scribo ergo sum

Selasa, 01 Agustus 2006

Cas-Cis-Cus Orang Indon

14:23 Posted by wiwien wintarto 1 comment
Judul: Philophobia: Cerita Cinta dari Orang yang Tidak Percaya Cinta
Pengarang: Tessa Intanya
Penerbit: GagasMedia, Jakarta
Tebal: 381 halaman
Genre: Comedy/romance
Cetakan: Ke-1 (Maret 2006)
My Grade: C-
Bayangkan sebuah fragmen berikut! Di suatu tempat bernama Kaliangkrik, yang berjarak 400 kilo dari Jakarta, hidup seorang remaja bernama Nurjanah. Ia penggemar buku-buku percintaan, dan selalu punya uang untuk membeli novel-novel teenlit, chicklit, atau metropop.
Suatu hari, saat sedang jalan-jalan ke toko buku, ia menemukan novel Philophobia: Cerita Cinta dari Orang yang Tidak Percaya Cinta karangan Tessa Intanya. Tertarik untuk beli, ia membuka-buka halaman novel itu. Tapi kemudian ia batal untuk beli karena novel itu terlalu banyak mengandung kalimat bahasa Inggris, sedang ia sama sekali nggak paham bahasa Inggris.

Kejadian seperti itulah yang mungkin saja akan terjadi terhadap kondisi pemasaran novel Philophobia di kawasan-kawasan di luar Kota Jakarta. Novel perdana Tessa Intanya Raumanen Lumban Tobing ini pun, seperti halnya Test Pack-nya Ninit Yunita, masuk dalam deretan buku-buku yang terbatasi prospek penjualannya justru oleh kelebihannya sendiri—dalam hal ini taburan kata dan kalimat bahasa Inggris.
Philophobia sendiri menghadirkan kisah asmara klise yang sudah berulang kali ditampilkan baik dalam novel maupun film, yaitu bestfriends-turn-to-lovers. Hadir sebagai tokoh utama adalah dua remaja berusia awal 20-an yang bernama Anjani dan Alandra. Mereka sudah berteman sejak kecil dan kini menjelma menjadi sahabat sejati yang tak terpisahkan.
Sebagai sahabat, keduanya kerap terlibat dalam berbagai macam obrolan dan perdebatan, baik debat serius maupun debat kusir, tentang segala hal terutama cinta. Ketika itu Andra yang lovable dan sentimentil tengah pacaran dengan Milla, sedang Jani yang cynical dan philophobic (philopobhia berarti takut jatuh cinta) sedang dekat dengan Danes.
Perkembangan keadaan kemudian mengubah pula isi hati mereka. Andra merasakan perasaannya pada Milla evaporate karena perlahan tapi pasti ia mulai jatuh cinta pada Jani. Ia pun bingung dan ketakutan sekaligus, tak tahu bagaimana harus mengungkapkan semuanya pada Milla dan tak tahu pula bagaimana kelak akan mencurahkan isi hatinya pada Jani.
Ketika itu Jani sendiri kembali terpukul gara-gara cinta ketika Milla dan Andra memergoki Danes selingkuh dengan salah seorang kawan Milla. Namun kemudian ia bertemu dengan Moreno Christo, guy next door di kompleks apartemen tempatnya tinggal, yang membuatnya berani jatuh cinta lagi. Kehadiran Reno membuat Andra yang makin dalam jatuh cinta pada Jani kian tersiksa oleh rasa cemburu.
Sebagaimana novel-novel lain masa kini yang inkonvensional dalam pengambilan point of view, Philophobia juga dituturkan dengan gaya multiple-PoV. Bahkan tak hanya terdapat dua angle dalam novel ini, melainkan tiga. Satu dari angle orang ketiga, satu dari angle pemikiran Alandra, dan satu lagi dari angle pemikiran Anjani. Penggunaan multiple-PoV ini membuat pembaca bisa mengikuti rangkaian event yang terjadi sekaligus menyelidik ke isi hati terdalam Andra dan Jani secara bersamaan terhadap suatu insiden tertentu.
Satu hal yang cukup (bahkan sangat) mengganggu adalah taburan unsur bahasa Inggris-nya yang overdosis. Dan itupun bukan aksen Inggris internasional, melainkan logat Inggris Amrik komplet dengan kata-kata khas States seperti “kinda”, “rite”, atau frase bergaya Hollywood macam “…memandangi sahabatnya itu dengan tatapan, ‘what-is-wrong-with-you-today?’” (hal 139).
Tak hanya dalam narasi, para tokohnya pun rajin berbicara dengan bahasa Inggris. Elemen ini tak akan mengganggu bila dimasukkan dalam karakterisasi. Artinya, ada salah satu tokoh yang memang gemar ngomong Inggris, sedang yang lain nggak. Tapi membuat semua tokoh yang muncul (Jani, Andra, Milla, Danes, Reno) beramai-ramai bercakap-cakap mirip adegan film Hollywood ngasih kesan seakan-akan semua warga ibukota diwajibkan ikut kelas conversation di EF oleh Gubernur Sutiyoso!
