(** out of *****)
Berapa dua tambah dua? Empat?
Yap, itu jawaban yang paling logis secara ilmiah dan dapat dibuktikan
kebenarannya secara empirik pula. Namun dalam dunia perfilman Indonesia, dua
tambah dua bisa jadi satu, lima, delapan, atau dua setengah terserah penulis
skenario.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa
film (dan juga sinetron) kita kerap menampilkan aspek-aspek yang tidak logis
dan seolah memiliki standar “hukum alam” tersendiri. Itu terjadi sejak bangunan
plot, alur cerita, hingga karakterisasi. Fenomena serupa terkandung dalam Mendadak Dangdut, film
terbaru besutan sutradara populer Rudi Soedjarwo.
Mendadak Dangdut berkisah tentang penyanyi pop
generasi MTV yang tengah naik daun, Petris Pontoh
(Titi Kamal). Petris yang judes, tak ramah, antidangdut, tidak sensitif, dan
pemarah dimanajeri oleh kakaknya sendiri, Yulia Pontoh (Kinaryosih).
Berkebalikan dari adiknya, Yulia
berwatak halus dan nrima.
Hubungan mereka selama ini, baik personal maupun profesional, tak terasa macam
hubungan adik-kakak yang mesra dan harmonis, tapi lebih berkesan mirip hubungan
antara majikan dan pembantu dengan Yulia selalu berada di pihak yang kalahan.
Hidup keduanya berubah ketika
suatu malam, sepulang mereka dari wawancara promo album baru Petris di sebuah
stasiun radio swasta, mobil mereka nyasar dan terjaring razia narkoba yang
digelar polisi. Bersama mereka adalah Gerry (Vincent “Clubeighties”), kekasih
Yulia. Dan bersama Gerry adalah sebuah tas besar yang berisi lima kilogram
heroin.
Gerry berhasil melarikan diri
dalam razia itu. Akibatnya, Petris dan Yuliah lah yang jadi korban. Mereka
ditangkap atas tuduhan kepemilikan 5 kg heroin tersebut. Karena takut akan
dihukum mati, mereka nekat melarikan diri lewat jendela toilet yang terbuka
lebar saat Yulia membantu Petris yang mengalami “kebocoran” haid di sebuah
toko.
Dalam kondisi menjadi buronan
aparat, Yulia lantas menemukan tempat persembunyian yang cemerlang untuk
adiknya, yaitu menjadi penyanyi dangdut orkes organ tunggal Senandung Citayam
milik Rizal Saleh Alkatiri (Dwi Sasono). Kebetulan Rizal baru saja ditinggal
pergi penyanyi lamanya gara-gara pertikaian soal besaran honor.
Berbekal kemampuannya sebagai
penyanyi, Petris pun menggantikan tempat Fetty Manis Madu sebagai penyanyi
orkes Senandung Citayam dengan nama panggung Iis Maduma. Yulia masih tetap
bertindak sebagai “manajer”. Dan tanpa setahu Petris, Yulia ternyata menaruh
hati terhadap Rizal.
Episode persembunyian dengan
menyaru menjadi penyanyi dangdut berubah jadi kawah candradimuka yang membenahi
kepribadian Petris. Ia yang antidangdut harus menelan bulat-bulat keangkuhannya
sendiri untuk belajar teknik menyanyi dangdut. Ia juga harus meninggalkan
kehidupan mewahnya sebagai seleb untuk tinggal di kawasan kumuh plus bergaul
dengan anak kampung seperti Mamat (Sakurta Ginting) yang tak punya kerjaan lain
selain mengomentari susu milik mpok-mpok yang pernah dikenalnya termasuk
Petris!
Pada akhirnya, dangdut mengubah
watak Petris menjadi lebih dewasa, lebih peduli pada sesama, dan lebih
sensitif. Ia sampai terpanggil untuk menggelar konser amal guna mengumpulkan
dana untuk acara sunat Mamat. Untuk pertama kalinya pula, ia juga memiliki
kepedulian sosial yang tinggi terhadap nasib TKW di Arab Saudi.
