Ini dikirim salah seorang temannya teman di milis. Semoga bisa me-F5 (refresh) pemahaman kita bahwa yg namanya kebanggaan nasional itu nggak mesti berurusan dengan hal-hal yang serba hebat, megah, mewah, patriotik, heroik, dllsb...
From: antonia [mailto:antonia@ indonesiaexport. com]
Memandang Indonesia dari sisi lain, entah ngeledek ato bangga, tapi menggelitik. ....
Anda orang Indonesia? Masih tinggal di Indonesia? Di Jakarta? Ke kantor naik bis umpel-umpelan? Lalu lintas macet? Pernah Naik kereta super ekonomi ke Yogya or Surabaya? Pernah kebajiran? Pernah dipalakin di bus sama gerombolan preman?
Ok, sekarang saya serius.
Kalau Ada yang bertanya: apa sih yang bisa dibanggakan for being Indonesian? Maka jawaban saya adalah: Kita.
Kita harus bangga karena kita orang Indonesia Bisa dan Biasa hidup
susah!!!Becanda lagi nih?
Nggak, saya Serius!! Saya nggak boong. Kalau saya boong biarkan Tuhan memberikan cobaan yang berat pada saya
(red: katanya harta yang berlimpah merupakan cobaan yang berat)Kemampuan
untukhidup susah (saya sebut aja "survival ability" ya) tidak dimilikiorang-orang yang lama hidup di negara-negara mapan.
Boss saya (orang India) pernah cerita: suatu ketika temannya, sebut saja Sarukh, dan keluarganya, pamit pada boss saya pulang ke negara asalnya India yang murah meriah untuk menikmati pensiun dini, setelah 15 tahun kerja di Singapore.
Eeeeeee? ... belum satu tahun pamitan pulang ke India, si Sarukh sudah balik lagi ke Singapore , dan kali ini minta bantuan Boss saya untuk dicariin kerjaan lagi di Singapore.
What happened? Tanya boss saya.
Sarukh bercerita, setelah pulang ke India, anak remajanya yang dibesarkan di Singapore menjadi rada-rada stress dan menjadi pasien tetap psikiater di sana. Selidikpunya selidik agaknya hal itu disebabkan karena
Anaknya Sarukh tidak bisa menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan dari kondisi yang sangat mapan (Singapore) ke kondisi yang sebaliknya (India).
Jadi, dalam hal ini, anak si Sarukh yang sudah biasa hidup dalam kemapanan tidak punya "kemampuan bertahan waras" untuk hidup di negara yang belum mapan. Demi kebaikan anaknya, akhirnya si Sarukh memutuskan menunda pensiun dininya dan kembali kerja di Singapore.
Kalau kita-kita yang sudah biasa hidup susah di Jakarta, pindah or berkunjung ke India sih nggak ada masalah.
Saya jadi ingat, 2 tahun lalu ketika saya dan rekan2 kerja saya berkunjung ke India, boss saya wanti-wanti untuk bawa obat sakit perut, dan selama di India hanya minum-minuman dari botol/kaleng.
Kalau ke restoran local jangan sekali-kali minum air putih yang
disediakan dari dari teko/ceret di restoran tersbut, karena Kebersihan Airnya
tidak terjamin, dan biasanya perut orang asing tidak siap untuk itu; begitu nasehat boss saya.
Pada waktu itu satu rombongan yang berangkat ke India terdiri dari 5
orang. Satu orang Jepang, dua orang Singapore, dan dua orangIndonesia (termasuk saya baru sebulan kerja di Singapore). Dalam 2 minggu kunjungan ke India, kolega dari Singapore dan Jepang langsung menderita diare di Minggu pertama. Diselidiki, kemungkinan penyebabnya adalah mereka pernah memesan kopi atau teh di restoran local pada saat makan siang (yang tentunya tidak dari botol), sementara si orang Jepang, walaupun secara ketat dia hanya minum-
minuman botol atau kaleng selama makan di restoran-restoran lokal, terkena
diare karena dia menggunakan air keran dari hotel untuk berkumur-kumur selama sikat gigi.
