Pada tahun 1970-an dan 1980-an,
ketika satu-satunya kanal televisi yang eksis di Indonesia hanya TVRI, nama Ani
Sumadi begitu akrab bagi pemirsa. Tokoh satu ini dikenal sebagai Ibu Segala
Kuis. Semua acara kuis yang tayang di TVRI lahir dari tangan dinginnya.
Kuis-kuis besutan Ani Sumadi yang
paling legendaris dan tetap hidup hingga pergantian millenium tentu adalah
Berpacu dalam Melodi. Terakhir, programa ini tayang di Metro TV dengan host
yang sama, yaitu Koes Hendratmo, dan menyajikan format pertunjukan yang sama
persis dengan sewaktu masih menginduk di TVRI dahulu kala.
Ketika keran keterbukaan
informasi dibuka dan satu demi satu stasiun TV swasta bermunculan, ketahuan
bahwa kuis-kuis populer era TVRI hanya saduran belaka dari kuis-kuis Amerika
Serikat. Berpacu dalam Melodi, misalnya, adalah adaptasi dari Name That Tune
yang mengudara di AS sejak dekade 1950-an hingga tahun 1985.
Dewasa ini, tidak seperti 20
tahunan yang lalu, pentas layar gelas kita tengah sepi dari hiruk pikuk acara
kuis. Selain (selalu) kalah dari kehirukpikukan sinetron bernuansa
mistis-religius, genre kuis di Indonesia sejak dulu selalu menghadapi masalah
yang sama, yaitu originalitas.
Hingga kini, bisa dibilang belum
ada satupun produk acara kuis (dan dalam konteks yang lebih luas lagi, tayangan
permainan alias game show) yang merupakan produk asli Indonesia dengan format,
konteks, dan content yang juga 100% asli Indonesia. Kuis-kuis seperti Siapa
Berani atau Kocok-kocok mungkin memang tidak mengadopsi kuis luar negeri, namun
isi kandungannya sama sekali tidak baru dan pernah dipergunakan di suatu
tempat.
Terobosan baru yang original dan
kreatif nyaris belum pernah terjadi. Padahal di Amerika, inovasi adalah kata
kunci untuk mencegah pemirsa dari rasa bosan serta untuk saling berkompetisi
antarstasiun TV. Di sana, format-format baru terus-menerus bermunculan dan tak
jarang melahirkan baik pengekor maupun spinoff (sempalan).
Yang lebih menarik lagi, kekhasan
format itu sekaligus juga menjadi trade mark masing-masing tayangan kuis. Ambil
contoh Wheel of Fortune. Kuis ini melegenda karena kreativitas para penciptanya
untuk menggabungkan roda rolet berisi hadiah dengan permainan tebak kalimat.
Ada pula Jeopardy!. Kuis yang
tayang antara tahun 1964 hingga 1975 dan mengudara kembali sejak 1984 hingga
sekarang itu amat menarik karena menyajikan sesuatu yang sangat langka.
Bukannya disuruh menebak jawaban, kontestan justru ditugaskan untuk membuat
pertanyaan dari sebuah jawaban.
Programa permainan lain yang tak
kalah menarik adalah Supermarket Sweep. Dalam tayangan ini, para peserta
diperbolehkan untuk menguras isi supermarket yang menjadi sponsor. Tidak saja
barang-barang itu digratiskan dan boleh dibawa pulang, peserta yang mencatat
jumlah pembelian termahal akan keluar sebagai pemenang dan memperoleh sederetan
hadiah yang menggiurkan.
Inovasi dan daya tarik bisa pula
muncul dari jumlah hadiah yang ditawarkan. Salah satu kuis terpopuler yang
mempunyai format kuno dan boleh dibilang membosankan tapi menjadi sangat
menarik karena besar hadiah yang dijadikan iming-iming adalah Who Wants to be a
Millionaire? (WWTBAM?).
Format tayangan tersebut
sesungguhnya amat membosankan, karena diikuti oleh satu orang peserta saja yang
sepanjang tayangan berlangsung hanya perlu memilih satu di antara empat poin
pilihan ganda (mirip ulangan umum di sekolah!) untuk 15 nomor pertanyaan.
