scribo ergo sum

Minggu, 13 Agustus 2006

Mendadak Absurd

13:31 Posted by wiwien wintarto No comments

(** out of *****)

Berapa dua tambah dua? Empat? Yap, itu jawaban yang paling logis secara ilmiah dan dapat dibuktikan kebenarannya secara empirik pula. Namun dalam dunia perfilman Indonesia, dua tambah dua bisa jadi satu, lima, delapan, atau dua setengah terserah penulis skenario.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa film (dan juga sinetron) kita kerap menampilkan aspek-aspek yang tidak logis dan seolah memiliki standar “hukum alam” tersendiri. Itu terjadi sejak bangunan plot, alur cerita, hingga karakterisasi. Fenomena serupa terkandung dalam Mendadak Dangdut, film terbaru besutan sutradara populer Rudi Soedjarwo.

Mendadak Dangdut berkisah tentang penyanyi pop generasi MTV yang tengah naik daun, Petris Pontoh (Titi Kamal). Petris yang judes, tak ramah, antidangdut, tidak sensitif, dan pemarah dimanajeri oleh kakaknya sendiri, Yulia Pontoh (Kinaryosih).
Berkebalikan dari adiknya, Yulia berwatak halus dan nrima. Hubungan mereka selama ini, baik personal maupun profesional, tak terasa macam hubungan adik-kakak yang mesra dan harmonis, tapi lebih berkesan mirip hubungan antara majikan dan pembantu dengan Yulia selalu berada di pihak yang kalahan.
Hidup keduanya berubah ketika suatu malam, sepulang mereka dari wawancara promo album baru Petris di sebuah stasiun radio swasta, mobil mereka nyasar dan terjaring razia narkoba yang digelar polisi. Bersama mereka adalah Gerry (Vincent “Clubeighties”), kekasih Yulia. Dan bersama Gerry adalah sebuah tas besar yang berisi lima kilogram heroin.
Gerry berhasil melarikan diri dalam razia itu. Akibatnya, Petris dan Yuliah lah yang jadi korban. Mereka ditangkap atas tuduhan kepemilikan 5 kg heroin tersebut. Karena takut akan dihukum mati, mereka nekat melarikan diri lewat jendela toilet yang terbuka lebar saat Yulia membantu Petris yang mengalami “kebocoran” haid di sebuah toko.
Dalam kondisi menjadi buronan aparat, Yulia lantas menemukan tempat persembunyian yang cemerlang untuk adiknya, yaitu menjadi penyanyi dangdut orkes organ tunggal Senandung Citayam milik Rizal Saleh Alkatiri (Dwi Sasono). Kebetulan Rizal baru saja ditinggal pergi penyanyi lamanya gara-gara pertikaian soal besaran honor.
Berbekal kemampuannya sebagai penyanyi, Petris pun menggantikan tempat Fetty Manis Madu sebagai penyanyi orkes Senandung Citayam dengan nama panggung Iis Maduma. Yulia masih tetap bertindak sebagai “manajer”. Dan tanpa setahu Petris, Yulia ternyata menaruh hati terhadap Rizal.
Episode persembunyian dengan menyaru menjadi penyanyi dangdut berubah jadi kawah candradimuka yang membenahi kepribadian Petris. Ia yang antidangdut harus menelan bulat-bulat keangkuhannya sendiri untuk belajar teknik menyanyi dangdut. Ia juga harus meninggalkan kehidupan mewahnya sebagai seleb untuk tinggal di kawasan kumuh plus bergaul dengan anak kampung seperti Mamat (Sakurta Ginting) yang tak punya kerjaan lain selain mengomentari susu milik mpok-mpok yang pernah dikenalnya termasuk Petris!
Pada akhirnya, dangdut mengubah watak Petris menjadi lebih dewasa, lebih peduli pada sesama, dan lebih sensitif. Ia sampai terpanggil untuk menggelar konser amal guna mengumpulkan dana untuk acara sunat Mamat. Untuk pertama kalinya pula, ia juga memiliki kepedulian sosial yang tinggi terhadap nasib TKW di Arab Saudi.
