scribo ergo sum

Minggu, 29 Oktober 2006

Spesial Karena Menggugah

13:37 Posted by wiwien wintarto No comments

(**** out of *****)

Ada dua sebab yang bisa membuat sebuah film layak mendapatkan pujian tersendiri. Pertama, pencapaian kualitas sinemateknya, termasuk akting para pemain. Dan kedua, spirit serta “niat baik” yang melatarbelakangi pembuatannya. Denias: Senandung di Atas Awan berhak masuk kategori yang kedua.
Sebab, menyaksikan satu judul film yang tak semata-mata berjualan kegemerlapan dan kemewahan Kota Jakarta adalah sebuah kenyamanan tersendiri. Setidaknya, sebagai warga negara Indonesia, kita sadar kembali bahwa negara kita tak hanya seluas peta DKI Jakarta. Masih ada Papua, Sulawesi, Kalimantan, dan, sebagaimana kata salah seorang murid dalam film ini, “Pulau Bromo”!

Denias mengambil setting lokasi yang sangat tidak lazim. Tak hanya keluar dari Ibukota, film ini juga keluar dari Jawa dan menuju satu tempat jauh di timur sana yang hampir-hampir tak pernah “masuk” film apalagi sinetron: Papua.
Film ini mengikuti perjalanan dan petualangan seorang anak biasa dari suku Hony, Denias (Albert Fakdawer). Ia punya hobi berburu kuskus, takut suatu saat akan ditelan gunung, dan memiliki obsesi yang pasti akan membuat anak-anak seusianya di Jakarta melongo heran, yaitu sekolah!
Betul. Bagi Denias, bisa bersekolah dan memakai seragam putih-merah adalah sama monumental dengan impian kita menang kuis Rp 3 miliar atau lolos audisi Indonesian Idol. Sayang satu-satunya bangunan yang bisa disebut sekolah di desa Denias adalah sebuah bangunan reot tak berdinding dan rawan rubuh bila gempa datang.
Impian Denias makin menguap ketika Pak Guru (Mathias Muchus) pulang ke Jawa karena isterinya sakit parah. Tugas sebagai guru darurat kemudian diambil alih seorang anggota TNI bernama Sersan Mayor Hartawan (Ari Sihasale) yang oleh penduduk setempat biasa dipanggil Maleo.
Maleo bilang, di kota ada satu sekolah fasilitas yang amat bagus dan lengkap. Sayang jarak ke sana jauh, dan anak Papua biasa seperti Denias mungkin tak akan diperbolehkan memasuki sekolah itu.
Serentetan tragedi kemudian mengubah jalan hidup Denias. Mamanya (Audrey Papilaya) tewas dalam insiden kebakaran honai, sekolahnya benar-benar rubuh oleh gempa berkekuatan 5,8 skala Richter, dan Maleo pergi karena memenuhi panggilan tugas sebagai anggota Kopassus. Merasa tak memiliki harapan lagi tinggal di kampungnya, ia lantas minggat dan menuju kota untuk satu impian sederhana: bisa sekolah.
Setelah menempuh perjalanan berhari-hari, Denias sampai di kota. Di sana ia bertemu dengan Enos (Manos Karibu), gelandangan putus sekolah yang luntang-lantung di jalanan kota dengan menjadi pencuri. Berkat Enos, Denias bisa mendekati lokasi sekolah fasilitas seperti yang dikatakan Maleo.
Di sana, kepolosan (dan juga ketampanan) Denias menarik perhatian Ibu Guru Sam (Marcella Zalianty) dan Angel (Pevita Eileen Pearce), gadis tercantik di sekolah. Melalui keduanyalah Denias berjuang untuk dapat mewujudkan impian terbesarnya untuk bersekolah dan mengenakan seragam putih-merah.
Denias: Senandung di Atas Awan dibesut oleh sutradara spesialis sinetron, John De Rantau. Sebelumnya John dikenal saat menggarap serial Ali Topan Anak Jalanan dan Dara Manisku. Studio produksinya sendiri adalah Alenia Productions, rumah produksi baru milik pasangan suami isteri Ari Sihasale dan Nia Sihasale Zulkarnaen.