Yang membuatnya menjadi sebuah
programa yang menggoda penuh ketegangan adalah jumlah hadiahnya. Untuk tiap
butir pertanyaan disediakan hadiah uang cash yang terus-menerus meningkat dan
akhirnya berpuncak pada hadiah utama senilai $ 1 juta (sekitar Rp 9 miliar
dengan kurs saat ini). Hadiah ini bisa dibawa pulang jika kontestan berhasil
menjawab pertanyaan terakhir alias pertanyaan ke-15.
Banyak yang mengira WWTBAM?
adalah kuis asli buatan AS. Padahal, sebagaimana American Idol, tayangan yang
dibawakan oleh pemandu acara legendaris Regis Philbin itu berasal dari Inggris
dengan judul asli Cash Mountain. Di sana, acara tersebut dipandu broadcaster
kenamaan Chris Tarrant.
Diciptakan bersama-sama oleh
David Briggs, Steve Knight, dan Mike Whitehill, Cash Mountain tadinya adalah
acara kuis di Radio Capital FM yang kemudian berekspansi ke layar TV. Ketika
hadir perdana pada tanggal 4 September 1998, acara ini mendadak langsung
menghadirkan histeria massa meski awalnya hanya dirancang sebagai sebuah
programa permainan kecil-kecilan.
Popularitas menghebohkan Cash
Mountain dengan cepat langsung diimpor ke AS. Dan sebagaimana Pop Idol berubah
jadi American Idol, para kreator TV di Amerika pun tak rela kalau mereka hanya
sekadar mengadopsi mentah-mentah. Paling tidak judul acara harus diganti total
agar kelak publik “salah mengidentifikasi” kuis tersebut sebagai produk asli
negeri Paman Sam.
Nama Cash Mountain pun diubah
menjadi Who Wants to be a Millionaire?. Meski namanya panjang dan agak susah
dilafalkan, tayangan tersebut mendunia dan kemudian memang lebih dikenal
sebagai “made in USA”. Ironisnya, nama tersebut merupakan bagian dari lirik
sebuah lagu dari tahun 1956 milik musisi jazz legendaris Cole Porter yang
bertutur tentang kesadaran hati untuk lebih mengutamakan cinta sejati ketimbang
hanya sekadar uang dan harta benda!
Sejak pertama kali tayang tahun
1999, WWTBAM? seketika menjadi hit dan ditayangkan di 100 negara di seluruh
dunia bukan dalam bentuk tayangan ulang melainkan dalam format franchise.
Artinya, tiap negara hanya perlu membeli hak tayangnya dan kemudian
memproduksinya sendiri dengan variasi-variasi kecil pada perubahan nama atau
jumlah hadiahnya.
Daya tarik pada besar jumlah
hadiah tersebut tak jarang memunculkan juga “variasi” lain yang unik pada
beberapa negara tertentu. Di Kolombia, identitas pemenang acara Quien Quiere
Ser Millonario dirahasiakan dengan ketat. Seorang warga biasa yang keluar dari
studio sambil menenteng kopor berisi uang ratusan juta peso pasti akan langsung
jadi sasaran empuk entah pembunuhan entah itu penculikan di negara yang memang
nyaris tak pernah aman tenteram itu!
Terobosan untuk menelurkan format
baru, elemen-elemen baru, dan daya tarik yang juga fresh inilah yang belum
banyak digali di sini. Para kreator kuis kita seperti mengalami “hambatan
psikologis” untuk menggali imajinasi, melakukan riset, atau mengeksplotasi
iptek guna melahirkan satu bentuk acara kuis yang benar-benar anyar dan original
dalam seluruh aspeknya.
Alih-alih, daripada mengerjakan
semua proses kreatif itu, stasiun-stasiun TV Indonesia lebih suka mengambil
jalan aman dengan cukup hanya memajang wajah-wajah manis Deasy Novianti, Donna
Agnesia, atau Dewi Rezer untuk memandu kuis-kuis sederhana berdurasi tak sampai
5 menit yang hanya sekadar diselipkan di sela-sela tayangan olah raga…
(Dimuat di
rubrik hiburan Suara Merdeka Edisi Minggu)
0 komentar:
Posting Komentar