Setelah menelurkan Ada Apa dengan Cinta? empat tahun lalu, Rudi Soedjarwo dianggap sebagai salah satu sineas papan atas Indonesia. Dari segi teknis sinematografi, kemampuannya tak pernah diragukan baik oleh penonton maupun para pakar perfilman. Problemnya yang paling utama berada pada keputusannya untuk membesut skrip semacam karya Monty Tiwa ini ke layar lebar.
Memang apa yang salah dengan skenario buatan Monty? Semuanya! Monty “sukses” menyusun sebuah cerita yang sama sekali tak menggunakan logika dan realita yang kita kenal dalam kehidupan keseharian kita sebagai pijakan.
Oke, mari kita bayangkan Anda menjadi buronan polisi dalam kasus kepemilikan narkoba. Lalu teman Anda mengusulkan, agar aman dan tersembunyi dari kejaran polisi, Anda harus menyaru menjadi penyanyi dangdut. Briliankah ide itu?
Bagi Monty, jawabannya adalah “Ya”, karena jika suatu saat ia menjadi buronan aparat sebagaimana Petris dan Yulia, ia mungkin akan bersembunyi dengan cara menyamar menjadi presenter Superdeal 2 Milyar menggantikan Nico Siahaan!
Selain itu, seperti karya Rudi sebelumnya, 9 Naga, Mendadak Dangdut juga mengandung logic hole (lubang logika) yang sangat parah. Sebab, sebodoh-bodoh para fans dangdut, takkanlah mungkin mereka sama sekali tak mengenali Dewi Sandra atau Shanty yang bersembunyi dari buruan polisi dengan cara menyamar menjadi penyanyi dangdut yang kerap tampil di depan puluhan penonton.
Monty mencoba memperkuat argumennya soal situasi itu lewat kalimat Yulia pada Petris yang mengatakan, “Nggak semua orang di Indonesia nonton MTV”. Betul MTV hanya disaksikan sebagian kecil masyarakat kita, tapi semua orang di Indonesia jelas menonton tayangan infotainment yang hadir lima kali sehari dan tempo hari baru saja kena dua kali fatwa haram!
Bahwa Petris dan Yulia bisa aman bersembunyi dan selama berminggu-minggu tetap tak dikenali publik mengindikasikan bahwa di dunia mereka tak ada infotainment atau tabloid gosip. Dan kalaupun ada, isinya mungkin tak pernah bisa dipahami publik karena diwartakan dalam bahasa planet lain.
Tabloid pun mungkin hanya dicetak sebanyak empat atau lima eksemplar, sehingga sesudah Petris memborong semuanya dari sebuah lapak koran, berita pelariannya tetap aman tersimpan dan sama sekali tak terbaca orang!
Dengan tetapan logika seabsurd itu, akting secemerlang apapun yang ditunjukkan Titi Kamal, Kinaryosih, Dwi Sasono, dan Sakurta Ginting menjadi tak punya arti apapun. Pencapaian sinematek sehebat apapun yang dihasilkan Rudi lewat film ini pun juga menjadi sia-sia tanpa guna.
Sebenarnya ini amat sangat disayangkan, karena Mendadak Dangdut masuk dalam kategori langka film Indonesia tempat karakter-karakternya mengalami perkembangan. Gara-gara dangdut, Petris yang arogan menjelma menjadi lembut dan dewasa. Sayang kelangkaan yang positif itu terjadi di sebuah dunia rekaan yang absurd, sehingga penonton juga kesulitan untuk menerimanya secara logis.
Mendadak Dangdut pun menjadi nila setitik yang merusak susu sebelanga milik Rudi Soedjarwo. Kali lain, ia mungkin memerlukan bantuan seorang penasihat intelektual untuk memilih skrip mana yang pantas dan yang tidak pantas dilayarperakkan.
Di dunia nyata, skrip Monty Tiwa akan langsung masuk tempat sampah editor production house. Untung bagi dia, perfilman nasional sudah agak lama tidak lagi hidup di dunia nyata!

(Dimuat di Suara Merdeka, 13 Agustus 2006)

0 komentar:

Posting Komentar