbekalan sudah siap tersedia… plus “ilmu”-nya.
Berikutnya, sambil meneruskan acara berkeliling (termasuk memasukkan dia ke kolam bola), aku senang karena secara nggak sengaja udah berlatih good parenting dari Danang. Dari dia aku juga mempelajari fakta bahwa being a parent is a very ridiculously extremely hard job. Udah gitu nggak ada gajinya lagi…!
Tapi tetap saja itu pengalaman yang sangat seru dan menyenangkan. Itung-itung gladi kotor kalau ntar aku jadi ortu beneran, plus makin membuatku suka dengan yang namanya anak-anak kecil. They’re so cute and innocent. Kadang mereka emang nyebelin, tapi dari mereka kita kadang bisa belajar banyak hal… kayak pengalamanku yang ini.
Aku pun jadi nggak ngerti kalau ada berita ortu-ortu yang sadis memukuli dan menyakiti anak-anak mereka. What’s on their mind? What is wrong with those parents? Bagaimana mungkin kita tega menyakiti ladang ilmu dan kebahagiaan kita sendiri…?
Hahaha!
BalasHapusSelamat sinau lewat suhu ganteng yg masih balita yaaa! :)
Gak ngerti juga sama para ortu sadis... wong anak yg sholeh tuh jelas2 titipan Illahi plus tiket ke surga!
Jd, kapan mau resmi nyetak tiket ke surga? ;)
to dewie: sebentar lagi. tunggu tanggal mainnya! dijamin heboh...
BalasHapus