scribo ergo sum

Selasa, 25 Juli 2006

Love Sucks

10:45 Posted by wiwien wintarto No comments
Judul: soulmate.com
Pengarang: Jessica Huwae
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 219 halaman
Genre: Drama/romance
Cetakan: Ke-1 (Maret 2006)
My Grade: C
Soulmate adalah urusan paling menarik sekaligus paling misterius saat bicara soal cinta. Apakah soulmate itu bener-bener ada? Apakah somewhere out there betul-betul ada seseorang yang memang khusus diperuntukkan bagi masing-masing dari kita? Dan jika memang ada, apakah kita kelak bisa bersatu dengannya, entah lewat perjuangan keras entah itu melalui keajaiban tangan-tangan takdir?
Nyatanya, kalau keberhasilan cinta diukur dari pernikahan, hanya segelintir saja yang benar-benar pada akhirnya merasakan dan merayakan itu sebagai keberhasilan. Banyak yang nggak bahagia, baik dengan pernikahan mereka maupun dengan kualitas “skill individu” orang yang kini telah menjadi suami/isteri. Kita pun lantas nanya, kalau mereka memang menikah dengan soulmate mereka masing-masing, mengapa perselingkuhan dan perceraian terus saja terjadi?

Kalau gitu caranya, bukan soulmate dong. Masa soulmate bisa dianulir dan dengan santainya sambil nyengir kuda kita bilang, “Wah, ternyata bukan soulmate je…!”
Permasalahan inilah yang dibahas Jessica Huwae dengan cantik dalam novelnya yang berdesain kover luar biasa memukau, soulmate.com. Jess mempertanyakan kemampuan “indera keenam” kita dalam memindai (scanning, istilah Star Trek-nya!) tanda-tanda keberadaan soulmate. Apakah kita benar-benar bisa menandai kedatangan seorang soulmate atau hanya euforia sesaat dan temporary insanity saja tempat kemungkinan munculnya kesalahan teramat sangat besar?
soulmate.com bertutur tentang pengalaman cinta Nadya Samuella, executive editor sebuah majalah kenamaan di Jakarta. Hidupnya tengah limbung ketika ia diputuskan oleh Dany, kekasihnya, yang menikah dengan wanita lain yang dalam segala segi kemetropolitanan kalah jauh darinya.
Berkat komentar kecil dalam weblog-nya dari seseorang dengan nama samaran The Hero, Nadya kemudian berkenalan dengan pria baru. The Hero ternyata seorang pria Bali bernama Oka. Dia bekerja sebagai desainer grafis merangkap fotografer yang dalam waktu senggangnya menekuni hobi bermusik lewat sebuah grup band indie bernama The Squad.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh judulnya, Nadya dan Oka kemudian menjalin keakraban via internet. Mereka mengobrol dengan YM, berkirim email, dan saling mengomentari posting-posting di weblog masing-masing. Sesudah Nadya lepas dari jeratan Jo, seorang kekasih yang tega main pukul, hatinya luluh oleh sosok Oka yang betul-betul mampu memberinya rasa nyaman dan aman.
Mereka pun jadian dan kemudian menjalani LDR (long distance relationship) Jakarta-Denpasar. Bagi Nadya, Oka adalah segalanya. Sosok laki-laki sejati yang menjadi antitesis kisah hidupnya selama ini yang selalu penuh dengan lelaki-lelaki brengsek, ganjil, aneh, tukang tipu, dan satu-satunya skill yang mereka punyai hanyalah membikin hidupnya jadi sengsara gara-gara cinta.
Hidup tenang Nadya bersama Oka terguncang ketika ia mengetahui Oka ternyata sudah menikah dengan seorang perempuan sederhana bernama Sekar. Tapi guncangan itu tak berusia panjang. Nadya lantas memutuskan untuk menunggangi saja guncangan itu dalam sebuah “roller coaster” bernama perselingkuhan hanya karena ia teramat sangat mencintai Oka.
Sepertiga bagian akhir cerita berisi kebimbangan Nadya dalam menentukan masa depan hubungan asmaranya dengan Oka. Ia merasa dibutakan oleh cinta, sehingga ia menerima saja statusnya sebagai perempuan simpanan. Di pihak lain, teman-temannya menasihatinya untuk mulai menggunakan akal waras dan menentukan ke arah mana hidupnya akan ia bawa sesudah ini.
soulmate.com adalah sebuah novel standar yang ditulis dengan gaya bahasa standar dan menimbulkan efek-efek standar pula dalam benak pembacanya. Ini seperti sebuah pertandingan sepak bola kompetisi liga yang berakhir dengan skor 0-0 dan kedua belah pihak sama-sama puas dengan masing-masing mendapat angka 1. Tak ada ledakan dan gebrakan, namun demikian pula tak ada juga kekurangan yang menyolok dan mengganggu.
Sekali lagi, kelebihan buku ini terletak pada judul dan desain kovernya yang betul-betul ciamik Sampul didesain oleh Zeki Siregar dan foto-foto dikerjakan oleh Riesma Pawestri (well done, Guys!). Saya ingat tempo hari saya ngeluyur ke TB Gramedia Jl Pandanaran, Semarang, untuk nyari tahu novel terbaru saya (Rendezvous at 8/Elex Media Komputindo) sudah nongol di toko buku apa belum. Dan kemudian eye saya langsung di-catching oleh desain kovernya.
Satu poin penting lagi, soulmate.com nggak membosankan dibaca karena penuh dengan pernik dan ornamen SMS, posting weblog, email, dan chatting YM yang dipaparkan komplet sebagaimana apa adanya. Ornamen-ornamen ini membuat halaman-halaman buku ini jadi penuh warna sekaligus menggambarkan dengan gamblang kepada kita kedekatan seperti apa yang dipunyai Nadya dan Oka.
Kalaupun ada kekurangan, itu hanya berada pada ketidakjelasan beberapa unsur materinya. Nadya, eh… Jess nggak pernah mengizinkan kita tahu apa nama majalah tempat kerja Nadya. Ia juga menyamarkan beberapa nomor ponsel dan nama kafe dengan simbol “XXX” macam acara kuis atau infotainment di TV.
Mengganggu sih enggak, hanya saja ada secarik kecil bagian imajinasi kita yang terkekang dengan pembatasan-pembatasan itu. Jess sebetulnya bisa memakai nama kafe fiktif sesukanya (bahkan nama kafe sungguhan pun nggak apa-apa—kan malah sekalian promosi gratis buat mereka!) dan menyebutkan nomor-nomor ponsel teman-teman terdekatnya sebagai gurauan in case ada pembaca yang betul-betul penasaran untuk menghubungi nomor ponsel “milik” Nadya atau Oka. Atau kalau nggak mau ambil risiko, pakai saja nomor-nomor ponsel yang sudah pada hangus dan tak terpakai lagi.
Yang jelas novel ini menarik karena menyadarkan kita betapa urusan soulmate tetap saja masih menjadi rahasia Ilahi dan sama sekali tak tertangkap “radar” kita sebagai manusia. Seseorang yang kita kira soulmate ternyata bukan, dan kita harus mulai mencari (atau menunggu) lagi dari nol dalam rimba kehidupan yang serba tak pasti.
Akibatnya, soulmate atau bukan, kita tetep aja kayak beli kucing dalam karung saat hendak memulai sebuah percintaan dengan seseorang. Nggak heran orang selalu bilang “Love sucks…!”

0 komentar:

Posting Komentar