As cliché as it may sounds (wuah, jadi ikut-ikutan, nih!), bertaburannya unsur keinggris-inggrisan dalam novel ini jelas amat mencemaskan ditinjau dari aspek pelestarian budaya milik sendiri. Asli, lho, saat ini remaja di Jawa sudah nggak mampu lagi berbahasa Jawa dengan baik karena semua memakai Bahasa Indonesia dalam pergaulan sehari-hari. Dalam skala yang sama, ada kemungkinan remaja-remaja metropolitan Jakarta kelak akan kehilangan kemampuan mereka berbahasa Indonesia karena semua asyik masyuk cas-cis-cus dalam bahasa Inggris seperti halnya Andra dan Jani.
Selain itu, seperti telah diungkap di atas, hal ini berpotensi membunuh pemasaran Philophobia sendiri di daerah. Sebagian besar kaum muda Jakarta mungkin telah melek Inggris, tapi Jakarta hanya 5% dari keseluruhan penghuni Indonesia. Mereka-mereka yang tinggal di Dayeuhkolot, Ogan Komering Ulu, Tengaran, Luwukwaru, atau Glenmore berjumlah jauh lebih banyak lagi, dan nggak semua dari mereka memahami bahasa Inggris lebih banyak daripada sekadar “I love you” serta “You belong to me”!
Mereka ini potensi pasar bagi Philophobia, terlebih karena jaringan penjualan GagasMedia mengalir pula lewat outlet-outlet Indomaret yang menjangkau ke kota-kota kecamatan paling pedalaman. So, alangkah sangat disayangkan bila puluhan ribu calon pemberi royalti buat Tessa mengundurkan diri dengan cara yang sama seperti yang terjadi pada Nurjanah di Kaliangkrik tadi.
Makin disayangkan lagi karena Philophobia sebenarnya adalah salah satu novel dengan dialog-dialog percakapan terbaik yang pernah ada. Lihat saja adegan obrolan aneh antara Andra dan Jani dalam subjudul Alandra + Anjani @ Janis Apt ~ Spending the ‘Too-Much-Sparetime-Thing’ (hal 263-270). Dialog-dialog dalam bagian ini sangat hidup, original, dan mengundang tawa.
Seandainya para tokohnya nggak terlalu terpengaruh gaya bicara film-film Hollywood, dialog-dialog yang mereka lontarkan pun bisa sesakti rentetan percakapan yang dituang Donny Dhirgantoro dalam 5cm-nya yang fenomenal itu. Tessa juga harus membaca 5cm untuk belajar bagaimana caranya menggunakan referensi lagu, penyanyi, judul film, dan aktor/aktris menjadi bagian dari konstruksi plot dan nggak hanya sekadar sebut sana sebut sini.
Tessa pun melewatkan tiga momen krusial yang bisa “meledak” kalau saja bisa didramatisir dengan sempurna, yaitu saat Jani mencoba kebaya (yang membuatnya tampak feminin untuk pertama kalinya dan memesona Andra), saat Jani dan Andra melakukan the kissing game dalam permainan Truth or Dare di pesta ultah Hakky, serta saat Jani (akhirnya) mengurai rambut panjangnya.
Ketiga momen spesial itu hanya diurai secara “pelit” masing-masing dalam satu baris narasi saja, yaitu “…sambung Jani sambil mendekatkan bibirnya ke bibir Andra” (hal 246), “…Alandra: Boy, was she the prettiest girl I have ever seen…” (hal 261), dan “Akhirnya Jani pun menuruti kata ‘pacar baru’-nya…” (hal 372).
Satu lagi yang membuat novel ini menderita adalah judulnya. Pada halaman pembukaan, tampil kutipan ensiklopedia yang menjelaskan definisi kata philophobia. Philophobia berarti “takut merasakan jatuh cinta (fear of being in love or falling in love)”. Judul Philophobia jadi nggak nyambung karena, sebagaimana yang tertera dalam subjudulnya (Cerita Cinta dari Orang yang Tidak Percaya Cinta), Anjani sama sekali nggak menderita philophobia, melainkan hanya sekadar nonbeliever soal cinta (which is, it happens to me too…!).
But, anyway, Tessa Intanya is quiet impressive as a beginner. Kinda cute, huh? Philophobia showed us that she got a great deal of potential, rite? (Tuh, kan? Katanya mengkritik keinggris-inggrisan, padahal akhirnya ya sok cas-cis-cus juga…!)

1 komentar:

  1. I love you! I want to marry you! I want to have a baby from you! Ohh... Ohh...

    BalasHapus