scribo ergo sum

Minggu, 06 Agustus 2006

Cukup Hanya Wajah Manis

12:53 Posted by wiwien wintarto No comments

Pada tahun 1970-an dan 1980-an, ketika satu-satunya kanal televisi yang eksis di Indonesia hanya TVRI, nama Ani Sumadi begitu akrab bagi pemirsa. Tokoh satu ini dikenal sebagai Ibu Segala Kuis. Semua acara kuis yang tayang di TVRI lahir dari tangan dinginnya.
Kuis-kuis besutan Ani Sumadi yang paling legendaris dan tetap hidup hingga pergantian millenium tentu adalah Berpacu dalam Melodi. Terakhir, programa ini tayang di Metro TV dengan host yang sama, yaitu Koes Hendratmo, dan menyajikan format pertunjukan yang sama persis dengan sewaktu masih menginduk di TVRI dahulu kala.

Ketika keran keterbukaan informasi dibuka dan satu demi satu stasiun TV swasta bermunculan, ketahuan bahwa kuis-kuis populer era TVRI hanya saduran belaka dari kuis-kuis Amerika Serikat. Berpacu dalam Melodi, misalnya, adalah adaptasi dari Name That Tune yang mengudara di AS sejak dekade 1950-an hingga tahun 1985.
Dewasa ini, tidak seperti 20 tahunan yang lalu, pentas layar gelas kita tengah sepi dari hiruk pikuk acara kuis. Selain (selalu) kalah dari kehirukpikukan sinetron bernuansa mistis-religius, genre kuis di Indonesia sejak dulu selalu menghadapi masalah yang sama, yaitu originalitas.
Hingga kini, bisa dibilang belum ada satupun produk acara kuis (dan dalam konteks yang lebih luas lagi, tayangan permainan alias game show) yang merupakan produk asli Indonesia dengan format, konteks, dan content yang juga 100% asli Indonesia. Kuis-kuis seperti Siapa Berani atau Kocok-kocok mungkin memang tidak mengadopsi kuis luar negeri, namun isi kandungannya sama sekali tidak baru dan pernah dipergunakan di suatu tempat.
Terobosan baru yang original dan kreatif nyaris belum pernah terjadi. Padahal di Amerika, inovasi adalah kata kunci untuk mencegah pemirsa dari rasa bosan serta untuk saling berkompetisi antarstasiun TV. Di sana, format-format baru terus-menerus bermunculan dan tak jarang melahirkan baik pengekor maupun spinoff (sempalan).
Yang lebih menarik lagi, kekhasan format itu sekaligus juga menjadi trade mark masing-masing tayangan kuis. Ambil contoh Wheel of Fortune. Kuis ini melegenda karena kreativitas para penciptanya untuk menggabungkan roda rolet berisi hadiah dengan permainan tebak kalimat.
Ada pula Jeopardy!. Kuis yang tayang antara tahun 1964 hingga 1975 dan mengudara kembali sejak 1984 hingga sekarang itu amat menarik karena menyajikan sesuatu yang sangat langka. Bukannya disuruh menebak jawaban, kontestan justru ditugaskan untuk membuat pertanyaan dari sebuah jawaban.
Programa permainan lain yang tak kalah menarik adalah Supermarket Sweep. Dalam tayangan ini, para peserta diperbolehkan untuk menguras isi supermarket yang menjadi sponsor. Tidak saja barang-barang itu digratiskan dan boleh dibawa pulang, peserta yang mencatat jumlah pembelian termahal akan keluar sebagai pemenang dan memperoleh sederetan hadiah yang menggiurkan.
Inovasi dan daya tarik bisa pula muncul dari jumlah hadiah yang ditawarkan. Salah satu kuis terpopuler yang mempunyai format kuno dan boleh dibilang membosankan tapi menjadi sangat menarik karena besar hadiah yang dijadikan iming-iming adalah Who Wants to be a Millionaire? (WWTBAM?).
Format tayangan tersebut sesungguhnya amat membosankan, karena diikuti oleh satu orang peserta saja yang sepanjang tayangan berlangsung hanya perlu memilih satu di antara empat poin pilihan ganda (mirip ulangan umum di sekolah!) untuk 15 nomor pertanyaan.
