(**** out of *****)
Ada dua sebab yang bisa membuat
sebuah film layak mendapatkan pujian tersendiri. Pertama, pencapaian kualitas
sinemateknya, termasuk akting para pemain. Dan kedua, spirit serta “niat baik”
yang melatarbelakangi pembuatannya. Denias:
Senandung di Atas Awan berhak
masuk kategori yang kedua.
Sebab, menyaksikan satu judul
film yang tak semata-mata berjualan kegemerlapan dan kemewahan Kota Jakarta adalah
sebuah kenyamanan tersendiri. Setidaknya, sebagai warga negara Indonesia, kita
sadar kembali bahwa negara kita tak hanya seluas peta DKI Jakarta. Masih ada
Papua, Sulawesi, Kalimantan, dan, sebagaimana kata salah seorang murid dalam
film ini, “Pulau Bromo”!
Denias mengambil setting lokasi yang
sangat tidak lazim. Tak hanya keluar dari Ibukota, film ini juga keluar dari
Jawa dan menuju satu tempat jauh di timur sana yang hampir-hampir tak pernah
“masuk” film apalagi sinetron: Papua.
Film ini mengikuti perjalanan dan
petualangan seorang anak biasa dari suku Hony, Denias (Albert Fakdawer). Ia
punya hobi berburu kuskus, takut suatu saat akan ditelan gunung, dan memiliki
obsesi yang pasti akan membuat anak-anak seusianya di Jakarta melongo heran,
yaitu sekolah!
Betul. Bagi Denias, bisa
bersekolah dan memakai seragam putih-merah adalah sama monumental dengan impian
kita menang kuis Rp 3 miliar atau lolos audisi Indonesian Idol. Sayang
satu-satunya bangunan yang bisa disebut sekolah di desa Denias adalah sebuah
bangunan reot tak berdinding dan rawan rubuh bila gempa datang.
Impian Denias makin menguap
ketika Pak Guru (Mathias Muchus) pulang ke Jawa karena isterinya sakit parah.
Tugas sebagai guru darurat kemudian diambil alih seorang anggota TNI bernama
Sersan Mayor Hartawan (Ari Sihasale) yang oleh penduduk setempat biasa
dipanggil Maleo.
Maleo bilang, di kota ada satu
sekolah fasilitas yang amat bagus dan lengkap. Sayang jarak ke sana jauh, dan
anak Papua biasa seperti Denias mungkin tak akan diperbolehkan memasuki sekolah
itu.
Serentetan tragedi kemudian
mengubah jalan hidup Denias. Mamanya (Audrey Papilaya) tewas dalam insiden
kebakaran honai, sekolahnya benar-benar rubuh oleh gempa berkekuatan 5,8 skala
Richter, dan Maleo pergi karena memenuhi panggilan tugas sebagai anggota
Kopassus. Merasa tak memiliki harapan lagi tinggal di kampungnya, ia lantas
minggat dan menuju kota untuk satu impian sederhana: bisa sekolah.
Setelah menempuh perjalanan
berhari-hari, Denias sampai di kota. Di sana ia bertemu dengan Enos (Manos
Karibu), gelandangan putus sekolah yang luntang-lantung di jalanan kota dengan
menjadi pencuri. Berkat Enos, Denias bisa mendekati lokasi sekolah fasilitas
seperti yang dikatakan Maleo.
Di sana, kepolosan (dan juga
ketampanan) Denias menarik perhatian Ibu Guru Sam (Marcella Zalianty) dan Angel
(Pevita Eileen Pearce), gadis tercantik di sekolah. Melalui keduanyalah Denias
berjuang untuk dapat mewujudkan impian terbesarnya untuk bersekolah dan
mengenakan seragam putih-merah.
Denias: Senandung di Atas Awan dibesut oleh sutradara spesialis
sinetron, John De Rantau. Sebelumnya John dikenal saat menggarap serial Ali Topan Anak Jalanan dan Dara
Manisku. Studio produksinya sendiri adalah Alenia Productions, rumah
produksi baru milik pasangan suami isteri Ari Sihasale dan Nia Sihasale
Zulkarnaen.