Sedangkan saya dan satu orang rekan lagi dari Indonesia sehat walafiat tidak menderita suatu apapun selama di sana (mungkin karena di Indoneisa sudah terbiasa jajan es di pinggir jalan yang mungkin airnya tidak lebih bersih dari air di restoran-restoran India)
What is the moral of the story?
Kita harus bangga karena Kita bisa lebih baik dari orang Jepang danSingapore!!! ! (at least, dalam hal ketahanan perut).
Cerita lainnya lagi, bulan lalu saya di kirim kantor (yang base-nya di Singapore) untuk mengikuti sebuah workshop di Rio de Janeiro Brazil
Total waktu trempuh saya dari Singapore ke hotel saya di Rio adalah 36 jam (termasuk 5 jam transit di Eropa). Sebenarnya, dari Singapore ke Brazil , jalur yang paling umum dan cepat adalah ke arah Timur, transit di Amerika, terus ke Brazil .
Dengan jalur ini saya perkirakan, dalam 26-30 Jam saya sudah bisa mencapai Brazil.
Cuma, karena saya orang Indonesia , untuk transit di Amerika pun saya butuh apply VISA Amerika, yang mana proses aplikasi visa tersebut memerlukan waktu sedikitnya 2 minggu. Padahal, saya tidak punya waktu sebanyak itu. Alhasil, yah begitulah, saya harus memilih rute yang sebelaliknya, mengeliling belahan bumi bagian barat, transit di Amsterdam , dengan waktu tempuhnya 6- 10 jam lebih
lama.Jadinya, cukup melelahkan, tapi nggak apa-apa, namanya juga orangIndonesia, harus terbiasa dengan hal-hal yang susah-susah.
Saya sampai di hotel di Rio, hari minggu jam 11 Malam.Dan keesokan paginya saya langsung mengikuti workshop di sana.Walaupun masih terasa lelah, saya tetap berusaha untuk terlibat aktif
dalamworkshop pagi itu, dengan mengajukan pertanyaan atau memberi masukan
ataspertanyaan peserta lainnya.
Pada saat istirahat, saya sempat berbincang-bincang dengan kolega-
kolegadari Jerman peserta workshop itu.Beberapa dari mereka mengeluh kecapaian dan menderita "jet lag", karenamereka telah menempuh 12 jam perjalanan dari Jerman, dan baru saja
tiba diBrazil hari minggu siang, sehingga belum cukup waktu istirahat untukadaptasi Jet lag, begitu keluh mereka.
Lalu, saya berkata pada mereka, bahwa sebenarnya mereka lebih beruntungdari saya, karena saya harus menempuh 36 jam perjalanan dari
Singapore,dan baru tiba di hotel pukul sebelas malem, kurang dari 12 jam sebelumworkshop dimulai. Mereka tertegun, salah seorang dari mereka bertanya
padasaya: "Tapi kamu naik pesawat, di kelas Bisnis khan?"
"Tidak, jatah saya Cuma kelas ekonomi", jawab saya lagi.
Mereka terlihat semakin terkagum-kagum (atau kasihan?), dan salah
seorangdari mereka memuji."Its very impressive, you guys Singaporean are really-really hard
workers""I'm not Singaporean, I'm Indonesian working in Singapore " jawab sayadengan bangga.
Agaknya, hari itu saya menjadi cukup terkenal di kalangan kolega dariJerman, hanya karena terbang selama 36 jam dari Singapore 12 jamsebelumnya dan masih bisa secara aktif mengikuti workshop tersebut.Saya tahu kalau saya menjadi pembicaraan mereka , karena sewaktu makanmalam, kolega dari jerman lainnya - yang saya tidak pernah ceritakanmengenai perjalanan saya dari Singapore bertanya pada saya tips and
tricksupaya bisa tetap segar setelah menempuh perjalanan begitu lama (iniberarti dia mendapatkan cerita saya dari kolega jerman lainnya).
Saya bingung jawabnya. Ingin sekali saya menjawab :
"Berlatihlah dengan naik kereta api super ekonomi dari Jakarta ke
Surabayadi saat-saat mendekati hari lebaran.Kalau Anda terbiasa dengan alat transportasi ini- di mana tidak hanyaspecies "Homo Sapiens" yang bisa menjadi penumpangnya , dan di tambah
lagiwaktu tempuhnya yang lama sekali karena hampir di setiap setasion
harusberhenti, maka Anda akan bisa menaklukkan semua alat transportasi
terbangapapun yang di muka bumi ini".