Yang membuat Denias menarik sekali lagi adalah semangat yang dibawanya. Tak seperti film-film lain yang hanya menyuguhkan tema “tanpa guna” macam cinta roman usang, sex & love serba bebas ala metropolitan, atau hantu yang tidak jelas ujung pangkalnya, Denias mengingatkan kembali bahwa perjuangan, persahabatan, dan sekolah masihlah tetap penting.
Tengok adegan saat Denias menangis terharu sesudah menerima pemberian seragam sekolah dari Maleo. Atau saat Enos berlarian pulang ke kampungnya yang berjarak, bukan kilometer tapi “sekian hari perjalanan”, hanya untuk mengambil buku rapor agar ia bisa kembali bersekolah.
Kapan terakhir kali kita melihat gambaran perjuangan yang setulus itu di layar lebar dan layar kaca kita? Yap, memang belum pernah. Kedua jenis layar kita itu selama ini hanya dipenuhi sosok figur-figur warga Ibukota yang tak jelas memperjuangkan dan menggapai impian apa.
Sayang Denias terjebak dalam kebiasaan baru film kita masa kini, yaitu dengan semena-mena mendeklarasikan diri sebagai film yang diangkat (atau terinspirasi) kejadian nyata. Konsekuensi dari pernyataan itu adalah, sebuah film harus dengan gamblang menunjukkan tempat dan waktu saat peristiwa yang dipaparkannya terjadi.
Denias tidak memberi penjelasan itu. Tak ada penunjuk waktu (tanggal, bulan, tahun) saat film ini dimulai dan lokasi yang lebih eksak ketimbang hanya “Desa Denias” atau “kota”. Padahal film ini diangkat dari kehidupan nyata Janias, anak Papua pedalaman yang bisa sekolah dan kini tengah kuliah di Australia.
Selain itu, sebagaimana umumnya kebiasaan film Indonesia lain, tak ada ruang untuk membuat tiap tokoh berdiri sendiri-sendiri sebagai karakter yang unik dan “berguna”. Kita tak tahu siapa itu sebenarnya Pak Guru, Maleo, Bu Sam, Angel, Noel si bandel, atau Enos.
Mereka hanya sekadar alat untuk mengiringi perjalanan sang tokoh utama. Selebihnya, mereka statis saja seperti patung dan tinggal “melaksanakan” tugas masing-masing, lalu hilang dan tak pernah dibahas lagi kecuali pada denoument (tulisan di akhir film yang menerangkan peristiwa terkini yang tengah dijalani semua tokoh).
Selain itu banyak unsur yang tak tergarap maksimal. Petualangan Denias saat berjalan menjelajahi hutan, gunung, dan sungai untuk menuju kota hanya dibeberkan setengah hati. Padahal bagian itu bisa sangat menggigit jika dipaparkan secara detail dan agak panjang sebagaimana dalam, katakanlah misalnya, Homeward Bound.
Tapi di atas itu semua, meski masih banyak bolong di sana-sini, Denias adalah sebuah tontonan yang spesial karena menggugah. Tak setiap hari kita menyaksikan sebuah film tempat orang rela melakukan dan mengorbankan apa saja hanya agar dapat memakai seragam, berdiri tegak saat upacara bendera, dan menghormat serta menyanyikan lagu Indonesia Raya sepenuh hati, bukan hanya sekadar kewajiban mingguan yang berat dan membosankan.
Denias: Senandung di Atas Awan pun mirip seorang anak kecil yang belum lancar mengendarai sepeda roda tiga tapi sudah bulat bercita-cita untuk menjadi pembalap jika besar nanti. Untuk keteguhan seperti itu, kita layak mengacungkan jempol. Bukan hanya satu, tapi dua…


(Dimuat di Suara Merdeka, 29 Oktober 2006)

0 komentar:

Posting Komentar