Yang membuatnya menjadi sebuah programa yang menggoda penuh ketegangan adalah jumlah hadiahnya. Untuk tiap butir pertanyaan disediakan hadiah uang cash yang terus-menerus meningkat dan akhirnya berpuncak pada hadiah utama senilai $ 1 juta (sekitar Rp 9 miliar dengan kurs saat ini). Hadiah ini bisa dibawa pulang jika kontestan berhasil menjawab pertanyaan terakhir alias pertanyaan ke-15.
Banyak yang mengira WWTBAM? adalah kuis asli buatan AS. Padahal, sebagaimana American Idol, tayangan yang dibawakan oleh pemandu acara legendaris Regis Philbin itu berasal dari Inggris dengan judul asli Cash Mountain. Di sana, acara tersebut dipandu broadcaster kenamaan Chris Tarrant.
Diciptakan bersama-sama oleh David Briggs, Steve Knight, dan Mike Whitehill, Cash Mountain tadinya adalah acara kuis di Radio Capital FM yang kemudian berekspansi ke layar TV. Ketika hadir perdana pada tanggal 4 September 1998, acara ini mendadak langsung menghadirkan histeria massa meski awalnya hanya dirancang sebagai sebuah programa permainan kecil-kecilan.
Popularitas menghebohkan Cash Mountain dengan cepat langsung diimpor ke AS. Dan sebagaimana Pop Idol berubah jadi American Idol, para kreator TV di Amerika pun tak rela kalau mereka hanya sekadar mengadopsi mentah-mentah. Paling tidak judul acara harus diganti total agar kelak publik “salah mengidentifikasi” kuis tersebut sebagai produk asli negeri Paman Sam.
Nama Cash Mountain pun diubah menjadi Who Wants to be a Millionaire?. Meski namanya panjang dan agak susah dilafalkan, tayangan tersebut mendunia dan kemudian memang lebih dikenal sebagai “made in USA”. Ironisnya, nama tersebut merupakan bagian dari lirik sebuah lagu dari tahun 1956 milik musisi jazz legendaris Cole Porter yang bertutur tentang kesadaran hati untuk lebih mengutamakan cinta sejati ketimbang hanya sekadar uang dan harta benda!
Sejak pertama kali tayang tahun 1999, WWTBAM? seketika menjadi hit dan ditayangkan di 100 negara di seluruh dunia bukan dalam bentuk tayangan ulang melainkan dalam format franchise. Artinya, tiap negara hanya perlu membeli hak tayangnya dan kemudian memproduksinya sendiri dengan variasi-variasi kecil pada perubahan nama atau jumlah hadiahnya.
Daya tarik pada besar jumlah hadiah tersebut tak jarang memunculkan juga “variasi” lain yang unik pada beberapa negara tertentu. Di Kolombia, identitas pemenang acara Quien Quiere Ser Millonario dirahasiakan dengan ketat. Seorang warga biasa yang keluar dari studio sambil menenteng kopor berisi uang ratusan juta peso pasti akan langsung jadi sasaran empuk entah pembunuhan entah itu penculikan di negara yang memang nyaris tak pernah aman tenteram itu!
Terobosan untuk menelurkan format baru, elemen-elemen baru, dan daya tarik yang juga fresh inilah yang belum banyak digali di sini. Para kreator kuis kita seperti mengalami “hambatan psikologis” untuk menggali imajinasi, melakukan riset, atau mengeksplotasi iptek guna melahirkan satu bentuk acara kuis yang benar-benar anyar dan original dalam seluruh aspeknya.
Alih-alih, daripada mengerjakan semua proses kreatif itu, stasiun-stasiun TV Indonesia lebih suka mengambil jalan aman dengan cukup hanya memajang wajah-wajah manis Deasy Novianti, Donna Agnesia, atau Dewi Rezer untuk memandu kuis-kuis sederhana berdurasi tak sampai 5 menit yang hanya sekadar diselipkan di sela-sela tayangan olah raga…


(Dimuat di rubrik hiburan Suara Merdeka Edisi Minggu)

0 komentar:

Posting Komentar