Namun, saya urungkan memberi jawaban di atas, karena saya khawatir diatidak akan mengerti atas apa yang saya jelaskan, dan saya yakin merekatidak bisa "survive" dengan alat transportasi ini, yang fasilitasnya
tentujauh dari kelas Bisnis pesawat terbang (Note : kolega saya dari jerman,otomatis mendapat fasilitas kelas bisnis di pesawat apabila waktu
tempuhnyalebih dari 10 jam).
Seminggu, setelah saya pulang dari Workshop di Brazil, entah karenaterkagum-kagum dengan "kemampuan hidup susah" (dari sudut pandang
mereka)yang saya miliki, atau karena alasan lainnya, kolega saya dari Jerman
yangsaya temui di Brazil , menghubungi atasan saya yang intinya meminta
sayauntuk ditugaskan ke Jerman,membantu project yang saat ini sedang berjalan di sana.
Alhasil, bulan September ? November saya akan bergabung dengankolega-kolega di Jerman menyelesaikan project di sana. Cukup
membanggakan,karena, kata boss saya, ini kali pertama "Kantor Pusat" meminta bantuandari kantor cabang untuk mensupport project yang sedang mereka kerjakan
dikantor pusat.
Jadi setelah membaca tulisan ini, saya harap pembaca sekalian punya
alasansemakin bangga menjadi orang Indonesia .
Kalau anda lagi di luar negeri dan ditanya "Anda dari mana?"
Jawablah dengan bangga:
Ya, Saya dari Indonesia ,Negara yang lagi susah,Saya juga hidupnya susahTapi saya bisa "survive", Dan saya bangga karenanya!!!Any Problem???
Sekali Merdeka tetap Merdeka !
Thx sudah menginspirasiku untuk bangga jadi orang dari Negeri-Susah-Mulu. :)
BalasHapusBTW gimana ceritanya bs lengser keprabon ke S'pore?
Bosen jd orang susah yaaaa? :p
wah..wah..
BalasHapustulisan yang bagus, menginspirasi banget. Selama ini yang diceritain orang-orang selalu dari sisi kurangnya orang indonesia..
terima kasih kang!!
buwat dewie sekar hoed: yg ke s'pore mah bukan aku. itu tulisan aku dapet dari milis (yg mana sebenernya bukan milisku tp entah knapa aku bisa terdaftar di situ, aneh...!). aku sih masih susah seperti biasa, hidup bercampur debu di semarang kaligawe kebut2an lawan truk pake motor...
BalasHapusbuwat dendi: trims juga. aku juga terinspirasi kok... yg jelas itu bukan pengalaman pribadiku. aku belum pernah ke singapur apalagi brasil. boro2 singapur, ke tasikmalaya aja belum pernah (jan ngisin2i tenan...)
nasionalisme itu candu yang memabukkan. menyenangkan, tapi pahitnya menyakitkan di akhir cerita. maaf, saya tak bisa (berpura-pura) untuk bangga menjadi orang Indonesia.
BalasHapusbuat udin: ini bukan soal nasionalisme, tapi cuman berusaha untuk mencintai apapun yg kita punyai, biar sejelek apapun juga. entah keluarga, isteri, suami, agama, negara, kampung halaman, kakak-adik, sahabat, adalah harta yg hrs kita cintai tak peduli dia lagi cakep atau jelek, sehat atau sakit, kaya atau miskin. susah kan kalau kita bangga pada indonesia hanya saat indon gagah perkasa kaya amerika atau saat berlimpah uang kaya arab saudi, tapi saat indon susah gini kita seenak hati pergi, berpaling, benci, dan "tidak bisa berpura-pura bangga jadi orang indonesia"? kalau isteri kita cantik, kita cinta, tapi pas dia bengkak gara2 sakit gigi dan jadi jelek, trus kita enak saja bilang ke dia "maaf dik, aku nggak bisa berpura-pura masih cinta kepadamu". waduh, what kind of homo sapiens are we kalo hati kita gampang berubah gitu?
BalasHapusiya..keren habisss
BalasHapushidup endonesia..!!!!