Yang membuat Denias menarik sekali lagi adalah semangat
yang dibawanya. Tak seperti film-film lain yang hanya menyuguhkan tema “tanpa
guna” macam cinta roman usang, sex
& love serba bebas
ala metropolitan, atau hantu yang tidak jelas ujung pangkalnya, Denias mengingatkan kembali bahwa perjuangan,
persahabatan, dan sekolah masihlah tetap penting.
Tengok adegan saat Denias
menangis terharu sesudah menerima pemberian seragam sekolah dari Maleo. Atau
saat Enos berlarian pulang ke kampungnya yang berjarak, bukan kilometer tapi
“sekian hari perjalanan”, hanya untuk mengambil buku rapor agar ia bisa kembali
bersekolah.
Kapan terakhir kali kita melihat
gambaran perjuangan yang setulus itu di layar lebar dan layar kaca kita? Yap,
memang belum pernah. Kedua jenis layar kita itu selama ini hanya dipenuhi sosok
figur-figur warga Ibukota yang tak jelas memperjuangkan dan menggapai impian
apa.
Sayang Denias terjebak dalam kebiasaan baru film
kita masa kini, yaitu dengan semena-mena mendeklarasikan diri sebagai film yang
diangkat (atau terinspirasi) kejadian nyata. Konsekuensi dari pernyataan itu
adalah, sebuah film harus dengan gamblang menunjukkan tempat dan waktu saat
peristiwa yang dipaparkannya terjadi.
Denias tidak memberi penjelasan itu. Tak
ada penunjuk waktu (tanggal, bulan, tahun) saat film ini dimulai dan lokasi
yang lebih eksak ketimbang hanya “Desa Denias” atau “kota”. Padahal film ini
diangkat dari kehidupan nyata Janias, anak Papua pedalaman yang bisa sekolah
dan kini tengah kuliah di Australia.
Selain itu, sebagaimana umumnya
kebiasaan film Indonesia lain, tak ada ruang untuk membuat tiap tokoh berdiri
sendiri-sendiri sebagai karakter yang unik dan “berguna”. Kita tak tahu siapa
itu sebenarnya Pak Guru, Maleo, Bu Sam, Angel, Noel si bandel, atau Enos.
Mereka hanya sekadar alat untuk
mengiringi perjalanan sang tokoh utama. Selebihnya, mereka statis saja seperti
patung dan tinggal “melaksanakan” tugas masing-masing, lalu hilang dan tak
pernah dibahas lagi kecuali pada denoument (tulisan di akhir film yang
menerangkan peristiwa terkini yang tengah dijalani semua tokoh).
Selain itu banyak unsur yang tak
tergarap maksimal. Petualangan Denias saat berjalan menjelajahi hutan, gunung,
dan sungai untuk menuju kota hanya dibeberkan setengah hati. Padahal bagian itu
bisa sangat menggigit jika dipaparkan secara detail dan agak panjang
sebagaimana dalam, katakanlah misalnya, Homeward
Bound.
Tapi di atas itu semua, meski
masih banyak bolong di sana-sini, Denias adalah sebuah tontonan yang spesial
karena menggugah. Tak setiap hari kita menyaksikan sebuah film tempat orang
rela melakukan dan mengorbankan apa saja hanya agar dapat memakai seragam,
berdiri tegak saat upacara bendera, dan menghormat serta menyanyikan lagu Indonesia Raya sepenuh hati, bukan hanya sekadar
kewajiban mingguan yang berat dan membosankan.
Denias: Senandung di Atas Awan pun mirip seorang anak kecil yang
belum lancar mengendarai sepeda roda tiga tapi sudah bulat bercita-cita untuk
menjadi pembalap jika besar nanti. Untuk keteguhan seperti itu, kita layak
mengacungkan jempol. Bukan hanya satu, tapi dua…
(Dimuat di Suara
Merdeka, 29 Oktober 2006)
0 komentar:
Posting Komentar