Setelah menelurkan Ada Apa dengan Cinta? empat tahun lalu, Rudi Soedjarwo
dianggap sebagai salah satu sineas papan atas Indonesia. Dari segi teknis
sinematografi, kemampuannya tak pernah diragukan baik oleh penonton maupun para
pakar perfilman. Problemnya yang paling utama berada pada keputusannya untuk
membesut skrip semacam karya Monty Tiwa ini ke layar lebar.
Memang apa yang salah dengan
skenario buatan Monty? Semuanya! Monty “sukses” menyusun sebuah cerita yang
sama sekali tak menggunakan logika dan realita yang kita kenal dalam kehidupan
keseharian kita sebagai pijakan.
Oke, mari kita bayangkan Anda
menjadi buronan polisi dalam kasus kepemilikan narkoba. Lalu teman Anda
mengusulkan, agar aman dan tersembunyi dari kejaran polisi, Anda harus menyaru
menjadi penyanyi dangdut. Briliankah ide itu?
Bagi Monty, jawabannya adalah
“Ya”, karena jika suatu saat ia menjadi buronan aparat sebagaimana Petris dan
Yulia, ia mungkin akan bersembunyi dengan cara menyamar menjadi presenter Superdeal 2 Milyar menggantikan Nico Siahaan!
Selain itu, seperti karya Rudi
sebelumnya, 9 Naga, Mendadak Dangdut juga mengandung logic hole (lubang logika) yang sangat parah.
Sebab, sebodoh-bodoh para fans dangdut, takkanlah mungkin mereka sama sekali
tak mengenali Dewi Sandra atau Shanty yang bersembunyi dari buruan polisi
dengan cara menyamar menjadi penyanyi dangdut yang kerap tampil di depan
puluhan penonton.
Monty mencoba memperkuat
argumennya soal situasi itu lewat kalimat Yulia pada Petris yang mengatakan,
“Nggak semua orang di Indonesia nonton MTV”.
Betul MTV hanya disaksikan sebagian kecil
masyarakat kita, tapi semua orang di Indonesia jelas menonton tayangan
infotainment yang hadir lima kali sehari dan tempo hari baru saja kena dua kali
fatwa haram!
Bahwa Petris dan Yulia bisa aman
bersembunyi dan selama berminggu-minggu tetap tak dikenali publik
mengindikasikan bahwa di dunia mereka tak ada infotainment atau tabloid gosip.
Dan kalaupun ada, isinya mungkin tak pernah bisa dipahami publik karena
diwartakan dalam bahasa planet lain.
Tabloid pun mungkin hanya dicetak
sebanyak empat atau lima eksemplar, sehingga sesudah Petris memborong semuanya
dari sebuah lapak koran, berita pelariannya tetap aman tersimpan dan sama
sekali tak terbaca orang!
Dengan tetapan logika seabsurd
itu, akting secemerlang apapun yang ditunjukkan Titi Kamal, Kinaryosih, Dwi
Sasono, dan Sakurta Ginting menjadi tak punya arti apapun. Pencapaian sinematek
sehebat apapun yang dihasilkan Rudi lewat film ini pun juga menjadi sia-sia
tanpa guna.
Sebenarnya ini amat sangat
disayangkan, karena Mendadak
Dangdut masuk dalam kategori
langka film Indonesia tempat karakter-karakternya mengalami perkembangan.
Gara-gara dangdut, Petris yang arogan menjelma menjadi lembut dan dewasa.
Sayang kelangkaan yang positif itu terjadi di sebuah dunia rekaan yang absurd,
sehingga penonton juga kesulitan untuk menerimanya secara logis.
Mendadak Dangdut pun menjadi nila setitik yang
merusak susu sebelanga milik Rudi Soedjarwo. Kali lain, ia mungkin memerlukan
bantuan seorang penasihat intelektual untuk memilih skrip mana yang pantas dan
yang tidak pantas dilayarperakkan.
Di dunia nyata, skrip Monty Tiwa
akan langsung masuk tempat sampah editor production house. Untung bagi dia,
perfilman nasional sudah agak lama tidak lagi hidup di dunia nyata!
(Dimuat di Suara Merdeka, 13 Agustus
2006)
0 komentar:
Posting Komentar